"Ya, betul. Kecuali bila saya ada rapat dengan pejabat lainnya, saya bisa pulang hingga larut malam. Mereka ini sudah tahu rutinitas saya sehari-hari. Beberapa wartawan juga mendekati rumah saya sampai istri saya merasa takut. Kedua anak saya sampai stres, anak bungsu saya sempat mengatakan ingin bunuh diri. Sampai detik ini saya juga belum bertemu dengan orang-orang yang menyerang keluarga saya. Begini ya, saya sebagai warga negara berhak untuk hidup tenang tanpa gangguan orang lain," jawab Arul dengan nada agak tinggi.
"Ya, saya ikut prihatin dengan kondisi Bapak. Tetapi kira-kira apa yang membuat orang-orang itu mengancam kehidupan Bapak yang selama ini tampak bahagia, harmonis dan hedonis itu?" tanya Dilo, lagi-lagi bernada sinis, sambil mengangkat kedua alis matanya.
"Itu karena mereka iri dengki dengan kehidupan kami. Mereka cuma ingin membuat saya dan keluarga saya menderita. Dulu waktu saya hidup susah ada saja yang menghina, sekarang saya sudah punya segalanya malah semakin banyak orang yang menghina," kata Arul seraya menjalin jemarinya semakin erat.
"Hidup susah... Nah, bagaimana cerita hidup Bapak di masa lalu? Sepertinya ini menarik buat kita simak," ujar Dilo.
"Begini, pertama kali merantau ke ibukota hidup saya serba kekurangan. Waktu itu, bisa makan sehari sekali saja sudah bersyukur sekali. Sekarang ini saya merasa sangat bersyukur bisa makan apa saja, harga berapa saja. Bahkan saya bisa memiliki lima restoran. Tapi selama seminggu ini semua restoran saya sepi pengujung gara-gara isu ini. Orang lain tidak tahu bagaimana saya jungkir balik berjuang memperbaiki taraf hidup saya sampai seperti sekarang ini," lanjutnya dengan mata berkaca-kaca.
"Jungkir balik? Maksudnya bagaimana ini?" sahut Dilo yang merasa heran dengan kata-kata Arul.
"Sebentar, saya belum selesai bercerita. Saya lanjutkan dulu," kata Arul, yang membuat Dilo tidak punya pilihan selain mengiyakannya dengan anggukan kepalanya.
"Saya mau cerita sedikit tentang keluarga saya. Saya adalah anak pertama yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Bapak saya meninggal dunia ketika saya masih SD. Adik-adik saya ada tujuh orang dan semuanya butuh makan. Jadi sepulang sekolah saya bekerja memetik buah di perusahaan perkebunan di desa sebelah. Selama libur sekolah, saya malah pergi ke kota lain untuk merajang daun tembakau. Semua uang yang saya terima saya berikan ke ibu saya untuk kehidupan kami sehari-hari," kata Arul.
"Saya dulu ingin menjadi orang kaya seperti Pak Wandi, yang pada waktu itu adalah orang terkaya di desa kami. Sekarang rumah ibu saya jauh lebih megah daripada rumah Pak Wandi. Dulu cuma gubuk reyot, sekarang menjadi istana. Ibu saya bahagia di usia senjanya. Selain membangun rumah masa kecil saya, saya juga memberi adik-adik saya rumah dan tanah di desa. Mereka semua sekarang hidup bahagia. Tetapi kebahagiaan kami malah dirusak oleh orang-orang yang iri dengki dengan kehidupan kami," lanjut Arul.
"Perlahan saya bisa meningkatkan taraf hidup kami hingga seperti sekarang ini. Saya ingin istri saya tidak menjadi istri yang biasa-biasa saja. Ia harus tampil luar biasa di depan suaminya dan kolega-koleganya. Begitu pula anak-anak saya, mereka boleh sekolah di sini tapi lulus SMA mereka harus kuliah di perguruan tinggi di luar negeri. Nasib mereka harus lebih baik dari kedua orang tuanya," kata Arul.
Dilo segera menyahut, "Oke, okeee... Baik, saya tahu bahwa Anda sekarang hidup bahagia dengan segala yang Anda punya, kemewahan, pendidikan anak dan sebagainya. Koleksi properti mewah, arloji, tas dan sebagainya. Saham di banyak perusahaan, tabungan, deposito dimana-mana dan sebagainya. Tapi pertanyaan utamanya adalah, dari mana Anda memperoleh itu semua?"