Ortiz Sanz mengatakan pertanyaan kunci untuk orang Papua saat itu adalah "apakah Anda ingin menjadi bagian dari Indonesia atau Anda ingin menemukan cara untuk merdeka? "Perwakilan-perwakilan itu, kata Ortiz Sanz, memilih dan jawabannya adalah dengan suara bulat mengatakan tentu saja mereka ingin merdeka, namun mereka menerima bahwa mereka tidak dapat menjadi negara merdeka tanpa dukungan dari Indonesia.
 "Tanpa Indonesia mereka akan mati kelaparan. Itulah situasinya. Itulah kontradiksi yang harus diseimbangkan (pada saat itu)," kata Ortiz Sanz.
Ortiz Sanz mengatakan memang selama ia berada di Papua, dirinya menerima juga berbagai petisi untuk merdeka. "Saya secara teratur menerima petisi dari orang Papua yang mendukung kemerdekaan. Tapi petisi ini sangat fragmentaris, yang ditulis oleh individu, dalam dialek yang berbeda.Â
Hal itu membuat sulit untuk memperkirakan kepentingan mereka. Di sisi lain ada banyak pemilik toko dan petani, penduduk biasa, yang secara terbuka mengatakan kepada saya bahwa mereka ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia karena kondisi kehidupannya membaik. Hidup dalam kegelapan telah usai.Â
Saya mendengarkan mereka, berbicara kepada ratusan orang. Kepada para kepala suku, tapi juga untuk orang-orang di jalanan." Di mata Ortiz Sanz, penduduk Papua ketika itu tidak memiliki tingkat peradaban yang dibutuhkan untuk menentukan nasib mereka sendiri. Dan ini, lanjut dia, tidak hanya berlaku untuk orang Papua, juga untuk orang-orang di kepulauan lainnya di Indonesia.
"Selebihnya prosedurnya benar-benar bersih. Itu adalah status quo dan kami melakukan segalanya secara manusiawi untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan utama. Baik dari pihak Indonesia maupun dari sisi PBB ada upaya untuk mengkoordinasikan situasi ini."Oleh karena itu, kata Ortiz Sanz, dalam laporan akhirnya kepada PBB, ia menekankan penerimaannya atas hasil Pepera.Â
Dalam laporan itu, ia menulis: 'Dengan keadaan seperti ini, tidak mungkin menyangkal bahwa prosedur demokrasi telah terjadi di Irian.' Meskipun Pepera dianggap penuh kecurangan dan tuduhan manipulasi.
Menurut Ortiz Sanz, semua pihak menerima hal itu. Bahkan Belanda pun tidak menolaknya. Ortiz Sanz dengan jelas menyatakan dukungannya atas hasil Pepera, hasil dari Pepera itu bijaksana dan masuk akal. Dengan demikian dalam sidang umum PBB 19 November 1969 semua negara yang hadir menyatakan setuju, sisanya 30 negara menyatakan abstain.Â
Metode permusyawaratan perwakilan diterima secara sah oleh PBB. Bendera Belanda resmi diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih sebagai tanda dimulainya kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB.
Permasalahan Papua
Pada tahun 2009 tim peneliti LIPI meluncurkan buku Papua Road Map Negotiating the Past Improving the Present and Securing the Future .Â