Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerbung: Sekte Laknat Malam Tahun Baru di Hotel Marun Biru (2/3)

4 Januari 2023   20:50 Diperbarui: 5 Januari 2023   12:34 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Link Bagian 1 

Budi dan Biyan memesan kamar double bed di lantai empat. Sedangkan Sara, Tias dan Katy masing-masing mendapatkan kamar single bed di lantai lima.

Sayangnya malam itu lift tamu sedang rusak, jadi mereka terpaksa harus naik tangga. Staf pemeliharaan gedung baru akan memperbaikinya pagi.
 
Hotel itu belum menggunakan sistem access control. Jadi masih memakai anak kunci biasa untuk membuka dan mengunci pintu.

Sara mulai membersihkan diri. Ia menikmati hangatnya air dari pancuran kamar mandi. Bathroom amenities hotel cukup lengkap, sabun dan samponya yang beraroma lavender sangat disukai Sara.

Di tengah-tengah aktivitas mandinya, sayup-sayup Sara mendengar suara pintu kamarnya diketuk. Ia mematikan keran pancuran dan mendengarkan dengan seksama. Tidak ada suara ketukan.

Sara menyalakan keran lagi lalu melanjutkan mandinya. Tidak lama kemudian terdengar suara ketukan lagi. Suaranya agak tenggelam oleh suara percikan air. 

Ia mematikan kerannya. Ya, betul pintu kamarnya diketuk seseorang.

Sara menghentikan aktivitas mandinya sejenak. Ia berpikir Tias atau Katy sedang membutuhkan sesuatu. Ia mengenakan handuk kimononya lalu keluar dari kamar mandi. Jam dinding di atas televisi menunjukkan pukul 02.25 pagi.

Sebelum membuka pintu, Sara mengintip lewat door viewer untuk melihat seseorang di balik pintu kamarnya.

Ternyata Katy. Sara segera membuka pintu kamarnya.  

Tangan kanan dan kirinya membawa dua cangkir teh hangat. Hmmm... Aromanya sungguh menggoda.

"Tadi aku call kamu," kata Katy.

"Sorry Kat, ponselku off, lagi aku charge. Tadi habis ngobrol sama adikku baru nyadar kalau lowbat banget," ujar Sara.

"Budi ajak kita jalan-jalan," kata Katy seraya mengangsurkan cangkir di tangan kanannya kepada Sara.

Sara tersenyum dan menerimanya.

"Thanks... Hahh? Yang bener aja. Malam-malam gini? Eh, dini hari gini, Kat? Males, ah. Aku juga baru mulai mandi. Memangnya kamu sudah mandi?" tanya Sara sambil mendekatkan cangkir itu ke hidungnya untuk menghirup asap hangat beraroma teh yang harum.

"Dingin, males ah. Agak siangan aja. Yuk, explore hotel cakep ini mumpung lagi sepi," ajak Katy sambil menghirup tehnya.

Sara menghela nafas panjang. Ia merasa kapok mengikuti ajakan Tias dan Katy.

"Sorry, aku pengin tidur aja. Lagian, sore aku harus bantu-bantu tanteku yang lagi banyak orderan," tukas Sara.

Katy setengah memaksa, "Eh tapi hotel ini amazing lho, Sar. Ada akuarium gede yang banyak...,"

"Bye...," sahut Sara sambil cepat-cepat menutup pintu kamarnya, brakk..., meninggalkan Katy yang berdiri di depan pintu dengan wajah melongo.

Sara tersenyum, cepat-cepat mengunci pintu kamarnya. Ia menyesap teh itu sekali, meletakkannya di meja, lalu melangkahkan kakinya ke toilet untuk melanjutkan mandinya.

Usai mandi, ia merasa ingin mengobrol lagi dengan Lala, adiknya. Ia melihat proses pengisian daya ponselnya sudah mencapai 40 persen. Rasanya cukup kuat untuk melakukan panggilan video sekali saja. Tadi sebelum baterai ponselnya melemah, Lala mengatakan belum bisa tidur lantaran masih terganggu suara petasan yang diledakkan di sekitar rumah mereka.

Sara melepaskan kabel charger, lalu menyalakan ponselnya. Setelah mengetuk layar ponselnya beberapa kali, muncul wajah adiknya yang ternyata masih belum tidur jua.

Sara menyandarkan ponselnya di vas bunga. Ia mengambil pengering rambut dari toilet lalu duduk di ranjang sambil mengeringkan rambutnya. Mereka berbicara tentang banyak hal.

Setelah mengeringkan rambutnya, ia meminum teh yang sudah tidak hangat lagi itu dan menghabiskan semuanya. Sara mengatakan kepada adiknya kalau teh itu buatan temannya yang bernama Katy. Sara juga menceritakan tentang ajakan Katy menjelajahi hotel itu dini hari yang ia tolak.

Mereka melanjutkan obrolan hingga Sara merasakan kantuk yang amat sangat. Ia mengembalikan pengering rambut itu ke toilet lalu menghempaskan dirinya ke ranjang dengan posisi tengkurap.

Sara mulai memejamkan kedua matanya dan segera melihat banyak hal di kedua pelupuknya, semua memori masa lalu yang pernah ia rindukan. Ia berjumpa dengan beberapa sahabatnya semasa sekolah dulu. Mereka adalah sahabat-sahabat yang lugu yang tidak memiliki motivasi apapun selain ingin bermain bersama.

Ia juga melihat almarhum ayahnya yang masih tampak muda sedang berteriak kepadanya. Ia ingat kala ia belajar sepeda roda dua dan masuk ke selokan depan rumah. Ayahnya tertawa melihat tubuhnya yang serba hitam tertutup tanah selokan.

Ia juga melihat Lala yang masih bayi. Sara ingat dulu ia suka menggoda adik perempuannya itu hingga menangis karena sangat gemas. 

Tak heran ibunya kerap marah-marah kepadanya, sampai-sampai memberinya hukuman tidak boleh bertemu dengan sang adik hingga ia berjanji untuk tidak mengganggunya lagi.

Lamat-lamat Sara mendengar pintu kamarnya dibuka oleh seseorang. Ia berusaha membuka kedua matanya tapi kelopak matanya terlalu lemah dan hanya membuka kurang dari setengah. Pandangannya yang kabur sempat menangkap gerakan beberapa orang.

Sara ingin berteriak tapi entah mengapa tubuhnya tidak berdaya. Tiba-tiba pandangannya gelap.

***

Budi baru saja keluar dari toilet kamar yang ia tempati bersama Biyan.

"Kamu mandi aja dulu, Yan. Aku mau jalan-jalan sebentar sama Tias," kata Budi kepada Biyan yang sedang telentang di atas ranjangnya menatap langit-langit kamar. Kedua telapak kakinya hampir menyentuh lantai kamar.

Biyan memilih ranjang dekat dengan jendela agar di pagi hari nanti ia bisa melihat pemandangan bukit sambil rebahan. Jendela kamar mereka memang menghadap ke sebuah bukit yang rimbun. Walau sinar rembulan tidak seterang matahari, tampak jelas ada bukit cantik di sana.

"Eh, jadi kalian itu udah jadian ya?" tanya Biyan sambil menggerakkan kedua bola matanya ke arah Budi.

"Kamu nanyak. Kamu bertanya-tanya? Hahaha... Ada apa nih tiba-tiba tanya tentang itu?" Budi bertanya balik.

"Hahaha... Nggak ada apa-apa sih, cuma nanya aja. Mesti kudu dijawab," ujar Biyan.

"Halah... Hehe... Oke, oke. Kalau kamu nanya itu, jawabanku adalah iya enggak," kata Budi.

"Gimana, sih? Iya enggak iya enggak. Iya atau enggak?" tanya Biyan, kini menyandarkan punggungnya dengan kedua lengannya.

"Wahhh, it's complicated, Yan. Kayaknya aku banyak kurangnya di mata Tias," kata Budi sambil mengenakan sepatunya.

"Waduhh, apa sih yang kurang dari kamu? Sudah idola mahasiswi, IPK tinggi, anak orang tajir, punya bisnis sendiri... Ckckckck, mestinya Tias tau diri," kata Biyan.

"No, no.. Aku memang banyak kurangnya sih di mata dia. Katanya aku temperamental, nggak sabaran, pelit, wah banyak dah pokoknya. Sudah kenyang aku dicaci maki," terang Biyan sambil terkekeh.

"Gitu ya? Emmm, betewe, kalo Tias jalan sama aku aja gimana?" kata Biyan tersenyum, kedua matanya berbinar.

"Ambilll... Hahaha," jawab Budi tertawa seraya melempar handuknya ke wajah Biyan

"Ihh, najis," sahut Biyan yang sontak bangkit untuk menangkap handuk itu lalu membuangnya ke lantai.

Budi yang tergelak cepat-cepat keluar dari kamar.

Biyan kembali merebahkan dirinya di ranjang. Ia merasa lelah setelah harus naik tangga dari lantai satu.

Maklum, dengan bobot tubuhnya yang 120an kilogram, naik tangga dari lantai satu ke lantai empat adalah sebuah cobaan. Tapi toh akhirnya ia berhasil sampai ke lantai empat meski sambil ngos-ngosan.

Biyan berusaha memejamkan kedua matanya. Tetapi ia tidak ingin tidur karena ia ingin mandi terlebih dahulu.

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Biyan membuka kedua matanya. Ia mengernyitkan dahinya, siapa gerangan yang mengetuk pintu kamarnya dini hari begini? Apakah room service?  

Ia bangkit dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Ia mengintip dari door viewer.

"Tias. Yess...," kata Biyan girang dengan suara berbisik, seraya mengepalkan tangan kanannya di depan dadanya lalu menariknya ke bawah dengan penuh semangat. Sebelum membuka pintu, ia cepat-cepat menghadap ke cermin lemari pakaian untuk membetulkan pakaiannya.

"Tias... Belum tidur?" tanya Biyan yang berusaha mengatur nafasnya.

Tias berdiri di depan kamar membawa secangkir teh panas. Asapnya masih mengepul, menyebarkan aroma wangi teh yang nikmat.

"Aku nggak bisa tidur, Yan. Aku tadi pengin ngobrol sama Katy sampai aku mengantuk, tapi sepertinya dia sudah tidur. Ngobrol sama Sara, emmm... tahu sendiri kan dia lagi ngambek," jawab Tias.

"Lho, tadi Budi bilang mau ajak kamu jalan-jalan," kata Biyan.

"Iya, tadi Budi ke kamarku, ngajakin explore hotel ini. Mumpung sepi katanya. Aku sih oke aja karena susah tidur. Siapa tahu habis jalan-jalan, aku baru bisa tidur," ujar Tias.

"Eee, betewe aku bisa join nggak?" tanya Biyan penuh harap.

"Eee, sepertinya enggak. Sorry. Kayaknya dia mau ngobrolin sesuatu juga, sih. Tentang... Tentang hubungan kita," jawab Tias sambil menunduk malu.

Biyan salah tingkah, menggaruk kepalanya dengan tangan kanannya walaupun sebenarnya tidak gatal. Sesaat Biyan terpesona dengan kecantikan Tias. Meski riasan Tias terlihat agak berlebihan yang membuatnya tampak menor, kecantikan Tias yang tersembunyi di balik riasan itu tampak jelas di mata Biyan.

"Owwh... Have fun aja deh kalo gitu," kata Biyan datar. Sebenarnya ia agak kecewa tetapi ia berusaha menyembunyikan perasaannya.

"Oh ya, tadi pas Budi ke kamarku, aku lagi membuat teh panas. Jadi aku sekalian membuatkannya teh. Lalu Budi bilang kalau kamu lagi bengong di kamar. Jadi ya aku buatkan juga buat kamu. Ini, teh anget biar nggak bengong mulu," kata Tias seraya mengangsurkan cangkir teh itu kepada Biyan.

Biyan menerimanya dengan mimik tersipu, "Wahhh, thank you lho Tias... Wiihh, harum sedep banget tehnya."

"No problem. Aku balik kamar dulu ya," kata Tias.

Biyan menganggukkan kepalanya seraya melambaikan tangan kirinya. Ia berdiri di pintu kamarnya selama beberapa menit lamanya demi menatap Tias yang berjalan di lorong hotel hingga menghilang di balik tangga.

Biyan menutup pintu kamarnya, lalu meletakkan cangkir teh itu di atas meja. Ia menarik kursi dan duduk di situ untuk menikmati teh mumpung masih panas. Ia angkat cangkir itu, kemudian menghirupnya perlahan.

"Wahh... Ini sih teh wasgitel*. Sedap sekali teh buatan Tias ini" gumam Biyan.  

Beberapa menit kemudian, teh panas buatan Tias pun tandas. Biyan menarik nafas lega. Ia merasakan sensasi hangat di perutnya yang membuatnya nyaman.

Kemudian Biyan bangkit dari kursi bermaksud untuk mandi. Ia berjalan menuju area pancuran di toilet kamar, kemudian melepaskan kemeja dan baju dalamnya.

Ketika Biyan hendak melepas celananya, mendadak ia merasa terhuyung-huyung, badannya terasa lemas, pandangannya kabur. Tidak lama tubuh Biyan pun ambruk di lantai pancuran.

Beberapa saat kemudian, lamat-lamat Biyan mendengar pintu toilet dibuka paksa. Ia berusaha mengangkat tubuhnya, tapi entah mengapa ia tidak bisa menggerakkan kedua tangan dan kakinya.

Ia mendengar suara langkah kaki di sekitarnya. Ia juga merasa tubuhnya diangkat oleh beberapa orang. Mereka membisikkan kata-kata yang tidak bisa didengar oleh telinga Biyan.

Tiba-tiba semuanya gelap.

***

Bersambung ke Bagian 3

Catatan: 

*  wasgitel:  wangi, panas, sepet, legi (manis), kentel (kental)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun