"No, no.. Aku memang banyak kurangnya sih di mata dia. Katanya aku temperamental, nggak sabaran, pelit, wah banyak dah pokoknya. Sudah kenyang aku dicaci maki," terang Biyan sambil terkekeh.
"Gitu ya? Emmm, betewe, kalo Tias jalan sama aku aja gimana?" kata Biyan tersenyum, kedua matanya berbinar.
"Ambilll... Hahaha," jawab Budi tertawa seraya melempar handuknya ke wajah Biyan
"Ihh, najis," sahut Biyan yang sontak bangkit untuk menangkap handuk itu lalu membuangnya ke lantai.
Budi yang tergelak cepat-cepat keluar dari kamar.
Biyan kembali merebahkan dirinya di ranjang. Ia merasa lelah setelah harus naik tangga dari lantai satu.
Maklum, dengan bobot tubuhnya yang 120an kilogram, naik tangga dari lantai satu ke lantai empat adalah sebuah cobaan. Tapi toh akhirnya ia berhasil sampai ke lantai empat meski sambil ngos-ngosan.
Biyan berusaha memejamkan kedua matanya. Tetapi ia tidak ingin tidur karena ia ingin mandi terlebih dahulu.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Biyan membuka kedua matanya. Ia mengernyitkan dahinya, siapa gerangan yang mengetuk pintu kamarnya dini hari begini? Apakah room service? Â
Ia bangkit dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar. Ia mengintip dari door viewer.
"Tias. Yess...," kata Biyan girang dengan suara berbisik, seraya mengepalkan tangan kanannya di depan dadanya lalu menariknya ke bawah dengan penuh semangat. Sebelum membuka pintu, ia cepat-cepat menghadap ke cermin lemari pakaian untuk membetulkan pakaiannya.