" Hari ini tendangannya lebih terasa, mungkin udah gak sabar mau keluar dari perut aku," Tari tertawa kecil, "Kamu gimana mas? Banyak penumpang hari ini?"
"Lumayanlah tapi tadi ban motor aku kempis dan tukang tambal bannya jauh banget, capek banget aku dorong motornya"
Sekilas Danang menatap wajah istrinya yang sedang serius menatap layar TV, terlihat guratan kelelahan di wajahnya.
Danang menghela napas, seandainya ia tidak di PHK dahulu, ia pasti akan menyuruh istrinya berhenti dari pekerjaannya dan diam di rumah sambil menantikan bayi mereka lahir, kasihan Tari harus setiap hari pulang pergi naik angkot, belum lagi hampir setiap pagi atau siang Tari merasakan mual yang biasanya akan berakhir dengan muntah muntah.
Pernah satu kali Tari muntah begitu hebat sampai sekujur tubuhnya lemas sehingga ia harus dibawa ke rumah sakit terdekat untuk diperiksa, tidak ada masalah hanya kecapekan, begitu kata dokter yang merawat. Sejak saat itu Danang selalu merasa was was dengan Tari tapi apa daya, keadaan lah yang membuat mereka berdua harus bekerja.
"Mas....", wajah Tari berpaling ke Danang, " Aku mau sate...."
Danang menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam.
"Gak bisa besok aja Yang? Ini udah jam sembilan dan hujan gede banget, aku gak yakin tukang sate jualan hujan hujan begini"
"Yaaa mas...cariin dong, pasti ada deh, bawaan orok nih," Tari merajuk
Danang mendengus, biasanya Tari kalau ngidam pasti harus dituruti, karena kalau tidak , ia akan melakukan aksi tutup mulut berjam-jam dengan muka cemberut.
Mungkin karena Tari anak bungsu dari tiga bersaudara, laki laki semua dan pernikahan mereka termasuk pernikahan dalam usia muda, Tari berumur 20 tahun dan Danang lebih tua 4 tahun saat mereka menikah jadi sifat kekanak kanakan Tari masih sering muncul.