Kami berjalan menjauhi mobil, menelusuri lorong-lorong bercabang dari kawasan Senado Square. Di sana, lagi-lagi terdapat bangunan peninggalan Portugis, gereja St. Dominic yang terlihat cerah dengan warna kuningnya, kantor pos pusat juga berbagai bangunan bersejarah lain yang masih difungsikan. Semuanya klasik
“Hoi, Chia, kalau mau pindah tempat, bilang dong!” saya memberenggut.Saya tidak tau, kalau Chia bisa membuat saya berpindah tempat tiba-tiba tanpa harus mengikutinya berjalan seperti sebelumnya. Saya baru saja menjepret kantor pos ketika tiba-tiba, hasil jepretan saya malah berubah jadi deretan rumput. Saat menatap sekitar ternyata saya dan Chia sudah berpindah di depan sebuah taman penuh rumput yang tertata dengan bentuk seperti spiral.
“Ahahaha, sori. Waktumu tak banyak! Jadi langsung saja kubawa ke sini. Masih ada banyak tempat soalnya,” Chia melihat jam tangannya
“Waahhh, ini keren Chia!” ujar saya lantas menjepretkan kamera ke bangunan seperti gapura yang terlihat kuno namun tampak sangat artistik yang menurut saya seperti bangunan di Italia yang sering ada di film-film
“Ini reruntuhan katredal St. Paul, terbakar tahun 1835.Dulunya ini gereja terbesar di Asia Timur,”jelas Chia. Saya mengangguk-angguk, lantas berlari menaiki anak tangga mencoba melihat St. Paull secara lebih dekat dengan menembus keramaian orang-orang,.
“Hari ini, cukup Aida. Maafkan aku, ternyata kita tadi kelamaan belanja. Ahahaha, tapi kita masih bisa melanjutkannya kapan-kapan. Tujuan terakhir kita hari ini, Macau Tower,” Chia menunjuk sebuah tower tinggi yang menjulang seolah siap menusuk langit.
“Yahh, padahal masih ada Gand Lisboa, kita juga belum lihat panda, juga air mancur menari. Dancing Fountain macau itu indah sekali aku melihatnya di youtube” sungut saya sambil mengingat video yang sebelumnya saya tonton.
“Sorii, masih ada kesempatanmu untuk datang lagi kemari. Tentu saja, secara nyata,” ujarnya tersenyum. Saya terhenyak. Ahh benar, ini kan hanya mimpi.