Mohon tunggu...
Gideon Budiyanto
Gideon Budiyanto Mohon Tunggu... Lainnya - Writer

Manusia pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Kisah Sepasang Sepatu

12 Mei 2020   17:20 Diperbarui: 13 Mei 2020   11:33 2784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sepatu (Foto : Pexels/Anastasia Zhenina)

1.

Aku suka sekali berada di tempat ku sekarang, bisa menghirup udara segar dan melihat hal hal yang baru. Sebelumnya, yang aku lihat hanyalah orang-orang datang dan pergi silih berganti melihat aku yang terdiam berjajar di sebuah rak yang ada di sebuah toko sepatu. Bosan rasanya.

Untung saja, kemarin ada seseorang yang mengambil aku di rak, memberikannya kepada pelayan toko untuk dibungkus rapi dan dibawa pulang.

Berakhir sudah masa-masa menunggu di rak itu.

Yang aku ingat, pembeli aku adalah seorang wanita muda dan akan diberikan sebagai hadiah.

Oiya, aku lupa memperkenalkan diri

Aku adalah sepasang sepatu kets kecil berwarna hitam dan dibuat di sebuah rumah dengan banyak sekali orang di dalamnya. Yang aku sering kali dengar mereka yang ada di sana menyebutnya home industry.

Setelah aku jadi dan dibawa ke sebuah toko sepatu, teman-teman aku di sana suka sekali memanggil aku dengan nama Buto karena aku suka berkhayal ingin menjadi seperti sepatu Boot yang gagah yang dipajang di tempat terdepan di toko itu. Dengan segera teman-teman aku menertawakan aku dengan khayalanku itu sehingga mereka memanggil aku Buto, entah apa artinya, mungkin pelesetan dari Boot haha

Aku rasa sudah cukup perkenalanku karena tidak ada hal menarik lagi yang bisa diceritakan selama aku berada di toko itu.

Lebih baik aku ceritakan kembali bagaimana aku bisa sampai di rumah tempat aku ada saat ini.

Keesokan paginya, aku dibawa oleh wanita itu pergi entah kemana. Aku hanya mendengar suara berisik kendaraan umum dan terkadang bunyi klakson yang keras. Aku agak berdebar karena penasaran akan diberikan kepada siapa aku sebenarnya.

Tidak berapa lama, wanita muda itu turun dari kendaraan umum dan berjalan ke suatu tempat.

Samar-samar aku mendengar suara anak-anak kecil berlari kesana kemari, bunyi sepeda motor berjalan, dan suara seorang bapak bapak menawarkan sayur untuk dibeli.

Seperti sebuah pemukiman padat penduduk, pikirku.

Tidak berapa lama, aku mendengar wanita muda itu memanggil- manggil.

"Bintang, Bintang,ini Ibu datang"

Terdengar suara pintu dibuka.

"Oh Bu Indah, mari masuk bu", terdengar suara wanita yang berbeda dari suara wanita muda itu yang rupanya bernama Indah.

"Apa kabar bu? Bintang nya sudah bangun tidur, bu?"

"Kabarnya baik bu, Bintang baru saja selesai sarapan tuh bu, sebentar aku panggilkan anaknya".

Dari dalam kardus aku kembali penasaran, siapa Bintang? Apakah aku akan diberikan kepada Bintang?

"Selamat pagi Bu Indah"

Aku mendengar suara seorang anak menyapa Bu Indah, sepertinya sih suara anak laki-laki.

"Pagi Bintang, selamat ulang tahun yaa, ini Ibu bawakan hadiah untukmu"

"Terima kasih bu, wahhh apa ini bu?"

Suara anak laki-laki itu terdengar sangat bersemangat.

"Coba kamu buka dulu , Bintang. Ibu harap kamu suka"

Aku merasa kardus bergerak perlahan untuk kemudian disentakkan secara tiba-tiba sambil digoyang-goyangkan secara cepat. Tubuhku terlempar ke depan dan ke belakang seakan ada gempa bumi yang dahsyat terjadi di dalam kardus ini.

"Seperti nya sepatu ya bu?", tanya Bintang setelah sekian detik menggoyang goyangkan kardus yang bersampulkan kertas kado di tangannya.

"Sudah kamu cepat saja buka, gak usah di goyang goyangkan lagi", kata Bu Indah sambil tertawa.

Aku mendengar Bintang juga tertawa.

Kardus pun segera dibuka oleh Bintang dan segera sesudah itu, aku bisa melihat dengan jelas sosok Bintang yang ada di hadapanku sekarang.

Seperti yang aku duga, Bintang adalah seorang anak laki-laki kecil kira-kira berumur sekitar 9 atau 10 tahun. Perawakan nya kurus dan agak kumal. Dia tersenyum lebar sambil menatap aku yang sekarang ada di tangannya.

"Bagus sekali sepatunya bu, aku suka banget. Terima kasih banyak ya bu"

Indah tersenyum, "Sama-sama Bintang. Ibu senang kalau kamu suka sama sepatunya"

Aku melihat wanita yang tadi berbicara dengan Indah keluar dari ruangan belakang dengan membawa beberapa botol yang berisi cairan berwarna hitam, kuning dan coklat untuk kemudian ditaruh di tempat seperti kotak hijau yang cukup besar ukurannya di belakang sepeda. Aku juga melihat beberapa barang sudah tersusun rapih di sana meski aku tidak tahu apa saja itu.

"Mau berangkat bu?", tanya Indah

"Iya Bu Indah, saya harus berangkat sekarang kalau tidak nanti kesiangan. Terima kasih hadiahnya untuk Bintang ya bu"

"Iya Bu Ningsih, sama-sama"

"Bintang, Ibu pergi dulu ya. Kalau kamu mau makan, Ibu sudah siapkan lauk di atas meja makan",kata Ningsih yang rupanya adalah ibu Bintang mengecup kening anaknya.

"Hati-hati bu", sahut Bintang

Ningsih mengangguk sambil tersenyum. Setelah berpamitan dengan Indah, ia bergegas pergi mengendarai sepedanya.

Indah kemudian menghampiri Bintang dan mengelus rambutnya.

"Ibu juga mau pamit Bintang, ada urusan ke rumah teman Ibu, kamu tidak apa-apa kan sendirian di rumah?"

Bintang menggeleng , "Tidak apa-apa bu, kan sudah biasa"

"Besok Senin pas kamu sekolah sepatunya dipakai ya. Sepatu kamu yang bolong itu kamu buang saja".

Bintang mengangguk, "Iya bu, pasti, kan sudah ada sepatu baru"

Indah kembali tersenyum.

"Oiya bu, minggu depan kursus nya jadi tetap hari Selasa dan Kamis kan?"

"Iya Bintang. Ibu pamit ya"

Setelah Indah menghilang di balik pintu, Bintang kembali menatap aku yang masih ada di tangannya. Matanya berbinar dan ia tersenyum. Kemudian ia menaruh aku di rak sepatu yang terletak di ruang tamu rumah tersebut.

Itulah ceritaku kenapa aku bisa sampai di rumah ini. Rumah yang meskipun tidak terlalu besar tapi terasa nyaman dan hangat.

Aku tersenyum gembira, rasanya tidak sabar untuk memulai petualangan baru bersama Bintang besok di sekolah.

2.

Aku terbangun setelah mendengar suara berisik dari ruangan di belakang. Rasanya sudah cukup lama aku tertidur. Aku memandang ke sekeliling, masih gelap gulita, hanya dari ruangan belakang aku bisa melihat cahaya lampu." Jam berapa ini?", aku bertanya-tanya.

Aku teringat bahwa sebentar lagi Bintang akan bersekolah dan aku akan dipakainya berjalan sepanjang hari ini. Senang sekali mengetahui bahwa aku akan melihat hal yang berbeda kembali. Selain itu, berjalan di tanah yang berbatu maupun yang beraspal bisa membentuk tubuhku menjadi kuat dan lentur.

Namun yang paling aku nantikan adalah aku akan bertemu teman-teman Bintang !

Sewaktu aku masih ada di toko sepatu, setiap hari aku melihat gambar sekumpulan anak-anak kecil yang memakai sepatu berwarna-warni sedang terlihat tertawa dan bergembira yang ditempel di pojok atas ruangan toko sepatu itu dengan nama sebuah merk sepatu terkenal tertulis di bawahnya. Aku sering kali berkhayal bahwa aku akan seperti sepatu-sepatu itu.

Pasti teman-teman Bintang sama seperti gambar anak-anak di toko sepatu itu.

Konon kata teman-teman aku, sekali sepatu dipakai oleh pemiliknya maka perasaan dan suasana hati sang pemilik sepatu itu akan menyatu dengan sepatunya.

Rasanya senang sekali mempunyai perasaan yang ceria dan gembira seperti anak-anak di gambar itu.

"Sebentar lagi khayalanku akan menjadi nyata!", aku berteriak sekuat tenaga.

"Ssstttt...jangan berisik"

Aku terkejut, suara siapa itu?Mustahil manusia bisa mendengar suaraku.

"Siapa itu?", tanyaku menyelidik sambil melihat ke kanan dan ke kiri.

"Di bawah kamu!"

Aku melihat ke rak di bagian bawah, ada seonggok sepatu dekil mirip aku yang terlihat bolong di ujungnya tergeletak, terlihat menyedihkan.

"Kamu yang tadi bicara?"

"Iya, aku sepatu Bintang yang rusak. Tadi aku mau menyapa kamu tapi kamu sudah tertidur tidak lama sehabis Bintang menaruh kamu di rak"

Aku jadi malu sendiri karena cepat sekali tertidur, mungkin karena udara sejuk di ruangan ini yang membuat aku cepat terbang ke alam mimpi.

"Nama aku Buto, kamu siapa?", kataku memperkenalkan diri seramah mungkin.

"Aku tidak ada namanya"

"Kok kamu bisa bolong begitu sih?"

Aku melihat sepatu dekil itu sepertinya enggan menjawab.

"Nanti kamu bakal tahu sendiri lah", katanya acuh tak acuh membuat aku jadi penasaran.

Lampu ruangan mendadak menyala terang. Aku melihat Ningsih membereskan ruangan sambil bersenandung kecil.

"Sebentar lagi Bintang akan bersekolah, kamu harus siap-siap", sepatu dekil itu berkata lirih.

Aku agak heran melihatnya, tidak ada kesan ceria sama sekali, malah terkesan suram dan tidak bersemangat, apa karena dia merasa tidak berguna karena Bintang tidak memakainya lagi ke sekolah? Nanti sepulang sekolah akan aku tanyakan, pikirku.

"Aku sudah siap kok", kataku sambil melentur-lenturkan badan.

Bintang sudah berdiri di hadapanku dengan memakai pakaian rapih, kemeja putih dan celana pendek merah. Aku tersenyum kepadanya yang, tentu saja, tidak membalas senyumanku itu. Sebuah tas ransel berwarna biru bergambar tokoh superhero tergeletak di kursi tamu.

Bintang meraih aku dan segera dipakaikan di kakinya. Benar saja, seketika aku bisa merasakan perasaan dan suasana hati Bintang. Keceriaannya sama seperti gambar anak-anak di toko sepatu itu, pikirku gembira.

Ningsih mengambil tas ransel biru itu dan memakaikannya di pundak Bintang.

Setelah berdoa bersama, Ningsih mengecup kening Bintang dan berpesan supaya ia hati-hati di jalan dan tekun belajar di sekolah. Namun, entah kenapa, aku seperti merasakan suara Ningsih bergetar menahan rasa khawatir.

"Apa yang harus dikhawatirkan? Kan ada aku yang akan selalu menemani Bintang", aku berkata kepada diriku sendiri dengan penuh rasa percaya diri.

Sepanjang perjalanan Bintang ke sekolah, aku melihat kendaraan, motor maupun mobil lewat silih berganti. Orang-orang ramai berjalan atau berbicara satu sama lainnya, suara klakson di sana sini , persis sama dengan yang pertama kali aku dengar sewaktu aku dibawa oleh Indah ke rumah Bintang dalam kardus. Hanya kali ini aku bisa melihat dengan jelas dan bukan hanya mendengar suara.

Sesampainya di sekolah, Bintang disambut oleh teman-temannya. Mereka tertawa dan bersenda gurau bersama sambil menunggu bel masuk berbunyi. Karena jarak antara rumah Bintang dan sekolah yang tidak terlampau jauh, aku masih belum merasakan capek ketika berjalan tadi.

Pelajaran pun berlangsung dengan tertib. Semua murid tampak memperhatikan dengan sungguh-sungguh semua penjelasan yang disampaikan oleh pak guru di depan kelas. Aku bisa merasakan bahwa Bintang adalah murid yang cerdas. Sesekali ia menjawab pertanyaan pak guru yang dilontarkan.

Bel istirahat pun berbunyi. Semua anak-anak bergegas keluar dari kelasnya masing-masing. Ada yang segera ke kantin untuk membeli makanan kecil, ada yang saling bersenda gurau sambil berlari-larian dan ada yang hanya duduk-duduk saja sambil mengobrol di luar kelas. Aku sangat menikmati semangat anak-anak di sekolah ini.

Bintang mengobrol seru dengan Fajar, teman sebangkunya, di luar kelas. Aku tidak mengerti apa yang mereka obrolkan dan aku juga tidak perduli karena aku sibuk memperhatikan anak-anak yang berlari-larian di depanku ini. Rasanya aku juga ingin berlari-larian seperti mereka, pasti mengasyikan, pikirku.

Sewaktu mereka masih mengobrol, aku melihat empat orang anak menghampiri Bintang.

"Sepatu baru nih...", kata satu orang anak bertubuh gendut.

"Iya Den, ini dikasih kok"

"Kenalan dulu dong", kata anak bertubuh gendut yang dipanggil Den itu sambil serta merta menginjak-injak aku disusul oleh ketiga temannya.

Aku menjerit sekuat tenaga karena injakan mereka yang kasar dan kuat. Sakit sekali.

"Jangan Den", seru Bintang sambil berusaha menghindar dari injakan kaki mereka.

Fajar terlihat berusaha menarik Bintang kembali ke dalam kelas sambil berkata lantang,"Apa-apaan kau Deni! Akan aku laporkan kepada guru".

Deni dan teman-temannya tertawa mengejek sambil berlari ke arah lapangan sekolah. Sebelum menghilang dalam kerumunan anak-anak yang lain, sekilas aku melihat Deni menatap Bintang dengan tatapan aneh yang membuat aku takut.

"Deni emang kelewatan", Fajar menggeram menahan kesal begitu mereka kembali duduk di bangku mereka.

Bintang hanya terdiam sambil tangannya sibuk mengkibas-kibaskan debu di tubuhku bekas injakan tadi.

Aku merasakan Bintang sedih, takut dan marah.

"Yah mau gimana lagi Jar," sahut Bintang, "Anak-anak kelas lima emang suka seenaknya sama kita yang kelas tiga."

"Iya, tapi si Deni tuh yang paling belagu".

Kembali Bintang hanya terdiam.

"Gimana pukulan si Deni kemarin di punggung kamu, masih terasa sakit?".

Bintang mengangguk.

"Masih Jar. Semalam Ibu aku lihat bekas pukulan itu berwarna biru di punggung aku, dia nanya kenapa, aku bilangnya terjatuh pas tanding bola "

"Kenapa sih si Deni itu ngincer kamu terus Tang?", tanya Fajar dengan gemas.

"Gak tahu Jar, mungkin karena waktu itu aku pernah laporin dia ke guru piket karena terus minta duit ke kita."

Aku melihat Fajar seperti terlihat terkejut.

"Jadi kamu yang laporin si Deni? Pantas sudah berapa hari ini dia gak minta-minta duit lagi ke kita. Kok kamu berani laporin si Deni , Tang? Kita semua gak ada yang berani, tau sendiri, bapaknya aja preman pasar".

"Tadinya aku juga gak berani Jar, aku juga takut tapi pas aku lihat ibuku yang susah payah setiap hari jualan jamu dari pagi sampai sore naik sepeda untuk kasih aku duit buat jajan dan sekolah, aku jadi merasa kesal sama si Deni yang bisanya cuma minta-minta doang. Akhirnya aku laporin aja ke guru biar dia tau rasa. Emang dia kira gampang nyari duit", kata Bintang.

Aku bisa merasakan kekesalan hati Bintang. Akupun juga masih kesal karena tubuhku diinjak dengan semena-mena, ingin rasanya aku injak balik si Deni itu!

Bel kembali berbunyi. Rupanya sudah saatnya pulang karena aku melihat semua anak di kelas Bintang bergegas membereskan buku serta alat-alat tulis dan dimasukkan ke dalam tas. Setelah mengucapkan salam, mereka segera keluar kelas secara tertib.

Aku mendengar Bintang berkata kepada Fajar bahwa nanti sore ia akan mampir ke rumah Fajar untuk bermain games bersama, Fajar pun berkata bahwa ia akan memperlihatkan games terbaru seperti yang tadi ia ceritakan di waktu istirahat. Bintang tertawa kecil. Kemudian mereka pun berpisah.

3.

Cuaca begitu terik ketika Bintang berjalan santai menuju ke rumahnya. Udara panas dan debu yang beterbangan di hadapanku membuat aku merasa tidak nyaman.

"Duh, panas sekali, Bintang apa tidak bisa dipercepat ya jalannya," keluhku sambil membayangkan rumah Bintang yang begitu nyaman dan sejuk.

Tidak berapa lama, aku melihat Deni dan ketiga temannya sedang berdiri di ujung sebuah gang. Tampak mereka sedang berbincang-bincang sambil sesekali tertawa. Aku merasakan Bintang sepertinya agak takut.

Bintang seharusnya menghindar dari mereka, pikirku. Tapi aku teringat bahwa tadi pagi Bintang melewati jalan ini juga ketika hendak ke sekolah. Mau tidak mau, Bintang harus berjalan melewati mereka karena jalan melalui gang ini adalah satu-satunya jalan yang menuju ke rumah Bintang.

Dari kejauhan, Deni melihat Bintang, kemudian ia beserta dengan ketiga temannya itu berjalan mendekatinya.

Entah kenapa, aku merasa sepertinya ada yang tidak beres.

"Woi jagoan", Deni berteriak sambil tersenyum menyeringai.

"Mau apa kalian?", tanya Bintang sambil terus melangkah.

Deni dan ketiga temannya mendadak berhenti , demikian juga Bintang. Aku melihat ke kanan dan ke kiri, tidak ada orang lewat sama sekali.

"Minta duit dong", kata Deni sambil menjulurkan lidahnya, ketiga temannya terlihat tertawa mengejek.

Bintang diam saja sambil matanya menatap Deni dengan sikap menantang.

"Hajar Den, tukang ngadu jangan dikasih ampun", kata salah satu teman Deni yang bertubuh kurus.

Deni tersenyum sinis, " Kita teror aja dulu ni anak".

Bintang kembali mau melangkah namun mendadak tangan Deni mendorongnya hingga terjatuh.

Melihat Bintang terjatuh, Deni dan teman-temannya kembali tertawa terbahak-bahak. Setelah itu mereka bergegas mengambil sepedanya dan segera pergi. Suara tawa mereka masih terdengar sebelum akhirnya mereka berbelok dan menghilang dari pandangan Bintang.

Bintang segera bangkit berdiri dan berjalan. Aku ingin menghiburnya karena kesedihan yang dia rasakan saat ini, di samping itu aku juga bersyukur karena Deni dan teman-temannya tidak berbuat hal-hal yang bisa membahayakan Bintang.

Untuk saat ini, bagaimana kalau nanti?

Aku tercenung, ternyata dunia Bintang tidak seindah gambar anak-anak di toko sepatu itu. Aku juga bertanya-tanya, kenapa anak-anak seperti Deni dan teman-temannya itu suka sekali mengancam, meneror dan mengambil uang yang bukan milik mereka. Bukankah seharusnya dunia anak-anak adalah dunia yang penuh kegembiraan dan keceriaan karena nanti setelah mereka dewasa, kerasnya kehidupan sudah menanti di depan mata.

Aku jadi teringat si sepatu dekil di rumah Bintang. Mungkin bukan karena dia tidak dipakai lagi oleh Bintang sehingga dia menjadi suram dan tidak bersemangat tapi mungkin karena dia harus mengalami dan melihat yang aku alami hari ini setiap hari.

Sungguh tidak terbayangkan!

Aku melihat ke arah Bintang yang masih berjalan. Dari sudut matanya, aku melihat setetes air mata mengalir turun. Jangan takut Bintang! Aku ada disini menemanimu, melewati kesedihan dan ketakutan yang kamu harus hadapi.

Tiba-tiba aku tersadar, aku kan hanya sepasang sepatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun