Akhirnya, pada 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA. Perjanjian New York mensyaratkan Indonesia melaksanakan suatu Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).Â
Rakyat Papua bagian barat akan memutuskan sendiri apakah bersedia menjadi bagian dari Indonesia atau tidak. Batas waktu pelaksanaan Pepera ditetapkan sampai akhir 1969 dengan PBB sebagai pengawasnya.Â
Pepera diikuti oleh 1.025 perwakilan masyarakat Papua yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh penting Papua, tokoh adat, kepala suku, pemuka masyarakat, pemuka agama dll. Mewakili dari perkiraan total populasi Papua waktu itu sekitar 800.000 jiwa.
Pepera tidak dilaksanakan dengan metode One Man One Vote dikarenakan kondisi penduduk waktu itu belum siap, masih banyak yang terbelakang, infrastruktur yang belum memadai, banyak penduduk yang masih buta huruf, tinggal di daerah terpencil, wilayah yang berpulau-pulau, dan akses yang sulit.Â
Fernando Ortiz-Sanz utusan Sekjend PBB untuk Pepera 1969, asal Bolivia di rumahnya, di Sucre, pada 15 Desember 1999, menerima wartawan Belanda, Stafan Alonso Casale.Â
Dalam wawancara yang dimuat di surat kabar Belanda, NRC Handelsblad, pada 14 Januari 2000, Ortiz Sanz Dalam wawancara itu, ia mengakui bahwa awalnya ia mengajukan agar proses Pepera dilaksanakan dengan cara one man one vote.Â
Tetapi pada akhirnya ia bisa menerima metode musyawarah sebagai salah satu cara Asia. Ia meyakini cara seperti itu bukan hanya di Indonesia tetapi juga di berbagai belahan Asia.
Menurutnya, kondisi budaya dan penduduk saat itu, sangat terbelakang (primitif). Itu sebabnya, kata dia, berbulan-bulan persiapan mereka habiskan untuk mencari cara yang tepat untuk menangkap aspirasi rakyat Papua.Â
"Tidak ada manipulasi. Terkadang memang ada yang tidak beres, seperti biasanya," kata dia. Hal itu. lanjut dia, dapat dimaklumi karena Pepera mencakup penduduk di beberapa pulau dan meliputi puluhan dialek bahasa.
"Itu adalah domain yang sulit; Ada keterbelakangan budaya. Beberapa sudah lebih modern, yang lain hidup dalam keterbelakangan," kata dia. Ini yang menjadi alasan mengapa Ortiz Sanz tidak ngotot lagi untuk memberlakukan one man one vote dan menerima metode musyawarah.Â
Cara ini kata dia, lazim di Papua, di mana komunikasi sulit dilakukan karena masyarakat tidak dapat menulis. Itulah, kata Ortiz Sanz, satu-satunya cara untuk mencapai kesepakatan dalam hal-hal penting yang dimiliki orang Papua. Musyawarah adalah kemungkinan paling demokratis yang ada.