Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ulah Barbar Koruptor Nakal di Siniar Terkenal

14 Maret 2023   19:08 Diperbarui: 14 Maret 2023   19:08 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rintik gerimis sore hari membasahi kaca depan mobil mewah Arul yang membawanya ke rumah Dilo Corsa, seorang podcaster terkenal di seluruh negeri. Brama, sang sopir, menawarkannya untuk mampir ke sebuah kafe setelah melihat raut muka tuannya yang duduk di baris kedua tampak tegang.

"Mampir kafe dulu, Pak. Acara Pak Dilo masih dua jam lagi. Americano anget dan kue sepertinya enak pas hujan begini," kata Brama kepada majikannya sambil menatap kaca spion di atasnya.

Arul menghela nafas, lalu merespon dengan nada agak ketus, "Di tempatnya Dilo juga pasti disuguhin kopi dan kue-kue."

"Belum tentu, Pak. Palingan juga air mineral. Minggu lalu sopir Pak Wendha bilang kalau sepulang dari sana Pak Wendha ngomel-ngomel melulu. Jauh-jauh dari luar kota masak disuguhin air mineral dan keripik singkong doang, gitu katanya. Oh ya, Bapak juga belum makan siang, kan?" tanya Brama.

Tiba-tiba suara ponsel Arul berbunyi. Pria 53 tahun itu meraih tas kerjanya yang berada di jok samping lalu mengambil ponselnya dari situ.

"Wah, panjang umur tuh Wendha. Nih dia telpon. Oke, kita mampir ke kafe aja dulu," kata Arul kepada Brama sesaat sebelum menjawab telepon.

"Siap, Bos," kata Brama sambil tersenyum senang.

Mereka memilih duduk satu meja dengan kursi saling berhadapan di dekat jendela. Sore itu kafe tampak sepi. Selain Arul dan Brama, ada dua pengunjung lainnya yang duduk di ujung kafe.

Rintik gerimis kini menjelma menjadi hujan yang cukup deras. Brama duduk manis sambil menikmati secangkir kopi americano hangat dan meringue cake yang nikmat. Majikannya malah belum mencicipi kopi dan kuenya sama sekali karena masih berbicara lewat ponselnya.

Brama tidak memahami pembicaraan antara sang majikan dengan Pak Wendha. Mereka berbicara dalam bahasa Inggris yang tak sepatah kata pun dimengerti oleh Brama.

(Sebenarnya pembicaraan antara Arul dan Wendha bukan dalam bahasa Inggris, melainkan bahasa Perancis. Keduanya pernah mengikuti studi singkat di Metz, sebuah kota di timur laut Perancis.)

Brama melihat arlojinya. Tidak terasa sudah 45 menit mereka berada di kafe itu. Mereka harus sampai di kediaman Dilo setidaknya setengah jam sebelum acara dimulai untuk sesi setup dan touchup. Acara podcast atau siniar Dilo akan disiarkan secara langsung dari kanal YouTube "Dilo Corsa Show".

Brama memberi kode ke arah majikannya dengan mengangkat lengan kirinya seraya menunjuk arlojinya dengan telunjuk kanannya. Arul yang melihat itu buru-buru mengangkat cangkirnya, lalu menghirup kopinya yang sudah dingin beberapa kali hingga tandas.

Ia segera bangkit dan berjalan perlahan ke arah pintu. Dengan sigap, Brama membungkus kue yang tidak disentuh majikannya itu dengan dua lembar tisu lalu membawanya keluar dari kafe.

Mereka berjalan agak cepat ke arah mobil yang diparkir di depan kafe. Hujan telah mereda, menyisakan titik-titik air yang jatuh ke permukaan sejumlah genangan air yang menghasilkan gelombang transversal massal yang lembut.

Sebelum masuk ke mobil, Brama menatap langit yang masih tampak pekat. Sepertinya hujan akan turun hingga malam hari. Tak terbayang bagaimana kemacetan kota petang hari nanti.

***

Sesampai di kediaman Dilo yang sangat megah, Arul disambut oleh Dilo dan timnya. Setelah keduanya bersalaman dan berpelukan akrab, mereka berjalan menuju ruang tamu yang berada di bagian tengah bangunan.

Bangunan empat lantai itu menjadi kediaman Dilo Corsa sekaligus menjadi kantornya. Rumah peninggalan orang tua Dilo itu dulunya adalah bangunan lama dengan satu lantai.

Seiring dengan kesuksesan kanal siniarnya, Dilo merenovasi rumah itu menjadi bangunan empat lantai. Dua lantai terbawah menjadi kantornya, sedangkan dua lantai di atasnya menjadi tempat tinggalnya bersama keluarga kecilnya.

Ruang tamu itu dilengkapi sofa mewah dari sebuah toko furnitur terkenal. Di kanan-kiri ruangan dipenuhi dengan sejumlah tanaman dan bunga-bunga artifisial. Suara gemericik air dan cuitan burung keluar dari empat pelantang suara yang dipasang di tiap sudut ruangan yang berbentuk persegi empat.

Usai mempersilakan  duduk, Dilo dan beberapa orang timnya pergi ke arah sebuah pintu yang bertuliskan "STUDIO 1". Brama yang membawa tas majikannya duduk di sofa panjang bersama Arul. Tidak ada orang lain selain mereka berdua.

Pandangan Brama menerawang seisi ruangan yang mewah itu, sedangkan Arul sibuk menatap layar ponselnya. Jemarinya mengetikkan kata-kata di layar ponselnya.

Beberapa saat kemudian seorang wanita setengah baya datang membawa dua botol air mineral merek premium, dua gelas mojito dan sepiring keripik singkong. Arul menatap sopirnya sebentar lalu tertawa terkekah. Brama cuma tersenyum, merasa tidak enak dengan orang yang membawakan suguhan kepada mereka.

"Kuenya tadi saya bungkus. Terserah Bapak mau makan kue atau keripik," kata Brama kepada Arul beberapa saat setelah wanita itu pergi.

"Yahhh, ini juga oke," kata Arul seraya menyorongkan badannya ke arah meja tamu di depannya. Ia menuangkan air mineral dari botol ke dalam gelas hingga setengahnya lalu meneguknya sampai habis.

Ia mengambil piring berisi keripik singkong pabrikan itu, lalu meletakkannya di kedua pahanya. Suara kriuk dari keripik yang digigit oleh Arul membuat Brama menelan ludahnya. Sepertinya enak.

Meski majikannya memperlakukannya sebagai seorang teman, ia harus bersikap sebagaimana seorang bawahan. Meski ingin mencicipi keripik singkong itu, Brama memilih duduk manis sambil memangku tas sang majikan.

Ia juga tidak perlu buru-buru meminum air mineral mahal di hadapannya, karena ia akan berada di ruangan itu kira-kira satu jam lagi. Sepanjang waktu itu, majikannya akan berada di dalam studio bersama Dilo dan timnya.

Beberapa saat kemudian, seorang pria muda yang mengenakan headset keluar dari pintu studio lalu berjalan menghampiri mereka. Ia mempersilakan Arul untuk memasuki ruangan studio.

Arul menyerahkan piring berisi keripik singkong itu kepada Brama lalu bangkit dari kursi. Rejeki tidak kemana, kata Brama dalam hati seraya menerima piring itu dari majikannya dengan senang hati.

***

Dilo membuka acara siniar terkenalnya dengan sapaan yang biasa ia sampaikan untuk membuka acara. Biasanya ia membacakan beberapa kabar dari dalam negeri atau manca negara sebelum masuk ke acara utama.

Posisi Dilo di sebelah kiri dan Arul duduk di sebelah kanan. Di layar pemirsa, Dilo duduk di sebelah kanan sedangkan Arul di sebelah kiri.

Di episode ke-121 tersebut, Dilo menampilkan salah satu figur yang namanya sedang dibicarakan dimana-mana. Arul Mahessa Putra, seorang koruptor yang namanya kini muncul di mana-mana, di media massa hingga dunia maya. Para netijen menguliti kehidupan Arul dan keluarganya dengan begitu kejamnya hingga ke lubang WC.

Entah bagaimana para netijen mengetahui harta Arul dan keluarganya baik berupa rumah, tanah, mobil-mobil fancy, koleksi jam tangan mahal, tas-tas branded super mevvah, perhiasan emas dan berlian, hingga koleksi saham dan deposito. Bahkan netijen juga tahu kalau Arul memiliki celengan gajah di ruang makan yang berisi ribuan lembar uang pecahan besar.

Para netijen merasa gusar, pasalnya Arul sehari-hari bekerja sebagai aparatur sipil negara alias ASN di sebuah kantor pemerintah di ibukota tetapi bergaya hidup mewah. Semuanya dimulai ketika anak bungsunya, seorang selebnet yang kerap memamerkan barang-barang mewahnya, terlibat dalam twitwar alias perang cuitan sengit dengan salah seorang pengikutnya.

Berawal dari saling sindir yag berkembang menjadi perang kata-kata, terjadi perang umpatan yang pada akhirnya berkembang liar dengan menyeret nama sang ayah. Saking gencarnya serangan netijen itu, sang anak yang merasa tertekan sampai menutup semua akun media sosialnya.

Karena media sosial sang anak telah ditutup, netijen pun mulai menyerang akun media sosial sang ibu atau istri Arul yang ternyata juga menjadi medium pamer koleksi barang-barang mahal. Foto-foto pelesir mewah keluarga Arul ke sejumlah negara juga ada di sana.

Tidak butuh waktu lama, akun media sosial Arul segera penuh dengan umpatan netijen. Bahkan salah satu akunnya berhasil diretas seseorang.

Dalam hitungan hari, isu itu pun semakin berkembang liar hingga akhirnya merembet ke sejumlah pejabat lainnya. Tentu saja hal itu membuat mereka menjadi gusar. Para netijen merasa geram dengan gaya hedonisme mereka yang ditengarai merupakan hasil korupsi.

Tidak tahan dengan serangan netijen yang bertubi-tubi, para pejabat yang kena mental menghapus semua unggahan yang rata-rata mengandung konten pamer harta benda. Mayoritas dari mereka memutuskan menutup seluruh akun media sosial mereka. Begitu pula dengan akun istri dan anak-anak mereka.

Bahkan ada beberapa pejabat yang mempertimbangkan untuk mengganti nomor ponselnya setelah menyadari bahwa nomor ponsel mereka dibagikan di dunia maya. Pantas saja ponsel mereka tak henti-hentinya berdering. Inbox SMS di ponsel mereka juga dipenuhi dengan umpatan dan sumpah serapah dengan kata-kata sekebun binatang.

Melihat fenomena tersebut, tim Dilo segera bergerak cepat mendatangi kantor beberapa pejabat yang menjadi sasaran para netijen itu. Mereka berniat mengundang para pejabat itu di acara siniar Dilo.

Sepertinya publik benar-benar penasaran sekaligus geram dengan perilaku pejabat rakus itu. Nah, Dilo melihat fenomena itu sebagai peluang untuk menambah subscribers-nya secara signifikan. Sayangnya dari sekian pejabat yang diduga terlibat korupsi, cuma Wendha, Arul dan dua orang pejabat lainnya yang bersedia menerima undangan wawancara secara langsung dari Dilo. .

Dilo mengundang para pejabat koruptif itu dengan raut muka gembira nan ceria. Meski terlihat akrab dengan tamu-tamunya, termasuk ketika menyambut Arul, sebenarnya di hati kecilnya jauh berbeda.

Dilo sangat membenci orang-orang yang mencari nafkah secara tidak terpuji. Tetapi kali ini ia terpaksa harus berdamai dengan hatinya demi meningkatkan jumlah pemirsa yang menonton acaranya.

Dilo menyapa Arul dengan kalimat basa-basi seperti "Senang sekali kita bisa mengundang Bapak Arul untuk ngobrol santai sore hari", lalu "Bagaimana kabarnya?", "Perjalanan ke sini lancar?" atau "Pekerjaan lancar?", hingga pertanyaan remeh-temeh tentang keluarga seperti "Apa masakan favorit yang dibuat oleh istri?" dan "Apa tempat-tempat favorit ketika jalan-jalan bareng keluarga?"

Suasananya terdengar sangat cair, hingga beberapa waktu kemudian Dilo mulai bertanya dengan nada menyindir.

"Cuaca masih hujan saja, nih. Orang-orang yang rumahnya bocor atau kebanjiran pasti menderita. Tapi kebocoran di kantor yang Bapak pimpin sepertinya malah jadi berkah ya, Pak?" tanya Dilo sambil terkekeh.

Seketika raut muka Arul pun berubah ketika mendengar pertanyaan tersebut. Tampak ia sedang mencerna pertanyaan itu. Ia berusaha berbesar hati dan menanggapinya dengan, "Kalau cuma bocor-bocor kecil, ya harus segera ditutup. Ada banyak produk pelapis anti bocor di toko-toko bangunan. Bagian pemeliharaan gedung bisa melakukannya. Tapi kalau bocornya besar, atau ada bagian atap yang rusak, rasanya perlu diperbaiki oleh kontraktor bangunan biar bisa bagus lagi."

"Respon yang diplomatis dari Bapak kita satu ini! Tetapi sebentar, saya ingin tahu bagaimana manis pahit kehidupan yang pernah dirasakan oleh Bapak selama ini?" tanya Dilo sebelum menghirup kopi hangatnya.

Lalu suasana sepi selama satu-dua detik. Hanya ada suara Dilo yang menghirup kopinya. Arul menjalin jemarinya, menghela nafas panjang, lalu berbicara.

"Begini, tadinya kehidupan kami manis-manis saja. Kami merasa bahagia, tetapi tiba-tiba kami diserang oleh orang-orang yang entah dari mana asalnya. Satu pun dari mereka cuma berani di dunia maya, tapi tidak berani bertemu empat mata dengan saya," kata Arul sambil menatap kamera satu.

"Lhoh... Bapak sendiri sehari-hari ada di kantor, bukan? Sampai rumah setelah maghrib seperti para ASN lainnya. Benar begitu?" tanya Dilo.

"Ya, betul. Kecuali bila saya ada rapat dengan pejabat lainnya, saya bisa pulang hingga larut malam. Mereka ini sudah tahu rutinitas saya sehari-hari. Beberapa wartawan juga mendekati rumah saya sampai istri saya merasa takut. Kedua anak saya sampai stres, anak bungsu saya sempat mengatakan ingin bunuh diri. Sampai detik ini saya juga belum bertemu dengan orang-orang yang menyerang keluarga saya. Begini ya, saya sebagai warga negara berhak untuk hidup tenang tanpa gangguan orang lain," jawab Arul dengan nada agak tinggi.

"Ya, saya ikut prihatin dengan kondisi Bapak. Tetapi kira-kira apa yang membuat orang-orang itu mengancam kehidupan Bapak yang selama ini tampak bahagia, harmonis dan hedonis itu?" tanya Dilo, lagi-lagi bernada sinis, sambil mengangkat kedua alis matanya.

"Itu karena mereka iri dengki dengan kehidupan kami. Mereka cuma ingin membuat saya dan keluarga saya menderita. Dulu waktu saya hidup susah ada saja yang menghina, sekarang saya sudah punya segalanya malah semakin banyak orang yang menghina," kata Arul seraya menjalin jemarinya semakin erat.

"Hidup susah... Nah, bagaimana cerita hidup Bapak di masa lalu? Sepertinya ini menarik buat kita simak," ujar Dilo.

"Begini, pertama kali merantau ke ibukota hidup saya serba kekurangan. Waktu itu, bisa makan sehari sekali saja sudah bersyukur sekali. Sekarang ini saya merasa sangat bersyukur bisa makan apa saja, harga berapa saja. Bahkan saya bisa memiliki lima restoran. Tapi selama seminggu ini semua restoran saya sepi pengujung gara-gara isu ini. Orang lain tidak tahu bagaimana saya jungkir balik berjuang memperbaiki taraf hidup saya sampai seperti sekarang ini," lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.

"Jungkir balik? Maksudnya bagaimana ini?" sahut Dilo yang merasa heran dengan kata-kata Arul.

"Sebentar, saya belum selesai bercerita. Saya lanjutkan dulu," kata Arul, yang membuat Dilo tidak punya pilihan selain mengiyakannya dengan anggukan kepalanya.

"Saya mau cerita sedikit tentang keluarga saya. Saya adalah anak pertama yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Bapak saya meninggal dunia ketika saya masih SD. Adik-adik saya ada tujuh orang dan semuanya butuh makan. Jadi sepulang sekolah saya bekerja memetik buah di perusahaan perkebunan di desa sebelah. Selama libur sekolah, saya malah pergi ke kota lain untuk merajang daun tembakau. Semua uang yang saya terima saya berikan ke ibu saya untuk kehidupan kami sehari-hari," kata Arul.

"Saya dulu ingin menjadi orang kaya seperti Pak Wandi, yang pada waktu itu adalah orang terkaya di desa kami. Sekarang rumah ibu saya jauh lebih megah daripada rumah Pak Wandi. Dulu cuma gubuk reyot, sekarang menjadi istana. Ibu saya bahagia di usia senjanya. Selain membangun rumah masa kecil saya, saya juga memberi adik-adik saya rumah dan tanah di desa. Mereka semua sekarang hidup bahagia. Tetapi kebahagiaan kami malah dirusak oleh orang-orang yang iri dengki dengan kehidupan kami," lanjut Arul.

"Perlahan saya bisa meningkatkan taraf hidup kami hingga seperti sekarang ini. Saya ingin istri saya tidak menjadi istri yang biasa-biasa saja. Ia harus tampil luar biasa di depan suaminya dan kolega-koleganya. Begitu pula anak-anak saya, mereka boleh sekolah di sini tapi lulus SMA mereka harus kuliah di perguruan tinggi di luar negeri. Nasib mereka harus lebih baik dari kedua orang tuanya," kata Arul.

Dilo segera menyahut, "Oke, okeee... Baik, saya tahu bahwa Anda sekarang hidup bahagia dengan segala yang Anda punya, kemewahan, pendidikan anak dan sebagainya. Koleksi properti mewah, arloji, tas dan sebagainya. Saham di banyak perusahaan, tabungan, deposito dimana-mana dan sebagainya. Tapi pertanyaan utamanya adalah, dari mana Anda memperoleh itu semua?"

"Ya dari usaha, dong. Uang kan tidak jatuh dari langit," sahut Arul.

"Nah, usaha apakah? Pemirsa podcast ini yang sekarang ini sudah di angka... emmm... 254 ribu penonton butuh jawaban dari Anda, bagaimana mungkin seorang pegawai negeri bisa memiliki gaya hidup selevel dengan konglomerat?" tanya Dilo sambil menatap layar gawainya di meja. Ia meraih cangkir kopinya lagi lalu menghirupnya sekali.

"Sepenting apakah publik tahu cara saya mencari rejeki? Itu ruang privat saya," sergah Arul.

"Oke, baik. Apakah Anda melakukan apa yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang sekarang menjadi pembicaraan itu? Melakukan manipulasi keuangan? Menerima suap dari pengusaha-pengusaha tamak itu? Singkat kata, melakukan korupsi?" tanya Dilo dengan wajah sinis.

"Eh, hati-hati kamu bicara. Saya bisa lempar cangkir ini ke muka kamu," hardik Arul sambil memegang cangkir kopi yang ada dihadapannya.

Dilo yang merasa tidak terima dengan ancaman Arul segera bangkit dari kursinya.

"Harap Anda berlaku sopan. Ini acara saya!!" bentak Dilo sambil menegakkan telunjuk kanannya ke atas.

Arul tidak bisa menyembunyikan kemarahan yang tampak jelas di raut mukanya. Tim Dilo yang berjumlah empat orang saling berpandangan satu sama lain.

"Props, tolong pindahkan semua barang ini dari meja saya," perintah Dilo kepada tim properti untuk memindahkan semua barang yang ada di atas meja.

Tidak lama area live chat dibanjiri dengan kalimat-kalimat umpatan terhadap Arul. Penonton siniar yang rata-rata adalah subscriber kanal Dilo mengecam perilaku tidak sopan Arul di acara siniar yang disiarkan secara langsung itu.

Setelah semua barang di atas meja diambil oleh tim properti acara, Dilo kembali duduk dengan raut muka emosi. Meski ia profesional, sepertinya situasinya tidak akan pernah sama lagi.

"Begini, saya pribadi sangat membenci koruptor. Itu karena saya cinta negara ini. Negara ini sedari dulu bergerak di tempat tidak maju-maju ya gara-gara orang seperti Anda ini. Maaf, seharusnya Anda tidak berhak hidup di negara ini," kata Dilo dengan nada tinggi. Kedua matanya menatap Arul dengan tatapan tajam.

Tiba-tiba Arul bangkit dari kursinya. Ia bergerak ke arah Dilo sambil mengangkat tangan kanannya, berusaha menghantam wajah Dilo. Tetapi Dilo yang memiliki sabuk hijau karate dengan sigap menangkis serangan itu.

Ia memegang tangan kanan Arul dengan tangan kanannya kuat-kuat lalu memelintirnya ke punggung Arul. Dengan cepat, podcaster bertubuh kekar itu mendorong tubuh Arul ke arah backdrop acara yang dibaliknya merupakan dinding tembok. Beberapa properti di area backdrop runtuh, bahkan sebuah vas bunga keramik pecah berkeping-keping.

Tim Dilo terkesiap dengan situasi tersebut. Mereka seakan tidak percaya hal itu terjadi di studio mereka.

Sementara itu, siaran masih tetap berlangsung. Penonton konten siniar itu kini menjadi 415 ribu penonton. Area live chat pun semakin ramai dengan ungkapan hati para penonton yang rata-rata terkejut dengan apa yang terjadi di studio Dilo Corsa Show. Umpatan kasar sudah pasti.

Dilo berusaha menarik tangan kiri Arul agar kedua tangannya terbelenggu. Arul berteriak kesakitan tetapi tidak digubris oleh Dilo. Dilo berteriak memerintahkan timnya untuk segera menelepon telepon darurat 112.

"Anda sudah mengancam dan menyerang saya. Anda sudah dua kali melakukan percobaan pembunuhan terhadap saya!!" bentak Dilo yang menekankan dadanya ke punggung Arul seraya membelenggu pergelangan tangan Arul dengan kedua tangannya kuat-kuat.

Kira-kira 15 menit kemudian beberapa orang polisi datang. Mereka meraih lengan Arul yang terduduk lemas di lantai dengan kedua tangan terikat tali tampar.

Apa yang terjadi di Studio 1 sore itu ditonton oleh setengah juta pasang mata. Dilo memuji tim siarannya yang memilih untuk tidak menghentikan siaran tersebut. Rekaman acara itu bakal menjadi salah satu alat bukti penting di persidangan nanti.

***

Arul Mahessa Putra resmi ditahan oleh pihak kepolisian. Setelah proses penyidikan, ia menghadapi dakwaan berlapis termasuk tindak pidana korupsi dan ancaman pembunuhan dengan ancaman hukuman yang tidak main-main yang bila ditotal bisa puluhan tahun penjara.

Sementara masih menunggu sidang perdananya, ia resmi dicopot dari jabatannya serta diberhentikan secara tidak hormat sebagai aparatur sipil negara. Semua gaji, tunjangan termasuk tunjangan pensiunnya otomatis terhenti.

Pemerintah juga bersiap merampas seluruh hartanya apabila terbukti diperoleh dengan cara korupsi. Semua harta yang diatasnamakan istri dan kedua anaknya serta semua anggota keluarga besarnya terancam disita.

Sementara itu di suatu malam yang diliputi awan mendung, Brama duduk tepekur di pos ronda di kampungnya yang terletak di luar kota. Sudah dua bulan lamanya ia belum menerima gaji. Entah bagaimana nasib istri dan kedua anaknya nanti...

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun