Sebelum saya telepon kantor, ada dua hal yang terlintas dalam benak saya. Pertama, kalau mobil ini ditilang terus harus sidang, betapa repotnya kami harus bolak-balik, karena kami bukan warga Sijunjung. Kedua, kalau kami selesaikan di tempat dengan cara membayar, jujur saya bersu’udzon, “Apa iya duit itu masuk kas Negara, atau malah dimakan oknum polisi tersebut?” Terus tidakkah perbuatan saya itu dikategorikan sebagai tindakan menyuap petugas yang berarti melanggar hukum secara Negara, dan berdosa secara agama. Hadeuwww… jadi riweh kieu nya urusannya.
Dalam hati kecil saya, sebagai warga negara yang baik saya harus ikut prosedur dan tak boleh menyuap petugas, jadi pilihan ditilang dan ikut sidang saya kira pilihan yang bijak. Kata orang bijak, “Negara ini hancur bukan karena orang jahat yang makin banyak, tapi karena orang baiknya tidak mau jadi orang baik.”
Hayooo… mau pilih mana? Jadi orang jahat ato orang baik?
Jadi orang baik la yah, “Biar tenang di dunia senang di surga.”
Kedengarannya sok kalinya abang ini ya. Bukannya sok, tapi memang harus begitu kalo negeri ini ingin maju. Berbuat baiklah, mulai dari diri sendiri, walau hanya dimulai dari hal-hal kecil. Jangan coba-coba melakukan hal-hal jahat
Kalau sempat duit tilang itu dimakan oknum Polisi terus terang saya nggak ikhlas, tapi duit tilang itu masuk kas Negara, kan bisa jadi tambahan pemasukan APBN untuk membangun negeri ini. TOP kan negeri ini. Ciee… yang mau membangun negeri. Harus gitu dong.
Tapi kalau prosedurnya ribet?
Mmm… Barangkali itulah yang mendorong banyak orang untuk melakukan “jalan pintas”, walaupun itu adalah hal illegal. Gara-gara prosedur, gara-gara sistem. Aduuuh… kasihan negeri ini dibuatnya.
Sama dengan aku, orang kantor yang aku telepon pun berpikir sama, kalau duitnya keluar nggak jelas ya sudah tilang dan sidang saja. “Tapi tolong tanya mereka adakah nomor rekening atau cara pembayaran di kantor pos, sebuah sistem yang katanya sudah dibangun POLRI agar setiap denda/tilang bisa bayar pada sistem tersebut, kemudian tanda terimanya dibawa bawa ke POLSEK terdekat untuk mengambil SIM/STNK yang ditahan Polisi.” Demikian pesan orang kantor.
Setelah nelepon orang kantor, aku kembali menghampiri Pak Polisi. “Oke Pak tilang saja, biar nanti kami sidang di pengadilan.”
Pak Polisi pun mulai mengisi formulir surat tilang, tapi ia polisi yang berbeda dengan polisi yang memeriksa pertama. Tapi kalau aku perhatikan dengan penilaian yang mungkin subjektif, Pak Polisi tersebut sepertinya "kurang mahir" dalam mengisi surat tilang. Beberapa kali ia bertanya kepada teman di sebelahnya yang masih sibuk memeriksa yang lain, dan menerima “setoran” dari “korban tilang”, tentang data mana di STNK yang harus ditulis di surat tilang.