Mohon tunggu...
Nur Rohmi Aida
Nur Rohmi Aida Mohon Tunggu... lainnya -

ingin berkeliling dan mendapati segala hal keindahan yang dimiliki bumi ini...

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mencercau Macau

27 Desember 2017   21:19 Diperbarui: 30 Desember 2017   21:43 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Dimana ini? mata saya terus mengerjap tak percaya dengan seluruh pemandangan yang tersaji  Seingat saya, sebelum berada di sini tempat terakhir yang saya lihat adalah kamar saya. Kamar bertembok biru yang sudah mulai kusam catnya dimakan usia. Bagaimana bisa saya tiba-tiba di sini?

“Selamat datang Aida!”

Belum hilang kekagetan saya, rupanya sudah ada perempuan yang duduk di samping saya. Dari ekspresinya, sepertinya dia sudah menunggu  cukup lama di tempat ini, sebuah bangku memanjang dengan banyak barisan bunga cantik di depannya.

“Selamat datang di Macau!” ia tersenyum .

“Macau?” saya terbengong.

“Ekspresimu lucu sekali, kamu pasti terkejut. Hahaha…. Tidak apa-apa, itu wajar,” mata sipitnya seperti terpejam kala ia tertawa.

Saya edarkan pandangan lagi. Sebuah rumah bergaya Eropa bercat hijau berdiri di belakang bangku kami. Itu, bukannya gambar pariwisata Macau yang saya lihat terakhir di facebook MGTO Indonesia sebelum saya ada di sini?

Sumber: fb MGTO Indonesia
Sumber: fb MGTO Indonesia

“Kenapa aku ada di Macau?” Tanya saya masih penuh keheranan.

“Sudah jelas kan? Karna kamu mimpi! Mimpi bisa membawamu pada banyak hal yang tak terduga.” Jelasnya. 

Saya makin tak mengerti. “Kamu pengen kan wisata ke Macau? Jadi nikmati saja mimpi ini tanpa banyak tanya. Oke?”

Mimpi?

Saya berpikir sebentar,mengingat-ingat terakhir tadi sebelum tiba di sini saya memang mau tidur. Dan sebelum tidur saya memang membaca-baca iklan wisata Macau.

Jadi, benar, ini mimpi?

“Aku Chia Ting. Panggil saja Chia. Ayo ikut. Aku akan mengajakmu keliling Macau,” ujarnya bersemangat.

Baiklah, jika ini benar mimpi, sepertinya nikmati saja.

Saya bergegas berdiri menyusul Chia yang terlihat penuh semangat berjalan. Saya tidak paham bagaimana, yang pasti berjalan dibelakang Chia, rasanya seperti melintasi waktu. Tiap satu langkah kaki, rasanya saya bisa melalui jarak yang amat panjang dengan sangat cepat.

Astaga, ini benar-benar Macau! Persis dengan apa yang saya lihat sebelum tidur. Bangunan-bangunan peninggalan Portugis di kiri kanan saya, semua sama persis. trotoar berhiaskan mosaik yang indah itu pun sama.

Sumber: fb MGTO Indonesia
Sumber: fb MGTO Indonesia

Saya sudah tiba di kawasan Senado Square. Berkali-kali saya mengucek mata, masih tak percaya.

“Chia!” seseorang yang tampaknya kawan Chia menghampiri. Keduanya berbicara sebentar  dalam bahasa yang setahu saya itu bahasa Cina. Usai kawan Chia menyerahkan sesuatu pada Chia, ia melambaikan tangan kepada saya, berujar dengan bahasa yang kali ini tak saya ketahui bahasa mana. Ia lantas berlari pergi. Hilang, dalam lalu lintas manusia yang ada di kawasan Senado Square.

“Dia temanku. Ini egg tart. Kulinernya Macau,” Chia membuka kotak bertuliskan ‘Lord Stow’s Bakery’ pemberian temannya.

“Hei, ini kan egg tart yang terkenal di Macau itu! Temanmu baik sekali, Chia!” seru saya girang lantas penuh ketidak sabaran mencomot satu buah egg tart.

egg tart macau (diedit sendiri)
egg tart macau (diedit sendiri)
“Ini ternyata enak sekali, renyah, manis dan creamy banget,” komentar saya usai menghabiskan satu butir egg tart.

“Temanku sebelum pergi tadi bilang ke kamu, ‘selamat menikmati kue enak di negara kami’” ujar Chia seolah bisa menebak bahwa saya tadi memang tidak paham ucapan kawannya.

“Bilangin makasih, ya! Aku suka rotinya. Itu tadi bahasa apa ?” tanya saya sembari mengambil lagi satu butir egg tart, lagi dan lagi.

“Portugis.  Negara kami menggunakan bahasa Cina Kanton dan Portugis. Karna negara kami merupakan bekas jajahan Portugis. Jadi jangan heran jika di negara ini meskipun bagian dari Asia, tapi kental  nuansa Eropannya,” tutur Chia lantas melahap egg tart terakhir.

Saya mengangguk-angguk. Kurang lebih seperti itulah yang saya baca tentang Macau sebelum tidur. Pesona gabungan Asia dan Eropa inilah, yang kemudian menarik banyak wisatawan untuk datang ke Macau.  Wajah-wajah dari berbagai negara yang terlihat berjalan melintas menikmati pesona Macau adalah bukti bahwa Macau memang mengundang minat para wisatawan asing.

“Ayo kita belanja. Nanti aku belikan macam-macam barang!” Ujar Chia bersemangat. Lagi-lagi, ia berdiri dan berjalan mendahului. Saya mengikutinya, tapi kali ini kami berjalan normal

 “Macau itu terkenal sebagai Las Vegasnya Asia. Tapi, muslim seperti kamu pun tetap cocok datang kemari,” Ujarnya. “Ada banyak tempat di negara ini yang bisa kamu kunjungi tanpa harus memutar dadu,” jelasnya lagi. Chia, perempuan itu begitu ramah. Ia bilang tugasnya menjadi guide bagi saya. Ia banyak menjelaskan tentang Macau layaknya seorang guide profesional.

“Peraturannya, jangan bertanya tentang bagaimana aku muncul atau pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis!”  Jawabannya tiap saya mencoba menyinggung tentang asal mula semua keanehan ini. Tapi ya sudahlah. Yang pasti, kami berdua makin akrab usai berkeliling di kawasan Senado Square,  mengunjungi kawasan Avenida Almeida Ribeiro, lantas belanja di Rua da Polha, terakhir kami ke Red Market.

Menikmati kawasan Senado Square rupanya membuat khilaf akan waktu. Kami berjam-jam berada di sana. Belanja macam-macam barang. Biasanya saya tidak begitu suka belanja saat berwisata, tapi kan ini mimpi, belanja berapapun tak akan kehabisan uang. Chia seperti mesin uang saya. Ia bersikukuh membelikan saya apapun, bahkan barang yang sebenarnya tidak saya minta.

Sumber: fb MGTO Indonesia kemudian diedit
Sumber: fb MGTO Indonesia kemudian diedit
Belanjaan yang kami jinjing sudah penuh di tangan hingga menutup wajah saking banyaknya. Saya hanya bisa menoleh sedikit untuk sekedar mengintip jalan. Kami meletakkan seluruh belanjaan ke mobil yang kata Chia itu mobilnya, yang akan membawa barang-barang tersebut ke hotel tempat kami akan menginap nanti.

Kami berjalan menjauhi mobil, menelusuri lorong-lorong bercabang dari kawasan Senado Square. Di sana, lagi-lagi terdapat bangunan peninggalan Portugis, gereja St. Dominic yang terlihat cerah dengan warna kuningnya, kantor pos pusat juga berbagai bangunan bersejarah lain yang masih difungsikan. Semuanya klasik

Gereja St Dominic (Sumber: wikipedia)
Gereja St Dominic (Sumber: wikipedia)
Saya menjepret-jepret deretan arsitektur indah ini dengan kamera yang baru saja dibelikan Chia, karena saya tak membawa apapun saat tiba di sini. Dia bilang kamera adalah bekal penjelajah mimpi, karenanya saya harus memilikinya.

“Hoi, Chia, kalau mau pindah tempat, bilang dong!” saya memberenggut.Saya tidak tau, kalau Chia bisa membuat saya berpindah tempat tiba-tiba tanpa harus mengikutinya berjalan seperti sebelumnya. Saya baru saja menjepret kantor pos ketika tiba-tiba, hasil jepretan saya malah berubah jadi deretan rumput. Saat menatap sekitar ternyata saya dan Chia sudah berpindah di depan sebuah taman penuh rumput yang tertata dengan bentuk seperti spiral.

“Ahahaha, sori. Waktumu tak banyak! Jadi langsung saja kubawa ke sini. Masih ada banyak tempat soalnya,” Chia melihat jam tangannya

“Waahhh, ini keren Chia!” ujar saya lantas menjepretkan kamera ke bangunan seperti gapura yang terlihat kuno namun tampak sangat artistik yang menurut saya seperti bangunan di Italia yang sering ada di film-film

“Ini reruntuhan katredal St. Paul, terbakar tahun 1835.Dulunya ini gereja terbesar di Asia Timur,”jelas Chia. Saya mengangguk-angguk, lantas berlari menaiki anak tangga mencoba melihat St. Paull secara lebih dekat dengan menembus keramaian orang-orang,.

St. Paull (Sumber: wego.co.id)
St. Paull (Sumber: wego.co.id)
“Chiaaa, baru sebentar kita di sana!” gerutu saya lagi. Tadi saya sudah hampir tiba di tangga terakhir ketika tiba-tiba saya sudah berada di pinggiran sebuah sungai.

“Hari ini, cukup Aida. Maafkan aku, ternyata kita tadi kelamaan belanja. Ahahaha, tapi kita masih bisa melanjutkannya kapan-kapan. Tujuan terakhir kita hari ini, Macau Tower,” Chia menunjuk sebuah tower tinggi yang menjulang seolah siap menusuk langit.

“Yahh, padahal masih ada Gand Lisboa, kita juga belum lihat panda, juga air mancur menari. Dancing Fountain macau itu indah sekali aku melihatnya di youtube” sungut saya sambil mengingat video yang sebelumnya saya tonton.


“Sorii, masih ada kesempatanmu untuk datang lagi kemari. Tentu saja, secara nyata,” ujarnya tersenyum. Saya terhenyak. Ahh benar, ini kan hanya mimpi.

Tiba-tiba saja, saya sudah berpindah, ke sebuah café dengan pinggiran bentangan kaca yang menyajikan pemandangan perkotaan yang begitu menakjubkan.

Cafe 360 derajat (Sumber: google map)
Cafe 360 derajat (Sumber: google map)
“Ini Cafe 360 derajat ,” ujar Chia. “Ini di Macau Tower. Ahahaha, sudah kuduga kamu pasti terbengong-bengong,” tawanya lebar saat saya meraba-raba kaca kafe.

Jelaslah kalau saya bengong. Pemandangan dari atas merupakan favorit saya. Ditambah, café ini berputar, sehingga pemandangan kotanya bisa berubah-ubah.

“Ini The Venetian Resort, tempat seharusnya kamu menginap. Tapi kamu harus kembali. Sepertinya masih ada yang harus kamu lakukan di tempatmu. Tapi aku tidak tahu apa itu” Ujar Chia sedih ketika kami tiba-tiba sudah berada di sebuah tempat mirip Venesia.

“Tidak apa-apa Chia,” ujar saya menghiburnya. Meski saya tidak begitu mengerti kenapa harus cepat kembali.

venetian-5a43a567bde5751148178516.jpg
venetian-5a43a567bde5751148178516.jpg
Kami lalu berjalan menyusuri tiap tempat The Venetian Macau. “Ini The Golden Peacock, resto halal di The Venetian. Selain di sini, ada banyak sebetulnya resto halal di Macau. Macau memang tempat dimana banyak kebudayaan Asia berbaur. Jadi jangan heran ada resto India di sini,” ujarnya.

“Nah, ini yang terakhir harus kamu lakukan!” Chia mengejutkan saya dengan keberadaan kami yang tiba-tiba di -sebut saja rooftop-. Namun bukan sembarang rooftop. Ini, area untuk terjun ke bawah.

“Maksudmu, aku harus bungy jump di sini?” saya menelan ludah. Menatap ke bawah saja sudah sangat mengerikan. 

jump-5a43a97b5e1373159734ecd2.jpg
jump-5a43a97b5e1373159734ecd2.jpg
“Begitulah. Ini nggak serem kok. Jadi jangan khawatir. Di sini pengunjung akan terjun bebas, dan melambat di ketinggian 30 meter sebelum rebound ke atas. Khusus untukmu, ini saranamu buat kembali ke tempatmu Aida,”

“Haa?” saya tidak mengerti.

“Ahahaha, padahal tadinya kupikir kamu akan menginap. Terus malam hari kita bisa jalan-jalan di lorong-lorong mewah yang menghubungkan 5 hotel di Macau Tower. Tapi sepertinya itu harus kamu lakukan saat kunjunganmu ke Macau jadi nyata saja!” ujarnya.

Belum sempat saya berkata apa-apa, tiba-tiba peralatan bungy jump sudah terpasang lengkap di tubuh saya.

“Saya akan kembali ke Macau, Chia, tapi bukan mimpi lagi. Saya akan datang secara nyata,” ujar saya berusaha tegar meskipun sedih meninggalkan Chia. Saya mengikuti arahan petugas, lantas melompat turun.

Kontan jeritan saya membahana memenuhi udara. Jantung berdesir-desir, dan tekanan udara seperti menekan-nekan. Namun tak terpungkiri ini seru. Saat seperti ini, saya seharusnya tidak mendengar suara Chia memanggil-manggil. Tapi anehnya, suara Chia makin keras, dan pandangan indahnya Macau dari atas tiba-tiba berubah menjadi dinding kamar saya.

Aihh, itu bukan suara Chia. Itu suara ibu saya memanggil-manggil dari luar kamar. Suara Ibu saya membuyarkan lamunan saya. Tadi kan saya mau tidur, tapi bukannya tidur, ternyata saya malah membayangkan sedang berada di Macau.

“Aida, kamu tadi kan belum Isya! Jangan tidur dulu!” ujar Ibu saya dari luar kamar. Ahh  benar. Saya belum sholat. Saya melirik ke HP yang menyala. Terlihat gambar Macau di browser yang masih terbuka.

Yeahh, saya mau solat dulu lah. Mau minta sama Allah biar dibolehin beneran datang Ke Macau. Seperti kata saya ke Chia tadi, saya akan datang ke Macau secara nyata. Amin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun