***
Budi baru saja keluar dari toilet kamar yang ia tempati bersama Biyan.
"Kamu mandi aja dulu, Yan. Aku mau jalan-jalan sebentar sama Tias," kata Budi kepada Biyan yang sedang telentang di atas ranjangnya menatap langit-langit kamar. Kedua telapak kakinya hampir menyentuh lantai kamar.
Biyan memilih ranjang dekat dengan jendela agar di pagi hari nanti ia bisa melihat pemandangan bukit sambil rebahan. Jendela kamar mereka memang menghadap ke sebuah bukit yang rimbun. Walau sinar rembulan tidak seterang matahari, tampak jelas ada bukit cantik di sana.
"Eh, jadi kalian itu udah jadian ya?" tanya Biyan sambil menggerakkan kedua bola matanya ke arah Budi.
"Kamu nanyak. Kamu bertanya-tanya? Hahaha... Ada apa nih tiba-tiba tanya tentang itu?" Budi bertanya balik.
"Hahaha... Nggak ada apa-apa sih, cuma nanya aja. Mesti kudu dijawab," ujar Biyan.
"Halah... Hehe... Oke, oke. Kalau kamu nanya itu, jawabanku adalah iya enggak," kata Budi.
"Gimana, sih? Iya enggak iya enggak. Iya atau enggak?" tanya Biyan, kini menyandarkan punggungnya dengan kedua lengannya.
"Wahhh, it's complicated, Yan. Kayaknya aku banyak kurangnya di mata Tias," kata Budi sambil mengenakan sepatunya.
"Waduhh, apa sih yang kurang dari kamu? Sudah idola mahasiswi, IPK tinggi, anak orang tajir, punya bisnis sendiri... Ckckckck, mestinya Tias tau diri," kata Biyan.