“Lah, dari kemarin juga seperti itu nggak apa-apa, nggak bisa kamu jelasin ke mereka?”
“Dak bisa, Bang. Katanya mau sidang atau tilang di tempat. Sebaiknya Abang turun dulu biar tahu penjelasan dari mereka.”
Awalnya aku malas berurusan karena aku pikir semua baik-baik saja. Driver pun bisa menjelaskan semuanya, dan semua harusnya bisa selesai dengan mudah oleh mereka karena semua baik-baik saja. Tapi karena aku user, dan mobil ini pun adalah milik kantorku, akhirnya aku turun juga untuk minta penjelasan.
Sebelum minta penjelasan, aku sempat periksa BH yang katanya tertutup tadi. Mobil dengan Nopol BH 1404 HF itu pelat nomor belakang oke, pelat nomor bagian depan pun oke, hanya saja pada huruf H-nya tertutup sebagian oleh pelat segel KIR yang juga menempel di situ.
Dalam keterangannya polisi menjelaskan pasal yang kami langgar, yaitu pasal 280 jo 68 (1) UU No. 22 Tahun 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di buku pasal yang diperlihatkan polisi tertulis kira-kira bunyinya seperti ini, “Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor.”
Lalu saya bilang, pelat nomornya kan ada, lengkap dan standar buatan POLRI.
“Kalau mau penjelasannya, silakan datang ke pengadilan,” sahut polisi dengan nada suara yang tegas.
“Tapi kan ketutupnya dikit, Pak, tidak seluruh BH, tapi H-nya saja. Itu pun cuma pelat nomor bagian depan yang belakang tidak ada yang ketutup. Kami bisa membuka dan memindahkann pelat segel KIR itu sekarang,” kali ini Bang Aceh yang protes.
“Tidak bisa seperti itu, ini razia. Kami tidak tahu pelat nomor kamu apa, BH, BA, atau BG, kalau kamu nabrak orang terus lari gimana? Kami nggak bisa melacaknya,” kali ini nada suara Pak Polisi makin tinggi.
“Jadi gimana? Mau selesaikan di sini atau di pengadilan?” lanjut Pak Polisi.
“Kalau di sini gimana prosesnya? Kalau di pengadilan gimana?”