Hari itu, “gara-gara BH ketutup, kami kena tilang”. Kedengarannya agak ‘geli’. Lalu akan semakin ‘geli’ rasanya, ketika harus bersidang “gara-gara BH yang tertutup”.
[caption caption="Pelat nomor dengan huruf H yang sebagian tertutup"][/caption]Begini ceritanya:
Gara-gara BH tertutup sebagian, mobil yang kami kendarai ditilang Polisi. Kejadian tersebut berlangsung pada kamis (24/3) di Jalan Muara Takung Kabupaten Sijunjung – Sumatera Barat.
Hari itu seperti biasa kalau ada kegiatan lapangan yang butuh mobilitasi tinggi dan orang banyak, kami boleh request mobil kantor untuk operasional lapangan, driver pun kantor yang nyiapin. Kantor kami adalah sebuah lembaga nonpemerintah yang bergerak di bidang konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Tapi karena driver kantor lagi pada sibuk, jadilah kami pake driver rental langganan kami, mobilnya tetap pake mobil operasional kantor Jenis Mitsubishi L300. Aku memang butuh mobil yang agak gede, untuk mobilisasi peserta studi banding Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dari Sijunjungan ke Pariaman, sekaligus mobilisasi sehari-hari pas acara.
Aku, Ari, dan Faisal alias Bang Aceh (driver) jam Sembilan pagi berangkat dari Jambi, sekitar jam empat sore memasuki Kabupaten Sijunjung, dan tepat di Jalan Muara Takung ada razia yang dilakukan polisi. Kami sih tenang saja. Driver punya SIM, STNK ada, buku KIR juga ada, sabuk pengaman dipake, jadi semuanya sudah lengkap kap deh. Kemudian sekitar seminggu sebelumnya, saat ada razia di tempat yang sama, dengan polisi yang sama, mobil dan driver yang kami pake juga sama. Setelah polisi memeriksa SIM, STNK, dan buku KIR, kami dipersilakan melanjutkan perjalanan.
Eh… sorry, nggak langsung dipersilakan melanjutkan perjalanan ding. Tapi ditanya dulu, “Berapa pelat nomor mobil kamu?” dengan nada seperti orang menginterogasi. Kemudian ia meminta surat kelengkapan kendaraan, setelah diperiksa SIM dan STNK dikembalikan, tapi buku KIR-nya diserahkan ke polisi lain yang sepertinya bertugas untuk memeriksa lebih detail, driver-nya disuruh turun dimintai keterangan.
Setelah dimintai sedikit keterangan, Bang Aceh kembali ke mobil lalu kami pun melanjutkan perjalanan. “Masak dibilangnya KIR kita abis 2015, saya suruh buka lembar berikutnya jelas kok abisnya Juni 2016. Baru polisi itu balikin buku KIR,” kata Bang Aceh menceritakan tentang pemeriksaan oleh polisi.
Nah, hari itu, di tempat sama, dengan orang-orang yang juga sama, kejadiannya hampir sama. Setelah Bang Aceh turun dan dimintai keterangan, dia balik ke mobil tapi nggak langsung naik.
Dengan kepala nongol di jendela dia berkata, “Bang kayaknya kita ditilang.”
“Lah, salahnya apa?”
“BH mobil kita tertutup katanya, Bang.”
“Lah, dari kemarin juga seperti itu nggak apa-apa, nggak bisa kamu jelasin ke mereka?”
“Dak bisa, Bang. Katanya mau sidang atau tilang di tempat. Sebaiknya Abang turun dulu biar tahu penjelasan dari mereka.”
Awalnya aku malas berurusan karena aku pikir semua baik-baik saja. Driver pun bisa menjelaskan semuanya, dan semua harusnya bisa selesai dengan mudah oleh mereka karena semua baik-baik saja. Tapi karena aku user, dan mobil ini pun adalah milik kantorku, akhirnya aku turun juga untuk minta penjelasan.
Sebelum minta penjelasan, aku sempat periksa BH yang katanya tertutup tadi. Mobil dengan Nopol BH 1404 HF itu pelat nomor belakang oke, pelat nomor bagian depan pun oke, hanya saja pada huruf H-nya tertutup sebagian oleh pelat segel KIR yang juga menempel di situ.
Dalam keterangannya polisi menjelaskan pasal yang kami langgar, yaitu pasal 280 jo 68 (1) UU No. 22 Tahun 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di buku pasal yang diperlihatkan polisi tertulis kira-kira bunyinya seperti ini, “Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.”
Lalu saya bilang, pelat nomornya kan ada, lengkap dan standar buatan POLRI.
“Kalau mau penjelasannya, silakan datang ke pengadilan,” sahut polisi dengan nada suara yang tegas.
“Tapi kan ketutupnya dikit, Pak, tidak seluruh BH, tapi H-nya saja. Itu pun cuma pelat nomor bagian depan yang belakang tidak ada yang ketutup. Kami bisa membuka dan memindahkann pelat segel KIR itu sekarang,” kali ini Bang Aceh yang protes.
“Tidak bisa seperti itu, ini razia. Kami tidak tahu pelat nomor kamu apa, BH, BA, atau BG, kalau kamu nabrak orang terus lari gimana? Kami nggak bisa melacaknya,” kali ini nada suara Pak Polisi makin tinggi.
“Jadi gimana? Mau selesaikan di sini atau di pengadilan?” lanjut Pak Polisi.
“Kalau di sini gimana prosesnya? Kalau di pengadilan gimana?”
“Kalau di pengadilan sidang tanggal 7 di Pengadilan Muara Sijunjung, kalau di sini bayar 150 ribu seperti ini kayak yang lain.” polisi tersebut memperlihatkan buku tilang warna merah dengan beberapa pecahan uang 50 ribuan menempel di sela-selanya. Sementara beberapa orang lainnya yang terlihat sedang diperiksa kelengkapannya kendaraannya oleh petugas yang lain, terlihat memberikan sejumlah uang dan setelah itu sepertinya urusan beres dan mereka pun pergi.
“Kalau ditilang apa yang ditahan?”
“STNK.”
“Nggak SIM, Pak?”
“Kalau driver-nya yang melanggar seperti nggak pake sabuk SIM yang tilang, kalau ini mobilnya yang nggak lengkap jadi STNK.” Nada suaranya makin tinggi.
Penjelasannya sih masuk akal, tapi nada suaranya makin gak nyaman di telinga. Beda sama polisi acara-acara TV, yang saat memberi penjelasan sabar, tenang, kesannya mengayomi.
“Kalau tilang di tempat, uang yang kami berikan itu ada tanda terimanya nggak?”
“Nggak ada.”
“Tapi tanda terima itu prosedur administrasi standar loh. Apalagi kami ini mobil kantor, jadi semua uang yang dikeluarkan harus ada bukti tanda terimanya.”
“Kamu pikir kami jualan, pake tanda terima segala.” Nada suaranya tidak juga menurun.
“Okelah kalo begitu, saya telepon orang kantor dulu ya, Pak, gimana baiknya. Karena mobilnya mobil kantor, yang masang segel nutupin BH pun driver kantor, meskinya mereka yang tanggung jawab. Lagian kan saya kan saya hanyalah anak buah, jadi saya harus lapor dulu.” Saya pun berjalan agak menjauh dari Pak Polisi untuk menelepon orang kantor yang bertanggung jawab ngurusin hal ini.
Sebelum saya telepon kantor, ada dua hal yang terlintas dalam benak saya. Pertama, kalau mobil ini ditilang terus harus sidang, betapa repotnya kami harus bolak-balik, karena kami bukan warga Sijunjung. Kedua, kalau kami selesaikan di tempat dengan cara membayar, jujur saya bersu’udzon, “Apa iya duit itu masuk kas Negara, atau malah dimakan oknum polisi tersebut?” Terus tidakkah perbuatan saya itu dikategorikan sebagai tindakan menyuap petugas yang berarti melanggar hukum secara Negara, dan berdosa secara agama. Hadeuwww… jadi riweh kieu nya urusannya.
Dalam hati kecil saya, sebagai warga negara yang baik saya harus ikut prosedur dan tak boleh menyuap petugas, jadi pilihan ditilang dan ikut sidang saya kira pilihan yang bijak. Kata orang bijak, “Negara ini hancur bukan karena orang jahat yang makin banyak, tapi karena orang baiknya tidak mau jadi orang baik.”
Hayooo… mau pilih mana? Jadi orang jahat ato orang baik?
Jadi orang baik la yah, “Biar tenang di dunia senang di surga.”
Kedengarannya sok kalinya abang ini ya. Bukannya sok, tapi memang harus begitu kalo negeri ini ingin maju. Berbuat baiklah, mulai dari diri sendiri, walau hanya dimulai dari hal-hal kecil. Jangan coba-coba melakukan hal-hal jahat
Kalau sempat duit tilang itu dimakan oknum Polisi terus terang saya nggak ikhlas, tapi duit tilang itu masuk kas Negara, kan bisa jadi tambahan pemasukan APBN untuk membangun negeri ini. TOP kan negeri ini. Ciee… yang mau membangun negeri. Harus gitu dong.
Tapi kalau prosedurnya ribet?
Mmm… Barangkali itulah yang mendorong banyak orang untuk melakukan “jalan pintas”, walaupun itu adalah hal illegal. Gara-gara prosedur, gara-gara sistem. Aduuuh… kasihan negeri ini dibuatnya.
Sama dengan aku, orang kantor yang aku telepon pun berpikir sama, kalau duitnya keluar nggak jelas ya sudah tilang dan sidang saja. “Tapi tolong tanya mereka adakah nomor rekening atau cara pembayaran di kantor pos, sebuah sistem yang katanya sudah dibangun POLRI agar setiap denda/tilang bisa bayar pada sistem tersebut, kemudian tanda terimanya dibawa bawa ke POLSEK terdekat untuk mengambil SIM/STNK yang ditahan Polisi.” Demikian pesan orang kantor.
Setelah nelepon orang kantor, aku kembali menghampiri Pak Polisi. “Oke Pak tilang saja, biar nanti kami sidang di pengadilan.”
Pak Polisi pun mulai mengisi formulir surat tilang, tapi ia polisi yang berbeda dengan polisi yang memeriksa pertama. Tapi kalau aku perhatikan dengan penilaian yang mungkin subjektif, Pak Polisi tersebut sepertinya "kurang mahir" dalam mengisi surat tilang. Beberapa kali ia bertanya kepada teman di sebelahnya yang masih sibuk memeriksa yang lain, dan menerima “setoran” dari “korban tilang”, tentang data mana di STNK yang harus ditulis di surat tilang.
Aku jadi mikir, jangan-jangan jarang banget orang yang minta ditilang kayak kami. Mungkin kebanyakan kayak yang di sebelah, kena tilang, bayar di tempat, urusan selesai. Jujur, aku pun pernah ‘gasih duit’ ke polisi gara-gara naek motor nggak pake helm. Terus Polisinya ngomong, “Jadi mau bagaimana?” Aku keluarin dompet lalu aku bilang, “Ini pak duitku tinggal 30 ribu, tolong sisakan 10 ribu untuk minyak motor saya.” Setelah itu selesailah urusan saya. Tapi kali ini tidak…
Selagi Pak Polisi ngisi surat tilang aku tanya, “Ada nggak Pak nomor rekening atau kantor pos yang bisa untuk kami membayar denda, kemudian bukti pembayarannya kami gunakan untuk ngambil STNK?”
“Kami belum punya kerja sama dengan sistem seperti itu?” jawabnya.
Terus iseng-iseng aku tanya lagi, “Boleh nggak kami foto, Pak?”
“Kenapa? Kamu wartawan ya?” ujarnya dengan nada tinggi.
“Bukan, Pak,” jawabku. Aku lupa saat ini semua orang bisa jadi wartawan alias citizen jourbalist, termasuk aku yang gabung jadi kompasianer. Tapi sebenarnya niat aku difoto itu mau selfie sama Pak Polisi, trus upload di FB dengan status, “Horeee… hari ini aku ditilang, dan aku akan bayar denda untuk menambah kas Negara”.
Saat Pak Polisi masih sibuk ngisi surat tilang, polisi yang lain di belakangnya berteriak, “Cepat-cepat, kenapa lama sekali, di belakang masih antri…”
“Mmm… jangan-jangan gara-gara aku minta penjelasan, trus harus ngisi surat tilang yang memakan waktu tak kurang setengah jam. Kerjaan polisi "nangkepin" pelanggar yang lain "terhambat". Trus berkurang deh pemasukan bayar di tempat. Kasian juga ya...,” pikirku.
Setelah surat tilang selesai, kami pun melanjutkan. Tapi ada beberapa hal yang masih mengganjal di benakku. Pertama, segel KIR yang nutupin BH itu sudah dua, artinya udah hampir setahun nempel dan setiap ada razia gak ada masalah. Kalau hari ini kemudian jadi masalah, HALLOOOO….! Ke mana saja kalian selama ini. Bahkan dengan orang yang sama lagi. Capeeek deh….
Kedua, apakah sistem pembayar denda tilang secara online yang sering kami baca di media itu sudah ada? Kalau memang ada tolong sosialisasikan dengan baik. Kalau memang belum tolong dibangun. Kalau sudah ada tapi polisi di lapangan bilang belum, tolong ditatar lagi oknum polisi tersebut.
Ketiga, apakah kalo kita ditilang bisa bayar di tempat? Trus kalo ada, apakah ia nggak pake tanda terima? Kalau memang ada sebaiknya bayar tilang di tempat itu dihapuskan, karena hal ini sangat rawan dengan penyelewengan. Buat sistem yang memungkinkan pelanggar bisa membayar denda langsung ke kas Negara, dan barang bukti tilang (STNK atau SIM) bisa diambil di Polsek terdekat.
Tulisan ini tidak bermaksud ‘menyerang’ polisi. Atau sebuah pembelaan karena tidak terima ditilang, penjelasan polisi yang menilang kami di lapangan sangat bisa kami terima, pelat BH mobil kami yang tertutup memang bisa mengelabui orang lain. Ini mungkin hanyalah sebuah unek-unek, dari sangat banyak unek-unek masyarakat atas kinerja polisi yang seringkali tampak kurang professional, serta sistem di Negeri ini yang masih buruk.
Percayalah. Saya pun hidup di lingkaran keluarga polisi. Bapak mertua saya polisi, kakak ipar saya Pelatih Polisi. Orang kampung istri saya Jendral Polisi yang terkenal, sekarang Kapolda Banten, yang pas diangkat jadi Datuak di Kampuang, Ibu mertua saya yang mengurusi Kateringnya. Hahaha… yang terakhir ini saya rasa lucu, bawa-bawa orang sekampung hehe…
Maksud saya begini, sesaat setelah ditilang, Bang Aceh yang asal Aceh ngomong ke Saya. “Katanya Abang punya kakak Polisi yang pernah tugas di Aceh, kenapa tadi nggak minta tolong dia supaya nggak kena tilang?”
Sontak sekarang saya yang agak "naik tensi" lalu saya bilang sama Bang Aceh, “Apa urusan kita dengan dia? Ini urusan kita dengan polisi di jalan tadi. Urusanku dengan abangku, ya urusan kakak-adik, urusan keluarga. Kalau urusan kayak gini lu, lu bawa-bawa keluargamu itulah yang disebut KKN yang sudah merusak sistem dan tatanan di negeri ini.”
“Sok kalinya abang ini,” ujar Bang Aceh lirih.
Oh ya, satu lagi. Beberapa saat sebelum aku selesaikan tulisan ini, aku sempat telepon Fadli, driver kantor yang biasanya ngurusin mobil. Kata dia, kenapa segel KIR dipasang nutupin BH karena posisi di situlah kedudukannya yang paling pas dan aman. Kalau dipasang di tempat lain, takutnya nggak pas dan malah lepas. Kalau lepas, terus hilang, jadi masalah juga bagi polisi.
Oh ya, satu lagi kompasianer, di beberapa daerah orang menyebut istilah pelat nomor kendaraan dengan kode setempat. Di Sumatera Selatan misalnya, menyebut pelat nomor itu dengan sebutan BG, karena kodenya memang BG. Di Jambi orang menyebutnya BH. Jadi misalnya, ada mobil dari Padang atau Jakarta, orang Palembang bisa bilang mobil tersebut BG-nya BA, atau BG-nya B. Sama kayak orang Padang menyebut motor dengan istilah Honda, jadi dia bisa bilang Honda Yamaha, Honda Suzuki, Honda Kawasaki, dan honda-honda lainnya.
Begitulah ceritanya.
Hari itu, “gara-gara BH ketutup, kami kena tilang”, kedengarannya agak ‘geli’. Lalu akan semakin ‘geli’ rasanya, ketika harus bersidang “gara-gara BH yang tertutup”.
Tapi demikianlah di Negeri ini. Merdeka…! Indonesia..! Raya…!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H