Ideologi (Adicita) berasal dari bahasa Prancis (idéologie) yaitu gabungan dari bahasa Yunani (idea) yang berarti ‘gagasan, pola’ dan (logos) yang berarti ‘studi tentang, ilmu yang mempelajari’, jadi Ideologi secara etimologis merupakan ilmu yang mempelajari gagasan (science of ideas). Sebutan ini diciptakan oleh Antoine Destutt de Tracy (1754-1836), seorang Intelektual Pencerahan Prancis (Siècle des Lumières), yang ketika di dalam penjara, membaca karangan-karangan filsuf-materialis Étienne Bonnot de Condillac dan filsuf-empiris John Locke. Jadi pembacaan de Tracy inilah yang menginspirasinya untuk membangun teori Ideologi (idéologie) sebagai ilmu yang menguraikan bagaimana pengetahuan manusia bermula (what is thinking?), yang kemudian berkembang dalam pembagian fakultas-fakultas berpikir (pencerapan, ingatan, putusan, kemauan).¹ Namun konsep Ideologi (idéologie) de Tracy dalam Elements of Ideology lebih bercorak epistemologis-psikologistik² dalam upayanya untuk mengeliminasi elemen metafisik dari kapasitas kognitif manusia.³
Tidak mudah mendefinisikan ideologi secara terminologis, karena pengertian ideologi berkembang sesuai dengan suasana historis penggagasnya. Pada perkembangannya, konsep idéologie yang dikembangkan de Tracy itu mendapatkan konotasi buruk (idéologues), setelah rezim Napoleon yang anti-demokrasi menyalahkan para-intelektual atas kegagalan invasi Kekaisaran Prancis (Empire Français) terhadap Kekaisaran Rusia (Rossiyskaya Imperiya) pada tahun 1812.⁴ Lima puluh tahun kemudian sekitar pertengahan abad ke-19, ketika Revolusi Industri mulai merata di seluruh Eropa, konotasi negatif dari Ideologi itu berlanjut di tangan Karl Marx, yaitu sebagai sebuah sistem gagasan dan representasi yang mendominasi pikiran seseorang atau sebuah kelompok sosial.⁵
Analisis Marx-Engels tentang konsep ideologi dalam German Ideology diarahkan pada kaum Hegelian Kiri [Die Freien: Ludwig Feuerbach (homo homini deus), Bruno Bauer (evangelienkritik), Max Stirner (der Einzige)] yang dikatakan masih memuliakan Ide (metafisik) daripada Materi (fisik) dalam upayanya untuk keluar dari kesadaran palsu Hegelianisme (Absolute Geist). Jadi Filsafat Marxisme mengkritik konsep ideologi yang bahkan semenjak de Tracy, melalui permainan kalimat-kalimatnya lebih menonjolkan aspek ideal-individual (private property: propriété, individualité, personnalité) daripada aspek material-sosial (communal property) dari ideologi.⁶ Sedangkan ideologi yang dibahas dalam The Communist Manifesto lebih merupakan ramalan Marx-Engels daripada analisis, terhadap kehancuran Kapitalisme (Liberalisme Borjuis) dan kebangkitan Komunisme (Sosialisme Proletariat). Di dalam The Communist Manifesto inilah Filsafat Ekonomi (Sosialisme Marxis) dalam Das Kapital menjadi ideologi politik (Komunisme) sebagai model standar bagi negara-negara sosialis.⁷
Pada perkembangannya di abad ke-20, seorang akademisi Sosialis-Wales yang banyak berkontribusi atas kritik Marxis terhadap kebudayaan dan kesenian (Raymond Williams), mengemukakan tiga buah teori tentang pengertian ideologi; Pertama, sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat-buat atau kesadaran palsu yang dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ketiga, proses umum produksi makna dan ide.⁸
Sampai disini telah diterangkan pengertian ideologi menurut selera Marxisme. Tidaklah fair jika pengertian ideologi hanya dikemukakan menurut salah satu pihak. Selain pengertian Ideologi yang berkembang dari asumsi-asumsi sosiologis-Marxis, Ideologi juga memiliki pengertian yang berkembang dari asumsi-asumsi sosiologis non-Marxis⁹.
Salah seorang Reaksioner (filsuf-sosiolog non-Marxis), Karl Mannheim mengembangkan teori Ideologi yang lebih kritis dari Marxisme dalam rangka Sosiologi Pengetahuan¹⁰ (hubungan antara masyarakat dengan pengetahuan). Pengertiannya tentang Ideologi (Konservatif) dibedakan dari pengertiannya tentang Utopia (Progresif). Menurutnya Ideologi merupakan ramalan tentang masa depan yang didasarkan pada sistem yang sekarang sedang berlaku, sementara Utopia merupakan ramalan tentang masa depan yang didasarkan pada sistem lain, yang pada saat ini tidak sedang berlangsung.
Lebih lanjut Karl Mannheim membedakan dua macam Ideologi yaitu Ideologi Total dan Ideologi Partikular. Ideologi Total merupakan ciri khas menyangkut struktur pikiran abad dan kelompok tertentu, dalam hal ini ideologi berhimpit dengan weltanschauung yang didukung oleh struktur kolektif masyarakat, misalnya sekelompok kelas sosial. Sedangkan Ideologi Partikular merupakan ideologi yang menghuni benak dan diterima secara psikologis oleh individu. Dengan demikian Karl Mannheim mengeliminasikan elemen negatif ideologi yang semenjak Karl Marx bahkan rezim Napoleon, dengan memisahkan pengertian Ideologi dari Utopia dan merinci konsepsi Ideologi lebih lanjut menjadi; Ideologi Total dan Ideologi Partikular.¹¹
Dari paparan di atas, tulisan ini akan membatasi pengertian Ideologi (Adicita) secara deskriptif sejauh tidak keluar dari pengertian para perintis dan sosiolog yang telah disebutkan, yaitu sebagai himpunan keyakinan berupa sistem pemikiran abstrak (sistem ide) yang memuat visi, misi, dan tujuan komprehensif yang berasal dari sensasi pengalaman kolektif atas problem-problem kehidupan manusia. Karena itu Ideologi tidak bisa terhindarkan dari upaya politik [Kapitalisme (swastanisasi sumber daya modal), Komunisme (kediktatoran proletariat), Fasisme (kediktatoran nasional), Nazisme (ras unggul Jerman), Zionisme (tanah yang dijanjikan-Yahudi)] untuk mewujudkan sistem kehidupan ideal dalam tatanan negara (utopia). Jadi Adicita (Ideologi) merupakan seperangkat pikiran (abstraksi) yang memicu terjadinya gerakan sosial dalam mencapai tujuan-tujuan politis (yang dikehendaki ideal) sehingga individu yang berpartisipasi/terlibat dalam ideologi disebut telah terjangkiti kesadaran palsu.
Secara etimologi kata “Filsafat” diserap dari dua bahasa, yaitu Yunani (philo-sophia: cinta-bijaksana) dan Arab (falsafah: hikmah-kearifan) sehingga membentuk kata (Phil-Safah) yang dibakukan (EYD) menjadi “Filsafat”. Meskipun tiada bukti mengenai asal-usul etimologis ini, namun pengaruh dua kultur-filsafat ini (barat-timur) tak bisa dihindarkan dalam pembentukan kata “Fil-safat”.¹² Secara terminologi, tiada kesepakatan pada para filsuf mengenai definisi dari Filsafat, karena itu tulisan ini akan menggunakan kata Filsafat berdasarkan pengertian sebagai studi atau media pembelajaran pikiran (school of thought) yang mendasari gagasan; baik asal-usul gerakan Adicita (Ideologi) seperti Liberalisme (Capitalism), Marxisme (Communism), Nietzschean (Fascism)¹³, asal-usul mazhab atau denominasi (firqah) dalam Agama seperti Darśana (Dharma Philosophy), Scholasticus (Christianity Philosophy), Madrasah/Hikmah (Islamic Philosophy), asal-usul perkembangan tradisi intelektual seperti Zhūzǐ Bǎijiā (Zhōngguó Philosophy), Akademía (Platonic Philosophy), Lykeion (Peripatetic Philosophy), Stoá Poikílē (Stoic Philosophy), maupun asal-usul emansipasi kultural seperti Renaissance (European Rebirth), Siècle des Lumières (French Enlightenment), Aufklärung (German Enlightenment), Hashkālāh (Jewish Enlightenment). Jadi berdasarkan pengertian ini, Filsafat merupakan konstituen (elemen terdasar) dari terbentuknya pemahaman Ideologis, denominasi dalam Agama, keberagaman Intelektual, dan emansipasi Kultural dalam peradaban.
Dengan demikian tidak seperti yang dikatakan Karl Marx bahwa pertentangan kelas ekonomi (economic determinism) antara pengusaha-pekerja (Borjuis-Proletar) merupakan basis bagi sistem ide (Ideologi) Kapitalisme, dan tidak pula seperti yang dikatakan Max Weber bahwa reformasi agama (protestant ethic)¹⁴ sebagai salah satu benih bagi kemunculan spirit (Ideologi) Kapitalisme, tetapi Filsafat-lah (Liberalism Philosophy) yang merupakan basis bagi Ideologi Kapitalisme sebagaimana Marxism Philosophy merupakan basis bagi Ideologi Komunisme. Keduanya merupakan dampak lanjutan (produk) dari gerakan Humanisme yang telah dirintis sejak zaman Pembaharuan di Eropa (Renaissance) pada abad ke-16. Jadi Filsafat merupakan suatu sekolah (pembelajaran) yang mencakup keseluruhan; Budaya, Agama, Ilmu, Seni, Politik, dan Hukum. Karena Filsafat merupakan ide sederhana terpilah-pilah yang berbeda dari Ideologi (ide kompleks tersusun). Maka dari itu dalam tulisan ini, Ideologi merupakan salah satu produk dari Filsafat (school of thought).
Pancasila pada mulanya dirumuskan dalam sidang BPUPKI (Dokuritsu Junbi Chōsa-kai) oleh para national founders yang nanti pada perkembangannya disahkan dalam sidang PPKI (Dokuritsu Junbi Iinkai) berupa poin intisari dari Pembukaan UUD 1945 Alinea IV. Pada Pidato Soekarno 1 Juni 1945, Pancasila baru mendapatkan status ontologisnya sebagai Philosophische Grondslag (abstrak/pikiran/ma‘nawi: falsafah dasar yang berkembang) sebagai Weltanschauung (pandangan hidup kebangsaan).¹⁵
Upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila secara signifikan pertama kali dilakukan oleh pemerintahan Orde Lama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dalam bentuk Manipol-USDEK¹⁶ sebagai asas operasionalnya melalui proyek Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) yang berbasis Gotong-Royong.¹⁷ Akan tetapi masing-masing dari ketiga ideologi itu hanya mewakili partai-partai yang tidak menjadi oposisi politik dari pemerintahan Orde Lama, salah-tiga di antaranya adalah yang memperoleh suara teratas dalam Pemilu Legislatif 1955 yakni; Partai Nasional Indonesia (PNI: 22,32%), Nahdlatul Ulama (NU: 18,41%), dan Partai Komunis Indonesia (PKI: 16,47%). Meskipun klarifikasi mengenai gagasan Nasakom telah diusahakan oleh pemerintahan Orde Lama¹⁸, namun hal ini tidak mengubah sikap politik partai oposisi, salah-dua di antaranya adalah yang berujung dibubarkan melalui Keputusan Presiden No. 200 dan No. 201 tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960¹⁹; Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi: 20,59%) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI: 1,84%).²⁰ Demikianlah segala yang diusahakan pemerintahan Orde Lama terhadap Pancasila dalam rangka stabilisasi ruang politik yang telah kacau selama Demokrasi Parlementer (1950-1959).
Sementara upaya pemerintahan Orde Baru dalam membersihkan unsur-unsur Komunisme dari kehidupan perpolitikan Indonesia telah menjadikan Pancasila sebagai Asas Tunggal²¹, bahwa semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asas selain Pancasila dan semua kegiatan pemerintahan Soeharto selalu dikaitkan dengan Pancasila. Mulai dikenal sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya dalam rangka Trilogi Pembangunan²². Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, wahana politik disederhanakan menjadi Golongan Karya (bukan-parpol) yang berasal dari 97 organisasi fungsional binaan Angkatan Darat (Sekretariat Bersama Golongan Karya)²³ untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), dan wahana politik lainnya berupa partai-partai politik yang masing-masing bergabung (fusion) menjadi dua; Partai Persatuan Pembangunan [PPP: Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)] dan Partai Demokrasi Indonesia [PDI: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Murba, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)].
Pada zaman yang disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila (1966-1998) itu, Golongan Karya (bukan-parpol) menjadi satu-satunya wahana politik yang dimenangkan badan legislatif melalui pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup menggantikan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Demokrasi Parlementer (1950-1959) yang keduanya tidak berhasil menjamin stabilitas politik nasional. Meskipun segala usaha yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui wahana politik Golongan Karya adalah dalam rangka stabilitas dan kemakmuran [simbolisasi pohon beringin (persatuan), padi (pangan), dan kapas (sandang)], namun penyeragaman yang menafikan kebhinekaan dan berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di dalamnya tidak bisa dilupakan.
Lebih lanjut melalui salah satu program Kabinet Pembangunan III-IV (1978-1983 dan 1983-1988) di bidang pendidikan yaitu program Penataran P4 (Ekaprasetia Pancakarsa: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)²⁴ yang diformalisasi dalam Tap MPR Nomor II/MPR/1978, Pancasila lebih menitikberatkan pada pengamalan (praktis) daripada pemikiran (teoritis). Pada akhirnya Pancasila hanya menjadi label (nama) yang dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) sehingga tidak boleh diperdebatkan. Di tangan pemerintahan Orde Baru inilah Pancasila mulai diperlakukan secara Ideologis sehingga lebih bercorak politis (komunophobia, islamophobia, sinophobia) daripada bercorak filosofis (kritis). Berbeda dari pemerintahan Orde Lama yang meskipun gagal, namun niatnya dalam mencari titik-temu secara filosofis antara Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) dalam rangka kegotongroyongan tak bisa diabaikan.²⁵
Pada perkembangan selanjutnya, para ahli hukum tata negara yang menganut teori Hans Kelsen (Grundnorm)²⁶ dan Hans Nawiasky (Staatsfundamentalnorm)²⁷ memposisikan Pancasila dalam tataran perundang-undangan tertinggi yang tidak dapat diubah secara konstitusional (konkret/tulisan/lafzhi: lima poin pokok dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang tetap). Berdasarkan hal ini maka tidak ada dari para national founders maupun para ahli hukum tata negara yang menempatkan Pancasila dalam kerja Ideologi Ekonomi-Politik selain pemerintahan Orde Baru (Pancasila sebagai Asas Tunggal).
Pembagian macam-macam Ideologi²⁸ menjadi Terbuka (Liberalisme, Pluralisme, Humanisme, Kosmopolitanisme, Feminisme) dan Tertutup (Fasisme, Komunisme, Religionisme) telah menyesatkan gagasan Pancasila sebagai Ideologi negara. Pasalnya Liberalisme (Klasik & Neo: Pasar Bebas) itu bagian dari kajian Filsafat Ekonomi yang dibedakan dari Sosialisme (Utopis & Marxis: Kepemilikan Publik), keduanya bukan Ideologi. Pluralisme (Keberagaman) itu bagian dari kajian Ontologi (cabang Filsafat) yang dibedakan dari Monisme (Ketunggalan) dan Dualisme (Kegandaan), ketiganya bukan Ideologi. Humanisme (Antroposentrisme: Manusia-pusat) juga bagian dari kajian Ontologi (cabang Filsafat) yang dibedakan dari Teosentrisme (Tuhan-pusat) dan Kosmosentrisme (Alam-pusat), mereka bukan pula ideologi. Kosmopolitanisme (Kewargaduniaan) merupakan olah-konsep dalam filsafat sebagai perluasan dari konsep Metropolitanisme (Kewargakotaan), dan Feminisme bisa berfungsi secara ideologis (womanism)²⁹ namun konsepsinya bagian dari kajian Filosofis Postmodern tentang Perempuan dalam menantang konsep kesetaraan hak (equality of rights) sebagai produk modernisme (rationality) yang dicurigai masih mengandung bias-bias phallo-virtue (kebajikan laki-laki), maka keduanya bukan ideologi. Berdasarkan hal ini pembagian Ideologi menjadi Terbuka dan Tertutup secara konseptual tidaklah sah, karena yang disebut Ideologi Terbuka bukankah ideologi melainkan aneka aliran-cabang Filsafat yang dapat direfleksikan ke dalam kelima sila-sila sebagai pemicu pikiran kebangsaan.
Selain itu Fasisme, Komunisme, dan Kapitalisme sudah jelas merupakan Ideologi yang mengambil sebagian ide saja dari Filsafat Nietzschean (Übermensch)³⁰, Filsafat Marxisme (Historical Dialectical Materialism) dan Filsafat Liberalisme (Invisible Hand). Sementara Pancasila mengambil poin-poin filosofis yang berlainan dari berbagai macam sekolah filsafat (school of thought) sehingga Pancasila tidak bisa membentuk identitas tunggal-vertikal seperti ideologi. Bila dipaksakan mengambil bentuk ideologi maka barangkali nama yang cocok untuk Pancasila adalah “Silaisme”. Bahkan Soekarno dalam pidatonya, Pancasila (Lima-Dasar)³¹ itu sendiri bisa direduksi menjadi Trisila (Tiga-Dasar)³² atau Ekasila (Satu-Dasar)³³. Dengan demikian Pancasila membuka percakapan untuk mengoreksi terus-menerus perjalanan Demokrasi Indonesia dalam menghadapi tantangan dunia.
Jadi Ideologi (Adicita) pada dirinya bersifat tertutup bagi sistemnya dalam mencapai tujuan-tujuan politis melalui abstraksi-ideal atas sensasi pengalaman kolektif. Tidak ada kompromi secara teoritis, misalnya antara Ideologi Kapitalisme (Filsafat Liberalisme) yang membiarkan pasar dijalankan oleh kekuatan tersembunyi (invisible hand) melalui hukum permintaan-penawaran dalam mewujudkan pasar yang bebas dari intervensi pemerintah (laissez-faire), dengan Ideologi Komunisme (Filsafat Marxisme) yang berupaya menghapus kelas sosial melalui regulasi-pasar dalam mengutamakan kesejahteraan para pekerja (proletariat-dictatorship), karena masing-masing punya jalur-vertikal sendiri (metodologi yang mandiri). Sementara Pancasila mempertemukan kemungkinan teoritis dari ideologi-ideologi yang berlainan itu melalui pembedahan terhadap gagasan filosofis yang mendasarinya. Maka Pancasila bukanlah Ideologi yang memisahkan diri dan menjadi lawan dari baik secara politis (Kapitalisme, Komunisme, Fasisme, Nazisme, Zionisme) maupun secara filsafat ekonomi (Liberalisme dan Sosialisme). Justru Pancasila berkemungkinan mengambil fundamen filosofis (pikiran-pikiran) dari ideologi-ideologi yang bertentangan dengan sistem demokrasi itu sendiri.
Dengan demikian Pancasila merupakan Filsafat Kebangsaan yang dapat terus menyesuaikan diri dengan tantangan global tanpa perlu menjadi Ideologi Terbuka. Dari kata “Filsafat” itu sendiri secara etimologis dapat mengandung dua makna; Pancasila sebagai Filosofi (Philosophia) Kebangsaan, mengandung aspek teoritis (barang mentah) yang dapat dibongkar, diperdebatkan, didiskusikan secara rasional, dan Pancasila sebagai Falsafah Kebangsaan, mengandung aspek praktis (barang jadi) sebagai pedoman dalam menurunkan aturan perundangan-undangan. Pancasila sebagai fundamen filsafat (Abstrak: Philosophische Grondslag) yang berkembang (dinamis) dalam benak bangsa Indonesia sepanjang sejarah ini harus dibedakan dari Pancasila sebagai norma fundamental (Konkret: Staatsfundamentalnorm) yang tidak dapat diubah secara konstitusional (statis). Untuk mendalami hal ini lebih jauh maka Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang salah satunya membahas Filsafat Pancasila bukanlah termasuk bidang studi Ilmu Sosial melainkan termasuk bidang studi Humaniora. Demikianlah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai bidang studi akademik harus diajarkan oleh Sarjana Humaniora (Filsafat) bukan Sarjana Keilmuan Sosial.
Oleh karena itu baik sebagai Philosophische Grondslag (Filsafat/Filosofis) maupun sebagai Staatsfundamentalnorm (Norma/Yuridis), Pancasila tidak dapat direduksi dalam bentuk Ideologi. Karena ideologi yang terbukti secara historis (Kapitalisme, Komunisme, Nazisme, Zionisme) bertendensi oligarkis dan otoriter-sentralistik yang merupakan penyakit bagi demokrasi. Jika Pancasila dipaksakan mengambil bentuk Ideologi dalam mengejawantahkan nilai-nilainya, maka Pancasila telah membayangkan suasana politik-transaksional, kepatuhan-kolektif, monokulturalisme, antagonistik, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dalam Demokrasi.
Lebih lanjut Pancasila tidak bisa dipaksakan ke dalam Politik Poros Tengah demi stabilitas politik, karena itu akan melanggar sila-silanya sendiri. Sikap antagonistik yang memperlawankan Pancasila terhadap oposisi politik (Anti-Pancasila) merupakan bukti Pancasila telah menjadi ideologi negara (pemerintah) sehingga tidak ada ruang yang memungkinkan untuk mendiskusikannya, dan Pancasila yang tidak bisa didiskusikan adalah “Silaisme” yang tidak berbeda dari Fasisme dan Komunisme.
Bacaan Lanjutan
¹ Juan Christian Guerrero, Antoine Louis Claude Destutt de Tracy's Elements of Ideology, Volume 1: Ideology Strictly Defined and 'On Love' from Elements of Ideology, Volume 5: On Morals, THE AMERICAN UNIVERSITY OF PARIS CULTURAL TRANSLATION MASTER OF ARTS IN CULTURAL TRANSLATION (Paris, November 20 2011), p. 89.
² “Ideology is a part of Zoology, and it is especially in man that this part is important and deserves further development: even the eloquent interpreter of nature, Buffon, would have believed to not have completed his history of man, if he had not at least tried to describe man's faculty of thinking.” See Antoine Destutt de Tracy, Éléments d’idéologie: Idéologie proprement dite, Nabu Press, 2011, p. XIII. (Original work published in 1804)
³ Taylor (1796): ‘Tracy read a paper and proposed to call the philosophy of mind, ideology’. Taylor (1797): ‘... ideology, or the science of ideas, in order to distinguish it from the ancient metaphysics’. In this scientific sense, ideology was used in epistemology and linguistic theory until lC19. See Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of Culture and Society, rev. ed. (New York: Oxford University Press, 1985), p. 153-157.
⁴ “...After his return to Paris from the disaster in Russia in 1812, Napoleon blamed the idéologues for the catastrophe into which his own despotism had plunged the country: "It is to the doctrinaire of the idologues - to this diffuse metaphysics, which in a contrived manner seeks to find the primary causes and on this foundation would erect the legislation of peoples, instead of adapting the laws to a knowledge of the human heart and of the lessons of history - to which one must attribute all the misfortunes which have befallen our beautiful France.” See Raymond Williams, Keywords: A Vocabulary of Culture and Society, London: Fontana Press, 1983, p. 154. See also Jessica Riskin, Introduction: Evolution, the Science Napoleon Hated, Stanford University in https://arcade.stanford.edu/rofl/introduction-evolution-science-napoleon-hated.
⁵ Louis Althusser, Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara (Catatan-Catatan Investigasi), IndoPROGRESS, 2015, h. 39.
⁶ And then M. Destutt de Tracy undertakes to prove that propriété, individualité, personnalité are identical, that the “ego” [moi] also includes “mine” [mien], and he finds as a natural basis for private property that Having thus made private property and personality identical, Destutt de Tracy with a play on the words propriété and propre (One's own) like Stirner with his play on the words Mein (mine) and Meinung (view), Eigentum (property) and Eigenheit (peculiarity)... “These are extremely popular”, now already traditional objections to communism, and for that very reason “it is not surprising that Stirner” repeats them. See Karl Marx & Friedrich Engels, The German Ideology including Theses on Feuerbach and Introduction to the Critique of Political Economy, New York: Prometheus Books, 1998, p. 245-246.
⁷ Karl Marx & Friedrich Engels, The Communist Manifesto, London: Communist League, 1848.
⁸ Raymond Williams, Marxism and Literature, New York: Oxford University Press, 1977, p. 55.
⁹ Para Sosiolog non-Marxis berupaya untuk membalikkan paradigma Marx mengenai ekonomi sebagai basic structure bagi segala macam sistem ide (Ideologi: Filsafat, Budaya, Agama, Ilmu/Sains, Politik, Hukum) dengan menunjukkan sebaliknya bahwa beberapa struktur ekonomi bisa merupakan produk dari ideologi (misalnya, sebagian dari Etika Protestanisme yang menginspirasi kemunculan struktur Ekonomi Liberalisme).
“Weber was in part concerned to reverse Marx’s theory that all idea systems are products of economic structures, by demonstrating conversely that some economic structures are the product of idea systems (that Protestantism, for example, generated capitalism and not capitalism Protestantism).” See https://www.britannica.com/topic/ideology-society/The-sociology-of-knowledge
¹⁰ Tesis utama Sosiologi Pengetahuan, menurut Karl Mannheim, adalah bahwa ada cara berpikir yang tidak dapat dipahami secara memadai selama asal-usul sosialnya tidak jelas. Artinya, sebuah pemikiran hanya dapat dipahami dengan baik jika faktor-faktor sosial yang terletak di balik lahirnya pemikiran tersebut dipahami dengan baik. Lihat Karl Mannheim, Ideology and Utopia an Introduction to The Sociology of Knowledge, London: Routledge & Kegan Paul, 1954, p. 2.
¹¹ Reno Wikandaru & Shely Cathrin, IDEOLOGI SEBAGAI RAMALAN MASA DEPAN: HAKIKAT IDEOLOGI MENURUT KARL MANNHEIM, Jurnal Yaqzhan, Vol. 07 No. 02, Desember 2021 dapat diakses di https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/yaqhzan/article/download/9372/pdf_31&ved=2ahUKEwi5sIfUj5aDAxUuRmwGHRsrBOgQFnoECBAQAQ&usg=AOvVaw0RIcKf3IphVKrYLiixVI9f
¹² K. Bertens, Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2018, h. 30 & 49-53. Dalam halaman-halaman itu K. Bertens mendiskusikan asal-usul etimologis (bahasa Indonesia) dari Filsafat. Ia juga meragukan apakah Kearifan Timur (Darśana & Zhūzǐ Bǎijiā) bisa disebut sebagai filsafat, mengingat filsafat merupakan tradisi intelektual yang khas Yunani (memisahkan mitos dari logos). Sementara dari Kearifan Timur, tidak ada upaya yang khas untuk memisahkan mitos dari logos, bahkan seringkali mitos masih menjadi referensi bagi petuah-petuah kebajikan.
¹³ Bertrand Russel (1952) dan filsuf kritis Georg Lukács (1958) masih melihat pemikiran-pemikiran Nietzsche sebagai “pendasar irasionalisme modern”. Tuduhan Lukács bahwa Nietzsche adalah pemikir proto fasis yang menggagas pemikiran bercorak elitis, aristokratis, irasional tidak diikuti oleh Adorno dan Horkheimer. Fuad Hassan dalam bukunya Berkenalan Dengan Eksistensialisme, hlm. 47, lebih lugas mengatakan bahwa Nietzsche adalah inspirator Nazi: “Kalau kita telaah karya Hitler Mein Kampf, tidak mustahil orang menduga bahwa Hitler telah mendapat sebagian inspirasinya dari karya-karya Nietzsche. Bahkan, pada Benito Mussolini kita bisa menemukan kembali adanya kedekatan dengan Nietzsche. Fasisme sebagai suatu program aksi juga mengagungkan slogan cinta pada risiko tidak terlalu jauh dari slogan Nietzsche, hidup menatap bahaya (Amor Fati)”. Dan tanggal 26 Mei 1934, Mussolini sendiri di depan para wakil rakyat di Roma menjuluki dirinya sebagai “murid Nietzsche yang paling setia”. Dengan mengutip buku Zarathustra, Mussolini menyatakan keyakinannya bahwa “peranglah yang membentuk manusia”. Dan benar, bahwa sejak muda (saat ia berusia 20 tahun) Mussolini sudah menulis artikel tentang Nietzsche. Lihat A. Setyo Wibowo, GAYA FILSAFAT NIETZSCHE, Yogyakarta: Kanisius, 2017, h. 60-63.
¹⁴ Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Taylor & Francis e-Library, 2005.
¹⁵ Soekarno, Lahirnya Pancasila, Jogjakarta: Penerbit Guntur, Cet. II, 1949. Pidato Soekarno dalam Sidang BPUPKI 1 Juni 1945; “...Philosophische Grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”
¹⁶ Pada 17 Agustus 1959 Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato inilah yang disebut sebagai manifesto politik atau familiar disingkat menjadi Manipol. Pada pidato yang sering dirujuk sebagai tonggak berlakunya demokrasi terpimpin (17 Agustus 1959) tersebut Soekarno menguraikan ideologi demokrasi terpimpin dengan menyeru kembali pada semangat revolusi, keadilan sosial, dan pelengkapan lembaga-lembaga negara demi revolusi yang berkesinambungan. Sementara kata USDEK merupakan singkatan dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK). Manipol-USDEK kemudian menjadi doktrin ideologis yang mengarahkan orientasi politik dan pembangunan Indonesia ke arah yang berbeda dari masa demokrasi liberal. Lihat Helius Sjamsuddin, Kosoh Sastradinata, H. Said Hamid Hasan. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Kemerdekaan (1945-1966), Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, h. 71-73. Lihat juga M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, Jakarta: Serambi, 2005, h. 527.
¹⁷ “Dengan djalan jang djauh kurang sempurna, kita mentjoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri djadjahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan djalan jang djauh kurang sempurna kita menundjukkan teladan pemimpin-pemimpin dilain negeri. Tetapi kita jakin, bahwa kita dengan terang-benderang menundjukkan kemauan kita mendjadi satu. Kita jakin bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanja insjaf, bahwa persatuanlah jang membawa kita kearah ke-Besaran dan ke-Merdekaan. Dan kita jakin pula, bahwa, walaupun fikiran kita itu tidak mentjotjoki semua kemauan dari masing-masing fihak, ia menundjukkan bahwa Persatuan itu bisa tertjapai. Sekarang tinggal menetapkan sahadja organisasinja, bagaimana Persatuan itu bisa berdiri: tinggal mentjari organisatornja sahadja, jang mendjadi Mahatma Persatuan itu.” Lihat Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Djakarta: Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, Djilid 1, Tjet. III, 1964, h. 22.
Sukarno muda menilai ada tiga aliran politik yang menjadi pilar pergerakan nasional dalam kehidupan bangsa pada zaman kolonial Hindia Belanda kala itu. Pertama adalah kelompok nasionalis yang diwakili Indische Partij (IP), kedua golongan muslimin yang mewujud dalam Sarekat Islam (SI), dan ketiga Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan ideologi marxisme. Ketiga pilar ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan tiga faksi utama dalam politik Indonesia yaitu tentara, kelompok Islam (ulama-umat), dan komunis (buruh-tani). Lihat https://tirto.id/sejarah-nasakom-upaya-sukarno-menyatukan-tiga-kekuatan-politik-dnlt. Lihat juga https://www.kompas.com/stori/read/2021/09/28/100000479/nasakom-konsep-kesatuan-politik-ala-soekarno
Menurut penulis, bentuk pertama (prototype) dari Partai Komunis Indonesia (Musso-Alimin & Aidit-Lukman-Njoto) di zaman Pergerakan Nasional (1908–1945) adalah Sarekat Rakyat (Semaoen) yang harus dibedakan dari Indische Sociaal Democratische Vereeniging (Henk Sneevliet) sebagai organisasi komunis Belanda. Sarekat Rakyat (SI Merah Semarang) merupakan sayap-kiri dari Sarekat Islam (SI Putih Yogyakarta). Keduanya masih merupakan cabang-organisasi yang dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto (Central Sarekat Islam). Karena itu Sarekat Rakyat bukanlah Komunis-murni yang tidak beririsan sama sekali dengan perpolitikan Islam untuk kemerdekaan. Meskipun Sarekat Rakyat hanya menjadi alat bagi organisasi komunis Belanda (ISDV) dalam menyebarkan pengaruhnya (karena selain menjadi pimpinan dalam kepengurusan Sarekat Islam cabang Semarang, Semaoen juga menjabat sebagai Hoofdbestuur di kepengurusan ISDV), namun keotentikan Sarekat Rakyat itu sendiri dapat dipandang sebagai usaha (niat) untuk menjembatani ide-ide sosialis-marxis dengan ide-ide Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
¹⁸ “Djuga dibeberapa kalangan ada salah pengertian mengenai Nasakom. Dikatakan oleh mereka itu; bahwa Nasakom berarti diberikannja tempat-mutlak dalam segala hal kegiatan-politik hanja kepada tiga partai sadja... Dus Nasakom hanja berarti PNI, NU, dan PKI sadja! Itu Salah! Didalam Revolusi kita ini kita djangan main monopoli-monopolian. Revolusi kita ini Revolusi seluruh Rakjat, jang tua dan jang muda, jang laki dan jang perempuan, jang dipusat dan jang didaerah, jang militer dan jang preman. Jang nasionalis djangan monopoli-monopolian, jang masuk sesuatu partai agama djangan monopoli-monopolian, jang komunis djangan monopoli-monopolian, jang militer djangan monopoli-monopolian ! Semua golongan Rakjat harus mendukung Revolusi kita ini bersama, semua golongan Rakjat harus bersatu dan dipersatukan mendukung Revolusi kita ini bersama. Jang tidak harus dipersatukan, malahan harus digosok karbol hanjalah golongan-golongan jang anti-revolusioner dan kontra-revolusioner. ” Lihat Panitia Pembina Djiwa Revolusi, BAHAN-BAHAN POKOK INDOKTRINASI, Djakarta: Jajasan Prapantja, 1964, h. 403-404.
¹⁹ Selanjutnya tidak saja partai-partai politik yang diserang dan diancam Soekarno, Demokrasi Liberal pun menjadi sasaran kritik Soekarno, menurutnya Demokrasi Liberal yang dianut UUDS'50 adalah demokrasi barat yang liberalistis yang menyebabkan ketidakstabilan politik, sehingga tak mampu membentuk suatu pemerintahan yang kuat yang dibutuhkan rakyat Indonesia untuk membangun. Lihat Iin Suny Atmadja, Partai Oposisi Perspektif Konstitusi, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2020, h. 121.
²⁰ https://www.kpu.go.id/page/read/8/pemilu-1955
²¹ “Pancasila adalah kepribadian kita, pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, pandangan hidup yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat, menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan kita; oleh karena itu, Pancasila adalah satu-satunya pandangan yang dapat pula mempersatukan kita. Pancasila adalah perjanjian luhur seluruh rakyat Indonesia yang harus selalu kita junjung tinggi bersama dan kita bela selama-lamanya.” Lihat Centre For Strategic and International Studies, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, Jakarta: Sekretariat Negara R.I., Cet. II, 1976, h. 10. Lihat juga G. Dwipayana & Ramadhan Kartahadimaja, Otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989, h. 408-410.
²² Trilogi Pembangunan merupakan salah satu isi program kerja yang dibentuk oleh Kabinet Pembangunan III, yang bekerja pada periode 1978-1983. Trilogi Pembangunan itu terdiri dari:
1. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
3. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Ketiga hal tersebut kemudian mengerucut pada dua buah pola pembangunan, yaitu: Pola Dasar Pembangunan Nasional dan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang. Di mana kedua hal tersebut tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan sebuah landasan hukum terkait perencanaan pembangunan yang akan dilaksanakan oleh presiden Soeharto pada masa itu. Lihat Rizki Rahmawati, REPELITA: SEJARAH PEMBANGUNAN NASIONAL DI ERA ORDE BARU, ETNOHISTORI: Jurnal Ilmiah Kebudayaan dan Kesejarahan Vol. IX, No. 2, Tahun 2022 yang dapat diakses di https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://ejournal.unkhair.ac.id/index.php/etnohis/article/view/5654/3602&ved=2ahUKEwik9f2ylLGDAxVgQ2cHHYJiAmcQFnoECCoQAQ&usg=AOvVaw0Y5Qeu70zzJyH-Vc_s0QGk. Lihat juga Imam Subkhan, GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Jurnal DPR RI, 2014, dapat diakses di https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://jurnal.dpr.go.id/index.php/aspirasi/article/view/455/352&ved=2ahUKEwik9f2ylLGDAxVgQ2cHHYJiAmcQFnoECCsQAQ&usg=AOvVaw0IIwo49EmCUnzNLozg6t4A. Lihat juga https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/stori/read/2022/04/06/100000779/trilogi-pembangunan-tujuan-isi-dan-kontroversi
²³ Bahtiar Effendy dkk, Beringin Membangun: Sejarah Politik Partai Golkar, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2012, h. 19-50.
²⁴ Secara etimologis Ekaprasetia Pancakarsa berasal dari bahasa Sanskerta yaitu; eka (satu) prasetya (tekad) panca (lima) karsa (kehendak) yang disambung menjadi “satu tekad lima kehendak”. Secara terminologis Eka Prasetya Pancakarsa yang dijabarkan menjadi Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) merupakan janji atau tekad yang bulat untuk melaksanakan lima kehendak dalam kelima sila Pancasila sebagai penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh (Tap MPR No. II/MPR/1978 Pasal 4). Program ini dirancang oleh Roeslan Abdulgani yang sebelumnya pendukung aktif rezim Demokrasi Terpimpin (Soekarno).
Program ini dimaksudkan untuk pendidikan Pancasila, yang semula ditujukan bagi pegawai negeri. Tujuan yang hendak dicapai adalah agar mereka memperoleh pengetahuan tentang UUD 1945, ketetapan-ketetapan MPR tahun 1978, terutama tentang P4 dan GBHN sehingga mereka dapat menghayati dan mengamalkannya dengan lebih baik serta mampu menyebarluaskan di lingkungan masing-masing (Pasal 3 Instruksi Presiden No. 10 tahun 1978). Pada perkembangannya Penataran P4 berkembang pesat, bukan pada metodologi penyajiannya tetapi lebih pada cakupan pesertanya. Penataran P4 bukan saja untuk pegawai negeri, tetapi juga untuk tokoh masyarakat, mahasiswa, dan siswa. Sampai tahun 1990, menurut laporan ketua BP7 Oetojo Oesman, telah ditatar sejumlah 32.326.106 orang (Mimbar BP7 No.43 Th.VIII-1990 h.7). Karena menuai kritik dan cemoohan dari kaum intelektual, pada akhirnya program ini dibatalkan melalui Ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978. Lihat https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5727356/ekaprasetia-pancakarsa-arti-pelaksanaan-dan-penghapusan-p4. Lihat juga https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=http://repository.upi.edu/1134/3/T_PU_8832075_Chapter1.pdf&ved=2ahUKEwjy4vSUm7KDAxUx2DgGHRCMAckQFnoECBgQAQ&usg=AOvVaw33U2GNvUKP2AD4ljRun-Ba
²⁵ “Begitulah tragiknja riwayat-riwayat negeri djadjahan! Dan keinsjafan akan tragik inilah jang menjadarkan rakjat-rakjat djadjahan itu; sebab walaupun lahirnja sudah alah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah kekal. Roch Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsjafan akan tragik inilah pula yang sekarang mendjadi njawa pergerakan rakjat di Indonesia-kita, jang walaupun dalam maksudnja sama, ada mempunjai tiga sifat: NASIONALISTIS, ISLAMISTIS, MARXISTIS-lah adanja... Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme! Inilah azas-azas jang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakjat di seluruh Asia. Inilah faham-faham jang mendjadi rochnja pergerakan-pergerakan di Asia itu. Rochnja pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini.” Lihat Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Djakarta: Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, Djilid 1, Tjet. III, 1964, h. 2.
²⁶ “Fungsi grundnorm secara spesifik adalah sumber legitimasi atau kekuasaan untuk membentuk hukum bagi tindakan pembuat undang-undang pertama. Grundnorm merupakan alasan bagi legitimasi konstitusi pertama suatu negara.” Lihat Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara: Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik (General Theory of Law and State), Terjemahan oleh Somardi, Jakarta: Bee Media Indonesia, 2007, h. 145.
“UUD 1945 semestinya tidak termasuk dalam kategori Peraturan Perundang-undangan seperti dimaksudkan oleh TAP MPR No. XX/MPR/1966, melainkan termasuk norma dasar [Grundnorm], yakni pembukaannya, dan termasuk aturan dasar [Grundgesetze], yakni Batang Tubuhnya. - maka berdasarkan hal-hal di atas tata susunan norma hukum yang tepat ialah berturut-turut: Norma Dasar (Grundnorm), yakni Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945; Aturan Dasar (Grundgesetze), yakni Batang Tubuh UUD 1945, dan baru di bawahnya undang-undang sebagai jenis tertinggi dari peraturan perundang-undangan.” Lihat Abdul Hamid Saleh Attamimi, "UUD 1945 - TAP MPR - Undang-Undang Kaitan Norma Hukum Ketiganya," Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, dihimpun oleh Padmo Wahjono, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, h. 129-130.
²⁷ Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 2: Proses dan Teknik Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 2007, h. 236. Teori ini disebut sebagai theorie von stufenufbau der rechtsordnung (Teori Hukum Berjenjang). Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
1. Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm)
2. Aturan Dasar Negara (staatsgrundgesetz)
3. Undang-Undang Formal (formell gesetz)
4. Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (verordnung en autonome satzung)
Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm merupakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang adalah sumber dan dasar bagi pembentukan pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945 (Verfassungsnorm). Lihat Jazim Hamidi. Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Jakarta: Konstitusi Press, 2006, h. 68. Menurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (Grundnorm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai Staatsgrundnorm (aturan dasar negara) melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi. Lihat juga Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa'at, TEORI HANS KELSEN TENTANG HUKUM, Jakarta: Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h. 170.
²⁸ https://tirto.id/perbedaan-ideologi-terbuka-dan-tertutup-beserta-contohnya-gPFd oleh Syamsul Dwi Maarif.
²⁹ Sebutan Womanism (Afro-American Feminist) sering digunakan untuk merujuk pada perjuangan Feminis Kulit-Hitam yang dianggap tak dilibatkan dalam perjuangan Mainstream Feminism (Feminis Kulit-Putih). See Elisabeth Torfs, ALICE WALKER’S WOMANISM Theory & Practice, KATHOLIEKE UNIVERSITEIT LEUVEN MASTEROPLEIDING WESTERSE LITERATUUR 2007-2008, p. 17-18. Namun tulisan ini akan menggunakan istilah Womanism dalam artian yang lebih sempit sebagai Ideologi yang mengeliminasi keberadaan laki-laki secara utuh (misandry: kebencian terhadap laki-laki).
³⁰ Selain bertanggung jawab atas pemalsuan beberapa buku Nietzsche, Elisabeth Förster-Nietzsche (adik perempuan Nietzsche) juga sangat berperan dalam memperbesar kesan bahwa Nietzsche adalah ideolog Nazi. Memang, dimulai tahun 20-an dan terutama sejak tahun 1930-an muncul cara baca Nazi terhadap buku-buku Nietzsche. Omongan Nietzsche tentang Kehendak Kuasa, dominasi, pendisiplinan, nada elite membuat para pemikir kanan di Jerman tertarik untuk melihat Nietzsche sebagai Bapak gerakan Nasional Sosialisme. Lihat A. Setyo Wibowo, GAYA FILSAFAT NIETZSCHE, Yogyakarta: Kanisius, 2017, h. 59.
³¹ Soekarno, Lahirnya Pancasila, Jogjakarta: Penerbit Guntur, Cet. II, 1949. Pidato Soekarno dalam Sidang BPUPKI 1 Juni 1945;
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (peri-kemanusiaan)
3. Mufakat (Demokrasi)
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
“Saudara-saudara! "Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula... Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.”
³² Soekarno, Lahirnya Pancasila, Jogjakarta: Penerbit Guntur, Cet. II, 1949. Pidato Soekarno dalam Sidang BPUPKI 1 Juni 1945; “...Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal tiga saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah perasan yang tiga itu?...”
1. Socio-Nasionalisme
2. Socio-Democratie
3. Ketuhanan
³³ Soekarno, Lahirnya Pancasila, Jogjakarta: Penerbit Guntur, Cet. II, 1949. Pidato Soekarno dalam Sidang BPUPKI 1 Juni 1945; “Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga... Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?...”
1. Gotong-royong
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H