"Kalau kalian bertengkar lagi, saya usir kalian dari sini!" kata Pak Minto.
"Eh Pak, kalau Bapak mengusir kami, itu artinya Bapak menghalangi warga menggunakan hak pilihnya. Hati-hati UU Pemilu pasal 510 Pak.." kata Rafi mencoba mengingatkan Pak Minto. Karena kekesalannya pada Fandi, Rafi merasa berani berargumentasi.
"Oke, kalau begitu saya akan bilang ke Ketua KPPS bahwa kalian mengganggu keamanan TPS. Kalian bisa nyoblos tapi di atas jam 12 nanti. Mau?" kata Pak Minto dengan nada setengah membentak. Fandi dan Rafi terdiam.
"Oke, oke Pak.. Oke saya terima nasib saya mendapat nomor urut 2 walaupun saya tadi datang lebih dulu daripada dia." Kata Rafi sambil mengarahkan telunjuk tangan kanannya ke arah Fandi.
"Eh, kamu masih..." tukas Fandi yang segera dipotong oleh Pak Minto. Kini ia mencengkeram lengan mereka lebih kuat.
"Oke, jam 12 ya? Saya mau ke meja Ketua KPPS nih.. Gimana, deal?" kata Pak Minto sambil menatap keduanya lekat-lekat. Rafi bersungut.
"Maaf Pak.. Ya Pak, saya terima saja nomor urut 2." Kata Rafi.
"Nah, begitu dong dari tadi.. Nomor urut 1 dan 2 itu hampir tidak ada bedanya. Lihat itu di depan sana ada empat bilik suara. Paling cuma selisih satu menit saja. Tidak usahlah kalian meributkan sesuatu yang sepele seperti ini." kata Pak Minto sambil melepaskan cengkeramannya.
Fandi dan Rafi lalu terdiam. Melihat suasana nampaknya telah kondusif, Pak Minto pun kembali ke tempatnya. Fandi mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan teks "Capresmu pasti kalah" disertai emosikon tertawa terbahak-bahak, lalu mengirimkannya ke nomor Rafi.
Rafi yang nampaknya belum reda amarahnya memilih untuk tidak berbuat apa-apa. Ia terlalu malas mengeluarkan gadget-nya. Jadi ia memilih duduk saja dan diam.
Mereka tidak sadar ulah mereka diperhatikan oleh dua orang gadis yang duduk di nomor urut 3 dan 4, Sandra dan DIna. Kedua gadis itu tidak menyangka bakal ada kehebohan receh di pagi hari.Â