KONTEKS UMUM MENGENAI PAPUA
Luas wilayah Papua adalah 421.981 KM2 (3,5 kali lebih besar dari pada Pulau Jawa) dengan topografi yang meliputi daerah pegunungan dan sebagian besar tanah yang berawa-rawa di daerah pesisir. Papua berbatasan dengan; Laut Halmahera dan Samudra Pasifik di utara, Laut Arafura dan Australia di selatan, Papua New Guinea di sebelah timur, dan Laut Arafura, Laut banda dan Maluku di sebelah barat.
Secara umum penduduk asli Papua tersebar di tiga wilayah berbeda beda yakni di daerah Kepala Burung daerah PegununganTengah hingga Pantai  Utara dan daerah Dataran Rendah di sebelah Selatan Pegunungan Jayawijaya. Di daerah Kepala Burung terdapat suku Ayamaru yang bermata pencaharian berkebun dan berburu sedangkan suku Wandamen bercocok tanam sayuran.Â
Adapun suku-suku (Mee, Dani, Kaure, Bauzi, Sentani, Tobati, dan Enggros) di Pegunungan Tengah sampai Pantai Utara memiliki mata pencaharian berkebun, beternak babi, sebagai peramu dan pengumpul serta menangkap ikan. Sementara itu suku Awyu dan Kimaam di Dataran Rendah sebelah selatan Pegunungan Jayawijaya hidup sebagai peramu dan pengumpul, mereka juga berburu, menangkap ikan, dan berkebun.
Sugandi (2008) menyebut Penelitian di bidang Antropologi mengkategorikan tujuh zona kebudayaan di seluruh tanah Papua: (1) Saireri, (2) Doberai, (3) Bomberai, (4) Ha-Anim, (5) Tabi, (6) Lano-Pago, and (7) Me-Pago. Ada lebih dari 250 kelompok etnis dengan kebiasaan-kebiasaan, bahasa bahasa, praktek-praktek dan agama asli yang berbeda di Papua. Ini berarti, ada ratusan norma adat yang berlaku di dalam propinsi ini. Â
Ditambah lagi, ada 100 kelompok etnis non-Papua. Elisabeth (2012) menyebutkan bahwa berdasarkan etnisitas penduduk asli Papua terbagi menjadi dua kelompok etnik besar 1. Etnik Melanesia yang mendiami daerah pesisir dan kepulauan. 2. Etnik Papua yang tinggal di kawasan dataran tinggi. Berdasarkan lingkaran kebudayaan Papua tersebar di enam wilayah budaya 1. Koreri di Kepulauan Biak Numfor dan Raja Ampat 2. Kuri Pasai di Kawasan Teluk Cenderawasih 3 Kimani, Depun, dan Ondoafi bagian Laut Papua dan perbatasan dengan PNG 4. Wam atau Babi di Pegunungan Tengah 5. Kain Timur di barat daya daerah Kepala Burung dan 6. Bis (mbis) di tenggara Papua yang dikenal dengan budaya tiang besar berukir motif manusia leluhur.
KEPENDUDUKAN
Hasil proyeksi penduduk Provinsi Papua pada tahun 2018 sebesar 3.322.526 orang dengan jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kota Jayapura sebanyak 297.775 orang dan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kabupaten Supiori yaitu sebanyak 20.018 orang. Laju pertumbuhan penduduk tahun 2018 terhadap 2010 sebesar 10,23 persen sedangkan laju pertumbuhan penduduk tahun 2018 terhadap tahun 2017 adalah sebesar 0,83 persen. Persentase penduduk perempuan adalah sebanyak 47,46 persen atau 1.566.189 penduduk. Rasio jenis kelamin di Provinsi Papua pada tahun 2018 sebesar 110,85 yang berarti dari 100 penduduk perempuan, terdapat 111 penduduk laki-laki. Secara rata-rata, kepadatan penduduk di Provinsi Papua adalah sebesar 10,50 km2 yang berarti secara rata-rata untuk setiap satu km2 wilayah Provinsi Papua ditempati oleh 10 orang penduduk (BPS Provinsi Papua, 2019)
Jumlah penduduk Provinsi Papua Barat dari hasil proyeksi yaitu sebesar 937.458 jiwa pada tahun 2018 yang terdiri atas 481.939 penduduk laki-laki dan 433.422 penduduk perempuan. Laju pertumbuhan penduduk pertahun pada 2010- 2018 adalah sebesar 2,57.Â
Sementara itu, rasio jenis kelamin Provinsi Papua Barat pada tahun 2018 sebesar 111,09. Angka ini dapat diinterpretasikan bahwa dalam 100 penduduk perempuan terdapat 111 penduduk laki-laki.Â
Kepadatan penduduk di Papua Barat tahun 2018 mencapai 9,11 jiwa/ km2. Kota Sorong mempunyai jumlah penduduk yang paling besar, yaitu 247.084 jiwa, diikuti Kabupaten Manokwari 170.897 jiwa dan Kabupaten Sorong 86.994 jiwa. (BPS Provinsi Papua Barat, 2019)
Total penduduk Papua dan Papua Barat adalah sekitar 4.259.984 jiwa, sekitar 1,57% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, di mana 70% tinggal di daerah pedesaan dan di tengah daerah pegunungan yang terpencil.Â
Pada sensus 2010, jumlah penduduk asli Papua sekitar 73,57 persen (2.121.436 jiwa), sementara jumlah pendatang 22,84 persen (658.708 jiwa).Â
Lima kabupaten dengan mayoritas non-Papua adalah Merauke (62,73%), Nabire (52,46%), Mimika (57,49%), Keerom (58,68%), dan Kota Jayapura (65,09%). Ke-23 kabupaten lain di Papua dan Papua Barat didominasi oleh orang asli Papua. Dari data ini, orang non-Papua terkonsentrasi di perkotaan.Â
Di pegunungan, mayoritas adalah orang asli Papua seperti di Lanny Jaya (99,89%), Tolikara (99,04%), Yahukimo (98,57%), Paniai (97,58%), dan Jayawijaya (90,9%).
Pengaruh kesukuan masih sangatlah kuat, oleh karenanya insiden-insiden yang menampakkan ketidakpedulian terhadap keharmonisan sosial biasanya akan berujung pada tindak kekerasan.Â
Dalam kenyataannya komunikasi sosial sangatlah terbatas dan orang biasanya enggan berhubungan dengan orang yang berasal dari etnis dan agama yang berbeda. Konflik biasanya terjadi pada waktu kita tidak dapat mengerti pluralitas norma-norma dan nilai nilai ini.Â
Selain kaya akan kebudayaan, Papua juga mempunyai sumber daya alam yang berlimpah mulai dari gas, minyak, emas, perak, hasil-hasil laut dan tembaga. Sayangnya, kekayaan Papua (sumber daya alamnya dan secara kebudayaan) telah diwarnai oleh sejarah konflik yang panjang dengan biaya kemanusiaan yang signifikan.
Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 menghasilkan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia. Namun, KMB juga menyisakan masalah belum tuntas, yakni mengenai status Papua atau Irian Barat. Baik Indonesia maupun Belanda sama-sama ngotot merasa lebih berhak atas tanah Papua Barat.Â
Bagi Belanda, Papua bagian barat, atau yang mereka sebut Netherlands New Guinea, bukanlah bagian dari kesatuan wilayah yang harus dikembalikan kepada Indonesia.Â
Salah satu alasan Belanda adalah karena orang-orang asli Papua memiliki perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka dari itu, mereka ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara tersendiri di bawah naungan Kerajaan Belanda.
Indonesia tidak sepakat dan menghendaki agar seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda diserahkan. Lantaran tidak dicapai titik temu, sebut Amarula Octavian dalam Militer dan Globlalisasi (2012), maka masalah Papua Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun ke depan.Â
Perundingan lanjutan memang sempat digelar beberapa kali, namun hasilnya selalu menemui kebuntuan. Gara-gara ini, sejak Agustus 1954, Uni Indonesia-Belanda yang diamanatkan dalam KMB bubar.Â
Dikutip dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid V (2008) karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Indonesia telah mengusahakan penyelesaian masalah Irian Barat selama 11 tahun.Â
Namun, karena Belanda tidak mengindahkan, persoalan ini dibawa ke forum PBB pada 1954, 1955, 1957, dan 1960. Dalam Sidang Umum PBB pada September 1961, Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Marie Antoine Hubert Luns mengajukan usulan yang intinya agar Papua Barat berada di bawah perwalian PBB sebelum diadakan referendum. Namun, Majelis Umum PBB menolak usulan ini.
Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta karena menganggap Belanda tidak lagi kooperatif.Â
Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) adalah skenario militer selama 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Soekarno juga membentuk Komando Mandala. Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima.Â
Tugas komando ini adalah untuk merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.
Nugroho Notosusanto dalam Sedjarah Operasi-operasi Pembebasan Irian Barat (1971) menyebutkan bahwa pada 2 Januari 1962, melalui Keputusan Presiden Nomor 1/1962, Presiden Sukarno membentuk Komando Mandala untuk merebut Papua. Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk jadi komandan operasi militer ini. Situasi ini membuat Belanda tertekan dan terpaksa bersedia berunding lagi dengan Indonesia.Â
Hasilnya, pada 15 Agustus 1962, disepakati Perjanjian New York (New York Agreement) yang menyatakan bahwa Belanda akan menyerahkan kekuasaannya atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).Â
Akhirnya, pada 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA. Perjanjian New York mensyaratkan Indonesia melaksanakan suatu Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).Â
Rakyat Papua bagian barat akan memutuskan sendiri apakah bersedia menjadi bagian dari Indonesia atau tidak. Batas waktu pelaksanaan Pepera ditetapkan sampai akhir 1969 dengan PBB sebagai pengawasnya.Â
Pepera diikuti oleh 1.025 perwakilan masyarakat Papua yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh penting Papua, tokoh adat, kepala suku, pemuka masyarakat, pemuka agama dll. Mewakili dari perkiraan total populasi Papua waktu itu sekitar 800.000 jiwa.
Pepera tidak dilaksanakan dengan metode One Man One Vote dikarenakan kondisi penduduk waktu itu belum siap, masih banyak yang terbelakang, infrastruktur yang belum memadai, banyak penduduk yang masih buta huruf, tinggal di daerah terpencil, wilayah yang berpulau-pulau, dan akses yang sulit.Â
Fernando Ortiz-Sanz utusan Sekjend PBB untuk Pepera 1969, asal Bolivia di rumahnya, di Sucre, pada 15 Desember 1999, menerima wartawan Belanda, Stafan Alonso Casale.Â
Dalam wawancara yang dimuat di surat kabar Belanda, NRC Handelsblad, pada 14 Januari 2000, Ortiz Sanz Dalam wawancara itu, ia mengakui bahwa awalnya ia mengajukan agar proses Pepera dilaksanakan dengan cara one man one vote.Â
Tetapi pada akhirnya ia bisa menerima metode musyawarah sebagai salah satu cara Asia. Ia meyakini cara seperti itu bukan hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan Asia.
Menurutnya, kondisi budaya dan penduduk saat itu, sangat terbelakang (primitif). Itu sebabnya, kata dia, berbulan-bulan persiapan mereka habiskan untuk mencari cara yang tepat untuk menangkap aspirasi rakyat Papua.Â
"Tidak ada manipulasi. Terkadang memang ada yang tidak beres, seperti biasanya," kata dia. Hal itu. lanjut dia, dapat dimaklumi karena Pepera mencakup penduduk di beberapa pulau dan meliputi puluhan dialek bahasa.
"Itu adalah domain yang sulit; Ada keterbelakangan budaya. Beberapa sudah lebih modern, yang lain hidup dalam keterbelakangan," kata dia. Ini yang menjadi alasan mengapa Ortiz Sanz tidak ngotot lagi untuk memberlakukan one man one vote dan menerima metode musyawarah.Â
Cara ini kata dia, lazim di Papua, di mana komunikasi sulit dilakukan karena masyarakat tidak dapat menulis. Itulah, kata Ortiz Sanz, satu-satunya cara untuk mencapai kesepakatan dalam hal-hal penting yang dimiliki orang Papua. Musyawarah adalah kemungkinan paling demokratis yang ada.
Ortiz Sanz mengatakan pertanyaan kunci untuk orang Papua saat itu adalah "apakah Anda ingin menjadi bagian dari Indonesia atau Anda ingin menemukan cara untuk merdeka? "Perwakilan-perwakilan itu, kata Ortiz Sanz, memilih dan jawabannya adalah dengan suara bulat mengatakan tentu saja mereka ingin merdeka, namun mereka menerima bahwa mereka tidak dapat menjadi negara merdeka tanpa dukungan dari Indonesia.
 "Tanpa Indonesia mereka akan mati kelaparan. Itulah situasinya. Itulah kontradiksi yang harus diseimbangkan (pada saat itu)," kata Ortiz Sanz.
Ortiz Sanz mengatakan memang selama ia berada di Papua, dirinya menerima juga berbagai petisi untuk merdeka. "Saya secara teratur menerima petisi dari orang Papua yang mendukung kemerdekaan. Tapi petisi ini sangat fragmentaris, yang ditulis oleh individu, dalam dialek yang berbeda.Â
Hal itu membuat sulit untuk memperkirakan kepentingan mereka. Di sisi lain ada banyak pemilik toko dan petani, penduduk biasa, yang secara terbuka mengatakan kepada saya bahwa mereka ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia karena kondisi kehidupannya membaik. Hidup dalam kegelapan telah usai.Â
Saya mendengarkan mereka, berbicara kepada ratusan orang. Kepada para kepala suku, tapi juga untuk orang-orang di jalanan." Di mata Ortiz Sanz, penduduk Papua ketika itu tidak memiliki tingkat peradaban yang dibutuhkan untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dan ini, lanjut dia, tidak hanya berlaku untuk orang Papua, juga untuk orang-orang di kepulauan lainnya di Indonesia.
"Selebihnya prosedurnya benar-benar bersih. Itu adalah status quo dan kami melakukan segalanya secara manusiawi untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan utama. Baik dari pihak Indonesia maupun dari sisi PBB ada upaya untuk mengkoordinasikan situasi ini."Oleh karena itu, kata Ortiz Sanz, dalam laporan akhirnya kepada PBB, ia menekankan penerimaannya atas hasil Pepera.Â
Dalam laporan itu, ia menulis: 'Dengan keadaan seperti ini, tidak mungkin menyangkal bahwa prosedur demokrasi telah terjadi di Irian.' Meskipun Pepera dianggap penuh kecurangan dan tuduhan manipulasi.
Menurut Ortiz Sanz, semua pihak menerima hal itu. Bahkan Belanda pun tidak menolaknya. Ortiz Sanz dengan jelas menyatakan dukungannya atas hasil Pepera, hasil dari Pepera itu bijaksana dan masuk akal. Dengan demikian dalam sidang umum PBB 19 November 1969 semua negara yang hadir menyatakan setuju, sisanya 30 negara menyatakan abstain.Â
Metode permusyawaratan perwakilan diterima secara sah oleh PBB. Bendera Belanda resmi diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih sebagai tanda dimulainya kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB.
Permasalahan Papua
Pada tahun 2009 tim peneliti LIPI meluncurkan buku Papua Road Map Negotiating the Past Improving the Present and Securing the Future .Â
Buku itu ditulis berdasarkan hasil penelitian Konflik Papua sejak 2004 sampai 2008 yang berada di bawah subprogram Riset Kompetitif LIPI berjudul Otonomi Daerah Konflik dan Daya Saing Indonesia. Empat masalah utama yang menjadi sumber konflik di Papua bukanlah masalah baru.Â
Empat masalah itu adalah 1. Marginalisasi dan diskriminasi 2. Kegagalan pembangunan 3.Kekerasan negara dan pelanggaran HAM 4. Sejarah dan status politik Papua.
Selain pemetaan masalah dan sumber konflik di Papua PRM juga mengusulkan penyelesaian setiap masalah dengan memperhatikan keterhubungan antara satu aspek dengan aspek lainnya. Keempat usulan itu adalah 1.Rekognisi melalui pemberdayaan orang asli Papua 2. Membuat paradigma dan strategi baru pembangunan di Papua yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan penduduk Papua 3. Rekonsiliasi dan pengadilan HAM bertujuan untuk membangun hubungan politik yang konstruktif 4. Dialog damai untuk memoderasi dan negosiasi mengenai masalah politik
Dalam kondisi konflik kebijakan dan program pembangunan untuk Papua tidak mungkin dilaksanakan dalam keadaan normal seperti di daerah lain di Indonesia Sebaik apapun tujuan pembangunan sosial ekonomi dan infrastruktur di Papua tidak dengan mudah dapat diterima sebagai sebuah upaya yang tulus tanpa dicurigai sebagai agenda politik yang terselubung "hidden agenda".Â
Sebaliknya hampir setiap inisiatif politik dari Jakarta direspons secara negatif termasuk harus berhadapan dengan ancaman atau tuntutan merdeka secara politik dari masyarakat Papua.Â
Sementara pendapat lain mengatakan bahwa pembangunan hanya dapat berhasil secara maksimal apabila ditunjang dengan stabilitas politik yang mapan atau tidak mungkin membangun tanpa suasana perdamaian no development without peace.
Tujuannya bukan hanya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi orang Papua namun juga untuk meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Menurut Elisabeth (2012) masalah kesenjangan pembangunan "development gap" di Papua dapat diperbaiki dan ditingkatkan dengan pendekatan 4I.
Pertama Income, pendapatan salah satu indikator dalam mengukur Indeks Pembangunan Manusia yang terdiri dari tinggi (high income) menengah (middle income) dan rendah (low income). Kedua Infrastruktur terdiri dari most (developed fairly developed) dan (poorly developed).Â
Ketiga Integrasi ekonomi berkaitan dengan investasi FDI perdagangan dan pariwisata. Keempat Institusi politik dan ekonomi yang berfungsi untuk mengatasi kesenjangan antara kepentingan politik demokratis-otoriter dengan kepentingan ekonomi pasar bebas-ekonomi terpusat
Strategi dan Kebijakan Pembangunan Papua
Berdasarkan tujuan nasional negara Republik Indonesia RI yang tercantum di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar UUD 1945 dan Pancasila, setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan jaminan keadilan dan kesejahteraan sosial ekonomi termasuk orang Papua. Namun sampai saat ini Papua masih tergolong sebagai daerah paling miskin di Indonesia. Kemiskinan pengangguran dan kesenjangan pembangunan di Papua merupakan fakta yang sulit dibantah. Meskipun kemiskinan angkanya menurun setiap tahan, tapi Papua masih menjadi provinsi termiskin di Indonesia.
Sementara itu dinamika politik dan keamanan di Papua pun lebih didominasi oleh ketegangan dan konflik baik secara vertikal maupun horizontal. Yang baru saja terjadi Agustus 2019 dan masih hangat adalah aksi masa yang menyebabkan kerusuhan dan perusakan fasilitas publik yang terjadi di Sorong, Manokwari dan Jayapura imbas dari kasus intimidasi mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Tahun 2017 setidaknya terjadi 25 kasus penembakan dan kekerasan. Tahun 2018 sebanyak 26 kasus penembakan telah terjadi Puncak Jaya, Mimika, Lanny Jaya, dan Jayawijaya. Kasus penembakan yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata sejak awal Januari hingga akhir Desember 2018 telah menyebabkan korban 28 warga sipil meninggal dunia, 7 personel TNI/Polri meninggal dunia, dan 20 TNI/Polri dan warga sipil luka-luka, dan dua anggota KKB dilaporkan tewas (Kompas, 2018).
Berdasarkan fakta ini pendekatan atau strategi ke depan harus memperhatikan kondisi dan kebutuhan rill di Papua baik menyangkut kebutuhan sosial dan ekonomi maupun politik dan keamanan. Menurut Elisabeth (2012) Pertama adalah membuat tim riset aksi yang bertugas meneliti permasalahan dan kebutuhan masyarakat setempat serta rekomendasi kebijakan kepada pemerintah. Kedua strategi pertumbuhan ekonomi di Papua tidak bisa sepenuhnya dilakukan melalui pengembangan industri yang berorientasi keluar karena hal ini memerlukan kesiapan daerah Papua untuk memproduksi barang barang manufaktur untuk diekspor dan bersaing dengan pasar yang sangat kompetitif. Sementara ekspor Papua terbesar hanya bersumber dari sektor pertambangan umum.
Ketiga pendekatan politik keamanan, sekuritisasi di Papua mengakibatkan kebuntuan politik. Kebijakan politik pemerintah (Kemdagri) semacam ini terkesan mengabaikan semangat Otsus sehingga memperdalam kebuntuan politik dan ketidak percayaan orang Papua terhadap Pemerintah. Pelanggaran HAM adalah akibat langsung yang terburuk dari kebijakan tersebut. Lebih jauh lagi sudah pasti pelanggaran HAM memberi peluang internasionalisasi dalam pengertian yang negatif terhadap konflik Papua dan kredibilitas pemerintah RI.
Keempat sebagaimana ditulis di dalam buku PRM (Papua Road Map Negotiating the Past Improving the Present and Securing the Future). Dialog Jakarta-Papua merupakan pilihan yang paling bermartabat untuk menyelesaikan masalah Papua.
Tujuan utama dialog adalah untuk mengatasi masalah-masalah nonfisik yang selama ini cenderung diabaikan misalnya persoalan rekognisi terkait dengan penderitaan dan pengalaman kekerasan yang dialami orang Papua (memoria passionis), mengatasi rasa tidak aman karena pendekatan keamanan yang represif serta stigma separatis bagi Papua. Dialog memang tidak dapat menentukan hasil apalagi penyelesaikan konflik antara Jakarta dan Papua karena esensi dialog adalah sebagai media atau cara berkomunikasi.
Para pihak yang berkonflik harus mulai membuka diri dan berkeinginan baik untuk membicarakan berbagai isu yang selama ini menjadi sumber perpecahan ketegangan dan konflik di Papua. Dalam rangka membangun komunikasi menuju dialog damai para pihak harus berusaha untuk mencapai kepentingan dan platform bersama dengan menyingkirkan perbedaan perbedaan posisi politik apalagi posisi yang ekstrem pro NKRI berhadapan dengan pro merdeka. Untuk itu dialog harus dibangun atas dasar kesetaraan dan respek, karena tanpa mengutamakan itu maka dialog damai tidak akan pernah terjadi.
Persoalan politik dan ekonomi di Papua cenderung saling berkorelasi. Setiap kebijakan dan program di Papua harus memperhatikan dua kata kunci perdamaian dan pembangunan. Oleh karena perdamaian dan pembangunan saling berhubungan maka akar persoalan kegagalan pembangunan maupun sumber konflik di Papua harus dipahami secara tepat atas dasar pemahaman yang tepat. Perlu dirumuskan strategi dan kebijakan yang integratif dan holistik terutama karena permasalahan yang multiaspek dan multidimensi di Papua.
Namun pada tingkat implementasi program Papua memerlukan pendekatan yang sangat spesifik dengan memperhatikan kearifan lokal termasuk pendekatan komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat asli Papua, baik dalam bentuk konsultasi publik maupun forum musyawarah adat. Pendekatan pembangunan dan perdamaian di Papua harus mampu menciptakan rasa memiliki (ownership) dan tanggung jawab terhadap program yang ditawarkan serta membangun rasa saling percaya. Mengurangi kesenjangan perbedaan antara Jakarta dan Papua, dan meningkatkan kepercayaan diri sebagai bagian yang setara dari bangsa Indonesia. Tujuannya selain untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, membentuk rasa memiliki terhadap proses maupun program yang akan dijalankan, juga untuk memperoleh legitimasi yang kuat bagi pelaksanaan program program pembangunan di Papua.
Referensi
BPS. 2019. Provinsi Papua Barat dalam Angka (Papua Barat Province In Figures). Manokwari: BPS Provinsi Papua Barat.
BPS. 2019. Provinsi Papua dalam Angka (Papua Province In Figures). Papua: BPS Provinsi Papua Barat.
CNNIndonesia.com, " Menilik Kembali 15 Tahun Perjalanan Dana Otonomi Khusus Papua ", dalam https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180207121048-532-274494/menilik-kembali-15-tahun-perjalanan-dana-otonomi-khusus-papua, diakses 26 Agustus 2019
Elisabeth, A. 2012. Perdamaian dan Pembangunan Papua Problematika Politik Atau Ekonomi
Historia.id., "Aksi Kapal Selam di Papua dan Sabotase Yang Gagal", dalam https://historia.id/politik/articles/aksi-kapal-selam-di-papua-dan-sabotase-yang-gagal-PzM7M , diakses 26 Agustus 2019
Kementerian PPN/Bappenas. 2018. Rancangan Renaksi Inpres 9/2017 Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Provinsi Papua dan Papua Barat dalam TA 2018 & RKP Energi Listrik
Kompas.com, "Catatan Kriminal KKB Papua Selama 1 Tahun", dalam https://regional.kompas.com/read/2019/03/21/15464051/catatan-kriminal-kkb-di-papua-selama-1-tahun-bunuh-26-orang-dan-perkosa?page=all, diakses 26 Agustus 2019
Liputan6.com, "Sepanjang 2018 KKB Jadi Biang Kerok 26 Kasus Penembakan di Papua", dalam https://www.liputan6.com/regional/read/3859136/sepanjang-2018-kkb-jadi-biang-kerok-26-kasus-penembakan-di-papua, diakses 25 Agustus 2019
Pireport.org, "Interview Fernando Ortiz Sanz", dalam http://www.pireport.org/articles/2000/04/07/interview-fernando-ortiz-sanz, diakses 25 Agustus 2019
Republika.co.id, "Jokowi sediakan Dana Otonomi Khusus 84 Triliun", dalam https://republika.co.id/berita/pwj7n3370/jokowi-sediakan-dana-otonomi-khusus-papua-rp-84-triliun, diakses 26 Agustus 2019
Sugandi, Yulia. 2008. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung (FES)
Tirto.id, 'Memutihkan Orang Papua", dalam https://tirto.id/memutihkan-orang-papua-cmPk , diakses 26 Agustus 2019
Tirto.id, "Sejarah Kemerdekaan Papua Barat dari Belanda Gabung NKRI", dalam https://tirto.id/sejarah-kemerdekaan-papua-barat-dari-belanda-gabung-nkri-egyR, diakses 26 Agustus 2019
Vivanews com, "Komisi I Ragukan Pengungkapan Penembakan Trigana Air", dalam https//www.vivanews.com diakses, 11 April 2012
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H