Danang menghempaskan tubuhnya di meja makan, tampak di depannya sepiring nasi, semangkuk sayur asam dan beberapa iris tempe dan tahu serta segelas air putih. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pantas saja dari tadi perutnya sudah keroncongan mencari makanan. Di luar hujan turun dengan derasnya. Semoga tidak banjir lagi, Danang membatin.
"Mas, kamu habiskan saja semuanya, tadi aku sudah makan duluan," , suara Tari istrinya yang sedang hamil anak pertama mereka menggema dari balik kamar tidur
"Ya sudah", Danang menjawab sekenanya
Sambil menikmati makan malamnya, pikiran Danang berkelana mengingat kejadian yang dia alami hari ini.
Sejak ia di PHK perusahaannya dahulu yang bergerak di bidang penjualan alat alat stationery, Danang harus berpikir keras untuk mencukupi kebutuhan ia dan istrinya sehari hari.
Kalau dulu selama ia bekerja sebagai sopir pengantaran barang kurang lebih 6 tahun, gaji ditambah tunjangan ini dan itu cukup untuk kebutuhannya sehari hari dan ketika ia memutuskan menikah setahun kemudian, ia masih bisa mengontrak rumah untuk ditinggali mereka berdua.
Tapi sekarang, sejak ia memutuskan menjalani pekerjaan sebagai ojek online, pemasukannya menjadi tidak menentu, kadang bisa melebihi gaji yang pernah ia miliki kadang juga kurang, tergantung seberapa giat ia mencari orderan baik penumpang maupun pemesanan makanan secara daring.
Saat ini dia juga sedang menantikan kelahiran anak yang ia dan istrinya nantikan selama 4 tahun perkawinan mereka dan saat ini usia kehamilan istrinya sudah menginjak 6 bulan, itu berarti sudah saatnya ia mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kehadiran sang buah hati ke dalam hidup mereka yang juga berarti penambahan biaya hidup.
Beruntung Tari saat ini masih bekerja sebagai tenaga administrasi di sebuah toko bahan bangunan sehingga beban biaya hidup tidak berat sebelah melainkan bisa ditanggung bersama tapi tetap saja kewajiban Danang sebagai seorang suami membuat ia berfikir keras untuk mencari tambahan uang untuk kebutuhan persalinan dan kelahiran kelak.
Hari ini Danang merasa begitu lelah. Sejak ia keluar untuk membawa penumpang dari pukul enam pagi, ia hanya beristirahat untuk makan siang saja di sebuah warung makan selama sekitar 30 menit, setelah itu dia kembali mengambil setiap orderan yang masuk ke aplikasi ojek online nya sampai tiba tiba saja ban motornya kempis di tengah jalan.
Untung saja itu terjadi setelah ia mengantarkan seorang penumpang ibu ibu ke sebuah pusat perbelanjaan di bilangan Jakarta Selatan.
Siang itu ketika matahari sedang terik teriknya, ia harus menuntun motornya untuk mencari tukang tambal ban terdekat yang ternyata ia baru menemukan tukang tambal ban tersebut setelah ia berjalan berkilo kilo meter jauhnya.
Selesai menambal, Danang kembali menyalakan aplikasi untuk mencari penumpang dan beruntungnya, ia mendapatkan penumpang yang mempunyai tujuan ke daerah Jakarta Barat yang memang searah dengan rumahnya jadi ia bisa langsung pulang .
Setelah berjibaku dengan kemacetan lalu lintas pulang kantor, sampai juga ia di daerah tujuan penumpangnya tersebut. Danang kemudian mematikan aplikasi nya dan bersiap segera pulang ke rumah.
Dan akhirnya, sesampainya di rumah, Danang pun bisa merenggangkan tubuhnya sambil menikmati nasi, sayur asam, tahu dan tempe buatan istrinya.
Setelah selesai menyantap makan malamnya, Danang segera membereskan piring dan mangkuk dan menuju ke tempat cuci piring.
Terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki Tari menuju ke ruang depan, tombol TV dinyalakan dan terdengar suara khas sinetron yang memang digemari istrinya.
Sehabis mencuci piring dan mangkuk, Danang segera ke ruang depan menyusul istrinya. Tari sedang duduk menyelonjor sambil matanya lekat menatap layar TV.
"Gimana kerjaan kamu hari ini, Yang?", Danang membuka pembicaraan. Istilah sayang memang merupakan panggilan Danang kepada Tari.
" Biasalah mas, gitu gitu aja. Aku mual banget di toko jadi tadi aku izin pulang jam satuan"
"Muntah lagi ?",tanya Danang dan dijawab gelengan kepala oleh Tari
" Terasa lagi gak tendangan si dedek di perut kamu?" Danang mengusap perut Tari.
" Hari ini tendangannya lebih terasa, mungkin udah gak sabar mau keluar dari perut aku," Tari tertawa kecil, "Kamu gimana mas? Banyak penumpang hari ini?"
"Lumayanlah tapi tadi ban motor aku kempis dan tukang tambal bannya jauh banget, capek banget aku dorong motornya"
Sekilas Danang menatap wajah istrinya yang sedang serius menatap layar TV, terlihat guratan kelelahan di wajahnya.
Danang menghela napas, seandainya ia tidak di PHK dahulu, ia pasti akan menyuruh istrinya berhenti dari pekerjaannya dan diam di rumah sambil menantikan bayi mereka lahir, kasihan Tari harus setiap hari pulang pergi naik angkot, belum lagi hampir setiap pagi atau siang Tari merasakan mual yang biasanya akan berakhir dengan muntah muntah.
Pernah satu kali Tari muntah begitu hebat sampai sekujur tubuhnya lemas sehingga ia harus dibawa ke rumah sakit terdekat untuk diperiksa, tidak ada masalah hanya kecapekan, begitu kata dokter yang merawat. Sejak saat itu Danang selalu merasa was was dengan Tari tapi apa daya, keadaan lah yang membuat mereka berdua harus bekerja.
"Mas....", wajah Tari berpaling ke Danang, " Aku mau sate...."
Danang menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam.
"Gak bisa besok aja Yang? Ini udah jam sembilan dan hujan gede banget, aku gak yakin tukang sate jualan hujan hujan begini"
"Yaaa mas...cariin dong, pasti ada deh, bawaan orok nih," Tari merajuk
Danang mendengus, biasanya Tari kalau ngidam pasti harus dituruti, karena kalau tidak , ia akan melakukan aksi tutup mulut berjam-jam dengan muka cemberut.
Mungkin karena Tari anak bungsu dari tiga bersaudara, laki laki semua dan pernikahan mereka termasuk pernikahan dalam usia muda, Tari berumur 20 tahun dan Danang lebih tua 4 tahun saat mereka menikah jadi sifat kekanak kanakan Tari masih sering muncul.
Namun selain sikap kekanak kanakan, Tari memiliki sifat ceria. Berbeda dengan sifat Danang yang serius dan introvert.
Perpaduan sifat kanak kanak dan ceria itulah yang bisa membuat Danang luluh sehingga biasanya apapun permintaan Tari akhirnya akan Danang turuti apalagi kalau alasannya karena bayi di dalam kandungan Tari yang mau, padahal dalam hati Danang bertanya tanya, memang bisa bayi belum lahir sudah memiliki rasa ingin.
Danang kemudian bangkit dari tempat duduknya,"Okelah, aku cari satenya"
Tari tersenyum simpul, "Nahhh gitu dong....namanya suami siaga, apapun yang istrinya mau selalu ada"
Danang pura pura memasang mimik muka kesal. Sambil memakai jaket dan jas hujan kembali, ia menggumam tidak jelas sementara Tari hanya senyum senyum melihat tingkah suaminya,
" Mas, kalau kamu cemberut gitu nanti muka ganteng kamu luntur loh hahah...."
" Biarin aja lah, daripada aku ganteng terus, nanti pada suka, kamu marah lagi", Danang tertawa kecil sambil mengecup kening istrinya, "Aku pergi dulu ya, doain supaya tukang sate nya gak pada tidur"
"Beresss", Tari mengangkat jempolnya tinggi tinggi, "Hati hati mas"
Danang segera mengeluarkan motor bebeknya dari halaman rumah petaknya, tidak lama kemudian terdengar suara derunya memecah riuh rendah hujan di malam itu.
***********
Sudah hampir setengah jam Danang berkeliling di sekitar daerah tempat dimana ia tinggal namun tidak satupun tukang sate yang ia jumpai.
Hatinya mulai gelisah, takut Tari sudah mulai mengantuk dan akhirnya tertidur.
Ia merogoh tas di balik jas hujannya dan mengambil handphone dari dalamnya, memeriksa apakah ada pesan yang dikirim, tapi ternyata tidak ada sama sekali. Akhirnya ia memutuskan mencari di daerah yang lebih jauh.
Hujan turun semakin deras sementara kilat sesekali memancar. Jalanan sudah mulai sepi dari arus lalu lintas.
Danang memutar ke daerah perumahan seberang tempat tinggalnya. Biasanya di sana banyak sekali orang berjualan, pikirnya.
Sesampainya di sana, ia hanya melihat deretan ruko yang tertutup rapat. Hanya ada satu tukang gorengan yang menjajakan makanannya di dekat salah satu ruko yang tutup. Tidak putus asa, Danang kembali menyusuri jalanan dan berbelok menjauhi daerah perumahan tersebut.
Kembali pikirannya menerawang jauh, mengingat masa masa pacaran dulu. Sate adalah makanan favorit Tari dan hampir setiap malam minggu ketika Danang menjemput Tari untuk pergi bersama, pasti akan berakhir di warung sate.
Saat itu adalah masa masa terindah dalam hidup Danang
Satu ketika, sesudah kurang lebih setahun mereka berpacaran, ia berkeinginan melamar Tari, dan ketika ia mengutarakan maksud hatinya tersebut , gadis itu sedikit terhenyak.
"Kamu serius mas?, " tanya Tari saat itu
"Seriuslah, masa aku bercanda", jawab Danang sedikit kesal
Tari terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya ia menerangkan bahwa ayahnya tidak suka ia berpacaran dengan Danang yang hanya lulusan SMA dan punya profesi sebagai sopir.
Ayahnya berkeinginan Tari menikah dengan lelaki yang sudah mapan dengan tingkat pendidikan Sarjana. Ini semua demi masa depan kamu, kata ayah Tari sesaat ketika Tari memberi tahu ayahnya bahwa saat ini ia berpacaran dengan Danang.
Kamu tidak cukup makan hanya dengan cinta, semua butuh uang, beber ayahnya lagi.
Mendengar hal itu, Danang membisu. Ia memikirkan perjuangannya agar bisa bersekolah sampai lulus SMA dengan bekerja serabutan di sana sini karena kedua orang tuanya sudah tidak mampu lagi menyekolahkannya.
Ayahnya sudah pensiun dan ibunya hanya berjualan jamu keliling sementara ia masih punya satu adik yang baru lulus SD.
Apa salahnya hanya lulusan SMA, pikir Danang saat itu. Iapun bertekad membuktikan bahwa ia bisa meluluhkan hati ayah Tari dengan menunjukkan bahwa ia, yang hanya lulusan SMA, mampu menghasilkan uang yang cukup.
Sejak saat itu Danang bekerja lebih keras lagi. Pengiriman ke luar kota yang biasanya dikerjakan oleh sopir lain, ia lakukan setelah meminta izin dari atasannya hanya untuk bisa mengejar tunjangan luar kota yang hasilnya lumayan.
Perusahaan tempat Danang bekerja pun semakin hari semakin meningkat dalam penjualan sehingga Danang semakin sibuk mengantar barang ke sana ke mari.
Tari sempat protes dengan jarangnya mereka bertemu karena kesibukan Danang tapi akhirnya ia mengerti bahwa itu semua untuk kebaikan mereka berdua.
Akhirnya hati ayah Tari pun luluh setelah melihat perjuangan Danang dan merestui pernikahan mereka
Namun tidak lama setelah itu, Perusahaan tempat Danang bekerja terbelit masalah keuangan yang serius sehingga mengakibatkan bangkrutnya Perusahaan dan membuat semua karyawan harus di PHK termasuk Danang.
Saat itulah Danang merasakan hancur. Ia merasa dunia seperti kiamat dan tidak ada harapan lagi.
Lamunannya tiba tiba tersentak, sejurus di depannya ia melihat sebuah tenda dan gerobak sate berdiri di pojok minimarket.
Akhirnya ketemu juga, pekik Danang dalam hati.
Segera ia melajukan motornya ke arah warung sate tersebut, memarkirkannya di pinggir dan dengan setengah berlari, ia masuk ke dalam tenda tersebut.
Di dalamnya ia melihat seorang bapak setengah baya yang berperawakan kurus sedang duduk menghadap sebuah gelas yang berisi kopi hitam. Matanya setengah mengantuk dan terlihat sedikit terkejut melihat kedatangan Danang yang serta merta ke dalam warung satenya.
"Satenya mas, mau yang ayam atau kambing?" kata si bapak sambil buru buru bangkit berdiri
"Iya pak, sate ayam saja, berapa satunya?"
"Seribuan mas"
"Saya pesan dua puluh tusuk sate ayam pak, tidak usah pakai lontong, bumbunya pakai kacang ya," Danang lupa menanyakan jumlah sate yang diinginkan Tari tapi biasanya Tari sanggup memakan sate sepuluh tusuk sendirian.
Sepuluh buat Tari, sepuluhnya lagi buat aku, pikir Danang dalam hati.
"Siap mas"
Dengan sigap si bapak penjual sate mengambil dua puluh tusuk sate mentah dari dalam gerobaknya sambil kemudian menyiapkan tempat panggangan untuk membakar sate-sate itu.
Danang duduk sambil matanya memandang tenda tempat bapak itu berjualan. Ia agak heran karena sudah beberapa kali melewati daerah ini tapi tidak pernah melihat tenda tempat berjualan sate ini.
"Baru buka ya pak tempat satenya?", Danang tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya,"Sudah beberapa kali saya lewat sini tapi baru sekarang saya melihat bapak berjualan".
"Iya mas, saya baru seminggu jualan di tempat ini, sebelumnya saya jualan di kampung ", jawab bapak penjual sate sambil menuangkan segelas teh hangat dan menyerahkan kepada Danang, "Diminum mas, pasti dingin habis kehujanan".
"Terima kasih pak", Danang tersenyum sambil segera meminum teh hangat itu. Memang dari tadi ia merasa kedinginan karena hujan yang tidak berhenti turun.
Danang kembali melihat ke sekeliling sambil menunggu satenya dibakar , tiba tiba pandangannya tertumbuk pada satu sosok anak laki laki kecil berumur sekitar 5 tahun yang sedang tertidur di bagian ujung tenda tersebut, di bagian yang agak merapat ke undakan tangga minimarket tempat tenda itu berdiri sehingga terlindung dari terpaan hujan, sehelai sarung menutupi sebagian tubuhnya yang berkaos coklat dan bercelana pendek putih. Anak itu tampak tertidur pulas dan tidak terganggu oleh keadaan di sekitarnya.
"Itu anaknya, pak?", kembali rasa ingin tahu Danang membuat ia bertanya.
"Iya mas"
"Nemenin bapak nya jualan nih"
Si bapak penjual sate terlihat tersenyum, tangannya masih sibuk mengipas sate di panggangan.
"Di rumah soalnya dia sendirian jadi saya ajak dia nemenin saya jualan disini mas"
"Ibunya di kampung pak?", Seketika Danang menyesali pertanyaannya, rasanya sudah terlalu jauh dia bertanya tentang kehidupan pribadi bapak penjual sate tersebut.
Rupanya si bapak penjual sate tidak keberatan dengan pertanyaan Danang itu, sambil tetap sibuk mengipas satenya , ia bercerita," Istri saya kabur sama laki laki lain mas, baru sebulan yang lalu, anak saya ditinggal begitu saja di rumah orang tua saya."
Danang hanya terdiam dan tidak tahu harus menjawab apa.
Si bapak penjual sate melanjutkan ceritanya," Saya sebenarnya sudah curiga dia ada main sama laki laki lain tapi saya tidak punya buktinya. Sering sekali dia pergi pagi dan pulang malam hari, kalau saya tanya alasannya lagi usaha berjualan baju bersama temannya jadi dia keliling ke sana ke mari mencari pelanggan."
Danang mengangguk kecil.
"Jadi bapak sudah mulai jualan sate dari kampung?", tanya Danang, berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Saya membantu usaha sate di tempat orang tua saya mas, yah memang hasilnya tidak seberapa tapi cukuplah buat makan dan modal masuk sekolah si kecil nanti"
Danang kembali mengangguk, sekilas dia teringat usaha nya agar bisa lulus SMA, apa saja dia kerjakan yang penting halal, dari mulai menjadi kuli bangunan di beberapa proyek sampai bekerja part time di sebuah rumah makan, masa masa yang sukar tapi berhasil dia lalui.
"Pasti berat ya pak , mengasuh anak sendirian apalagi sambil jualan seperti ini", kata Danang
Si bapak penjual sate kembali terlihat tersenyum, "Awal awal istri ninggalin saya sama anak saya memang berat banget mas, satu kampung membicarakan kami terus akhirnya saya tidak tahan, saya bawa anak saya ke Jakarta, pertama saya numpang di rumah saudara yang tinggal di Kebayoran sambil berusaha cari kerja , tapi susah sekali cari kerja di sini, akhirnya saya putuskan mencoba berjualan sate seperti di kampung dulu mas, dengan modal pinjam sana sini, saya coba usaha sate di sini, kebetulan tempat sewa nya tidak terlalu mahal, saya pindah dari rumah saudara saya dan ngontrak rumah di ujung gang itu mas"
Danang melihat si bapak penjual sate sedang menyiapkan bumbu kacang , terlihat sate yang dibakar sudah hampir matang.
"Kadang saya tidak tega melihat anak saya ikut berjualan sampai malam begini, tapi saya juga gak bisa ninggalin dia di rumah kontrakan sendirian, jadi yah sudah, lebih baik dia disini bantu bantu saya jadi saya bisa ngawasin dia mas,", Si bapak kembali bercerita.
" Bersyukur aja mas kalau sekarang saya masih bisa usaha, anak juga sehat, kalau dipikirin terus bisa stress saya mas", Kata si bapak penjual sate sambil segera mengambil sate yang telah matang dari panggangan, menaruhnya di kertas minyak coklat yang telah terdapat bumbu, mengikatnya dengan karet kemudian memasukkannya ke dalam bungkusan disertai dengan plastik kecil berisikan sambal.
Danang tercenung mendengar perkataan bapak penjual sate tersebut, dalam hatinya ia merasakan suatu getaran haru.
Ia teringat bayi yang saat ini masih ada dalam kandungan istrinya, dua duanya dalam kondisi sehat, ia juga masih bisa bekerja di tengah tengah keterpurukan pekerjaan lamanya, hal hal yang seharusnya bisa ia syukuri, tapi Danang lupa kapan terakhir kali dia merasa bersyukur.
Bapak penjual sate mengulurkan bungkusan plastik berwarna merah kepada Danang, "Ini mas satenya"
Danang mengambil bungkusan tersebut dan menaruhnya di meja, ia lalu mengeluarkan dompetnya dari dalam tas dan mengeluarkan uang lima puluh ribu ,"Ambil aja kembaliannya pak".
"Terima kasih mas"
Danang mengangguk sambil tersenyum kecil, kemudian dia berbalik untuk keluar namun tiba tiba dia berhenti karena teringat sesuatu dan kembali menengok ke bapak penjual sate itu.
"Terima kasih pak sudah mau cerita sama saya, usaha bapak pasti diberkahi oleh Tuhan"
Danang segera kembali ke motornya dan melaju menuju ke rumahnya, hujan sudah berhenti turun. Angin malam yang dingin menerpa wajahnya, entah kenapa rasanya dia ingin cepat cepat sampai di rumah, memeluk erat istri dan bayi dalam kandungannya dengan penuh ucapan syukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H