Mohon tunggu...
Gaganawati Stegmann
Gaganawati Stegmann Mohon Tunggu... Administrasi - Telah Terbit: “Banyak Cara Menuju Jerman”

Housewife@Germany, founder My Bag is Your Bag, co founder KOTEKA, teacher, a Tripadvisor level 6, awardee 4 awards from Ambassadress of Hungary, H.E.Wening Esthyprobo Fatandari, M.A 2017, General Consul KJRI Frankfurt, Mr. Acep Somantri 2020; Kompasianer of the year 2020.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Makan Apa yang Ada di Meja, Masak Apa yang Ada di Kulkas

6 Oktober 2015   19:37 Diperbarui: 6 Oktober 2015   19:56 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Jawa, ada istilah “Mangan ra mangan kumpul“ yang saya artikan persaudaraan itu sangat penting. Entah dalam kondisi suka ataupun duka, istilahnya sampai nggak ada makanan di rumah, tetap saja berkumpul dengan keluarga atau saudara.

 

Hampir mirip dengan istilah “Ana panganan dipangan, ana rembug dirembug“, kalau ada makanan ya dimakan, kalau ada masalah ya dibicakaran bersama-sama. Harmonis kaaan.

 

Ada pula istilah “Kripik gedang kripik tela sitik edang waton rata.“ Di mana, kalau ada makanan sedikit pun, kalau dibagi tetap bisa rata. Oh, indahnya duniaaaa.

 

Jadinya, orang Jawa diajak untuk berempati. Merasakan perasaan orang lain. Bagaimana dengan di Jerman?

 

Makan apa yang ada di meja

 

“Bei uns wird gegessen, was auf den Tisch kommt.“ Begitu kalimat nasehat yang sering saya dengar dari orang-orang Jerman yang saya kenal. Bahwasannya, apa yang ada di meja, itu yang harus dimakan.

 

Seringkali anak-anak kecil akan bilang:

 

“Nggak mau ... aku nggak suka makanannya“

“Aku mau makan pizza bukan nasi ini.“

“Bolehkah aku ganti makanan dengan spaghetti?“

“Masakin chicken nugget donggg ..“

Dan masih banyak lagi.

 

Gemes kannn???

 

Memang sudah tak asing lagi mendengarnya dari mulut anak-anak jaman sekarang. Jaman saya kecil dulu mungkin tidak begitu karena kenalan makanannya tidak sebanyak sekarang dan memang pengertian kepada kesulitan orang tua, barangkali lebih tinggi.

 

Kalau dibiasakan dituruti bisa repot. Coba kalau mereka menginap di rumah saudara atau teman dan berlaku demikian? Orang pikir, orang tuanya tidak mendidik mereka bersopan-santun.

 

Ya, sudah, kami tetap biasakan anak-anak memakan apa yang ada di meja. Kalau mau lain, harus pesan dulu. Tidak asal minta waktu acara makan. Misalnya anak ragil boleh pesan makanan untuk disiapkan hari Senin, anak kedua menentukan menu hari Selasa dan anak pertama usul menu hari Rabu dan seterusnya ...

 

Saya juga mengajari anak-anak memasak dan masakannya dimakan sekeluarga. Kalau ada yang tidak doyan, biar merasakan bagaimana kecewa dan susahnya orang tua memasak tapi anaknya nggak mau makan.

 

Sedih kan? Sama, orang tua juga sedih kalau sudah ada makanan di meja yang cari duitnya juga nggak gampang, anaknya lalu nggak mau melahapnya.

 

Belum lagi cerita banyak anak-anak di dunia ini yang kelaparan sampai menuju kematian, cuma karena tak ada pangan.

 

Masaklah bahan makanan yang ada di kulkas

 

“Besok ada tamu, mau dijamu apa?“

“Bingung ya, Bu, jam 2 siang, jam 12 nya sudah makan. Kalau makan malam masih jam 6. Restoran mana di sini yang buka jam minum teh sama makan kuweh?“ Suami saya geleng kepala. Dia yang orang sini saja nggak ngerti. Apalagi saya.

 

Barangkali kalau tinggal di tengah-tengah kota, akan banyak kafe yang menyediakannya. Karena tinggal di tengah hutan dan pegunungan, yaaaa ... ada juga rumput. Luasss...

 

Coba kalau di Indonesia, sudah banyak warung dan tukang jualan lewat. Tinggal tepuk tangan, si tukang datang. Kalau di sini tepuk tangan di depan rumah, nggak ada tukang yang datang.

 

Nah, jam 10 pagi, suami saya pergi keluar bersama teman untuk melihat mesin yang akan dibeli, saya titip beli kuweh di Bäckerei. Tempat jual roti itu biasanya menyediakan roti dan kuweh yang lezat, harganya agak mahal. Mau bikin kuweh sendiri kok takut rasanya mengecewakan. Tamu yang datang itu, partner perusahaan, penting. Takut ada apa-apa.

 

Dua jam kemudian, suami pulang ke rumah.

 

“Dua jam lagi tamu datang. Kuwehnya mana?“

“Waduuuuh ... lupa, buuuuu.“

“Idihhh ...“ Saya panik, kecewa. Nano-nano.

 

Bingung. Meski tamu nanti akan mengunjungi kantor suami di lantai bawah tapi kok nggak enak ya, jauh-jauh (300 km) nggak ada jamuannya. Kasihan dan kurang pantas.

 

Diam-diam, saya ke kebun. Kok, plumnya cuma limaaaa? Apel juga belum matang. Segera periksa kulkas, adanya cuma persiiiik. Ahhhh ... bisakah? Pasti bisa. Saya potong sedikit, kunyah. Wow, manis. Barangkali bisa deh dibikin kuwehhh ... Coba.

Mulailah saya siapkan:

4 butir telur ukuran M

200 gram tepung terigu

200 gram butter

200 gram gula (bisa dikurangi karena ternyata ... terlalu manis)

satu sendok teh pengembang

satu sendok teh bubuk vanili

sepercik garam

5 Nektarin (kawinan silang buah persik sama plum) yang sudah dipotong-potong.

 

Mula-mula saya kocok telur dengan kecepatan tinggi selama 5 menitan sampai busanya meninggi. Butter dan gula dikocok di mangkok plastik lain. Kedua adonan dicampur, aduk dan pelan-pelan masukkan tepung, pengembang, garam, vanili.

 

Adonan dituang ke dalam cetakan yang sudah diolesi butter/margarin. Meletakkan persik memutar searah jarum jam. Masukkan loyang ke oven yang sudah dipanaskan 10 menit sebelumnya, dengan suhu 160. Pasang alarm 45 menit. Jika berbunyi, tusuk kuweh. Tusuk gigi yang diangkat dan kering menandakan, kuweh sudah matang. Siap disantap!

 

“Hmm ... enak ... ini kuweh apel?“

“Bukan, nektarin. Adanya cuma itu.“

“Ohh ... istri saya suka bikin kuweh tapi tak pernah sekalipun ia mencoba nektarin. Enak sekali lho, mana hangat lagi. Hmmmm...“ Si bos umuran 60 an itu menunjuk istrinya yang demen teh Asia. Ia melahap potongan kedua.

“Bisa dikasih resepnya, saya mau coba. Saya suka bikin kuweh dan suka makannya.“ Si tamu perempuan ingin makan kuweh yang sama di rumahnya. Dia pun nambah satu potong juga.

 

Wahaaaa ... nggak nyangka kalau ternyata ketakutan saya justru berbuntut bahagia. Kuweh yang menakjubkan dari bahan pangan yang ada di kulkas itu, memuaskan tamu agung. Hikmah dari memasak bahan makanan yang ada di kulkas. Seadanya.

 

“Terima kasih atas kuwehnya ya, bu.“ Saya dapat hadiah kecupan dari suami. Uhuk-uhukkkk.

 

Terima kasih, nektarin.

(G76)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun