Mohon tunggu...
فظوسف
فظوسف Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - wargabuana (cosmopolitan)

∀x (x ∈ ∅ ⇔ x ≠ x)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kritik atas Pancasila sebagai Ideologi Negara

16 Desember 2023   16:53 Diperbarui: 4 Januari 2024   15:34 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara etimologi kata “Filsafat” diserap dari dua bahasa, yaitu Yunani (philo-sophia: cinta-bijaksana) dan Arab (falsafah: hikmah-kearifan) sehingga membentuk kata (Phil-Safah) yang dibakukan (EYD) menjadi “Filsafat”. Meskipun tiada bukti mengenai asal-usul etimologis ini, namun pengaruh dua kultur-filsafat ini (barat-timur) tak bisa dihindarkan dalam pembentukan kata “Fil-safat”.¹² Secara terminologi, tiada kesepakatan pada para filsuf mengenai definisi dari Filsafat, karena itu tulisan ini akan menggunakan kata Filsafat berdasarkan pengertian sebagai studi atau media pembelajaran pikiran (school of thought) yang mendasari gagasan; baik asal-usul gerakan Adicita (Ideologi) seperti Liberalisme (Capitalism), Marxisme (Communism), Nietzschean (Fascism)¹³, asal-usul mazhab atau denominasi (firqah) dalam Agama seperti Darśana (Dharma Philosophy), Scholasticus (Christianity Philosophy), Madrasah/Hikmah (Islamic Philosophy), asal-usul perkembangan tradisi intelektual seperti Zhūzǐ Bǎijiā (Zhōngguó Philosophy), Akademía (Platonic Philosophy), Lykeion (Peripatetic Philosophy), Stoá Poikílē (Stoic Philosophy), maupun asal-usul emansipasi kultural seperti Renaissance (European Rebirth), Siècle des Lumières (French Enlightenment), Aufklärung (German Enlightenment), Hashkālāh (Jewish Enlightenment). Jadi berdasarkan pengertian ini, Filsafat merupakan konstituen (elemen terdasar) dari terbentuknya pemahaman Ideologis, denominasi dalam Agama, keberagaman Intelektual, dan emansipasi Kultural dalam peradaban.

Dengan demikian tidak seperti yang dikatakan Karl Marx bahwa pertentangan kelas ekonomi (economic determinism) antara pengusaha-pekerja (Borjuis-Proletar) merupakan basis bagi sistem ide (Ideologi) Kapitalisme, dan tidak pula seperti yang dikatakan Max Weber bahwa reformasi agama (protestant ethic)¹⁴ sebagai salah satu benih bagi kemunculan spirit (Ideologi) Kapitalisme, tetapi Filsafat-lah (Liberalism Philosophy) yang merupakan basis bagi Ideologi Kapitalisme sebagaimana Marxism Philosophy merupakan basis bagi Ideologi Komunisme. Keduanya merupakan dampak lanjutan (produk) dari gerakan Humanisme yang telah dirintis sejak zaman Pembaharuan di Eropa (Renaissance) pada abad ke-16. Jadi Filsafat merupakan suatu sekolah (pembelajaran) yang mencakup keseluruhan; Budaya, Agama, Ilmu, Seni, Politik, dan Hukum. Karena Filsafat merupakan ide sederhana terpilah-pilah yang berbeda dari Ideologi (ide kompleks tersusun). Maka dari itu dalam tulisan ini, Ideologi merupakan salah satu produk dari Filsafat (school of thought).

Pancasila pada mulanya dirumuskan dalam sidang BPUPKI (Dokuritsu Junbi Chōsa-kai) oleh para national founders yang nanti pada perkembangannya disahkan dalam sidang PPKI (Dokuritsu Junbi Iinkai) berupa poin intisari dari Pembukaan UUD 1945 Alinea IV. Pada Pidato Soekarno 1 Juni 1945, Pancasila baru mendapatkan status ontologisnya sebagai Philosophische Grondslag (abstrak/pikiran/ma‘nawi: falsafah dasar yang berkembang) sebagai Weltanschauung (pandangan hidup kebangsaan).¹⁵

Upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila secara signifikan pertama kali dilakukan oleh pemerintahan Orde Lama pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dalam bentuk Manipol-USDEK¹⁶ sebagai asas operasionalnya melalui proyek Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) yang berbasis Gotong-Royong.¹⁷ Akan tetapi masing-masing dari ketiga ideologi itu hanya mewakili partai-partai yang tidak menjadi oposisi politik dari pemerintahan Orde Lama, salah-tiga di antaranya adalah yang memperoleh suara teratas dalam Pemilu Legislatif 1955 yakni; Partai Nasional Indonesia (PNI: 22,32%), Nahdlatul Ulama (NU: 18,41%), dan Partai Komunis Indonesia (PKI: 16,47%). Meskipun klarifikasi mengenai gagasan Nasakom telah diusahakan oleh pemerintahan Orde Lama¹⁸, namun hal ini tidak mengubah sikap politik partai oposisi, salah-dua di antaranya adalah yang berujung dibubarkan melalui Keputusan Presiden No. 200 dan No. 201 tahun 1960 tertanggal 17 Agustus 1960¹⁹; Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi: 20,59%) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI: 1,84%).²⁰ Demikianlah segala yang diusahakan pemerintahan Orde Lama terhadap Pancasila dalam rangka stabilisasi ruang politik yang telah kacau selama Demokrasi Parlementer (1950-1959).

Sementara upaya pemerintahan Orde Baru dalam membersihkan unsur-unsur Komunisme dari kehidupan perpolitikan Indonesia telah menjadikan Pancasila sebagai Asas Tunggal²¹, bahwa semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asas selain Pancasila dan semua kegiatan pemerintahan Soeharto selalu dikaitkan dengan Pancasila. Mulai dikenal sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya dalam rangka Trilogi Pembangunan²². Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, wahana politik disederhanakan menjadi Golongan Karya (bukan-parpol) yang berasal dari 97 organisasi fungsional binaan Angkatan Darat (Sekretariat Bersama Golongan Karya)²³ untuk menandingi pengaruh Partai Komunis Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), dan wahana politik lainnya berupa partai-partai politik yang masing-masing bergabung (fusion) menjadi dua; Partai Persatuan Pembangunan [PPP: Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII)] dan Partai Demokrasi Indonesia [PDI: Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Murba, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)].

Pada zaman yang disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila (1966-1998) itu, Golongan Karya (bukan-parpol) menjadi satu-satunya wahana politik yang dimenangkan badan legislatif melalui pemilu dengan Sistem Proporsional Tertutup menggantikan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) dan Demokrasi Parlementer (1950-1959) yang keduanya tidak berhasil menjamin stabilitas politik nasional. Meskipun segala usaha yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui wahana politik Golongan Karya adalah dalam rangka stabilitas dan kemakmuran [simbolisasi pohon beringin (persatuan), padi (pangan), dan kapas (sandang)], namun penyeragaman yang menafikan kebhinekaan dan berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di dalamnya tidak bisa dilupakan.

Lebih lanjut melalui salah satu program Kabinet Pembangunan III-IV (1978-1983 dan 1983-1988) di bidang pendidikan yaitu program Penataran P4 (Ekaprasetia Pancakarsa: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila)²⁴ yang diformalisasi dalam Tap MPR Nomor II/MPR/1978, Pancasila lebih menitikberatkan pada pengamalan (praktis) daripada pemikiran (teoritis). Pada akhirnya Pancasila hanya menjadi label (nama) yang dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) sehingga tidak boleh diperdebatkan. Di tangan pemerintahan Orde Baru inilah Pancasila mulai diperlakukan secara Ideologis sehingga lebih bercorak politis (komunophobia, islamophobia, sinophobia) daripada bercorak filosofis (kritis). Berbeda dari pemerintahan Orde Lama yang meskipun gagal, namun niatnya dalam mencari titik-temu secara filosofis antara Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) dalam rangka kegotongroyongan tak bisa diabaikan.²⁵

Pada perkembangan selanjutnya, para ahli hukum tata negara yang menganut teori Hans Kelsen (Grundnorm)²⁶ dan Hans Nawiasky (Staatsfundamentalnorm)²⁷ memposisikan Pancasila dalam tataran perundang-undangan tertinggi yang tidak dapat diubah secara konstitusional (konkret/tulisan/lafzhi: lima poin pokok dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea IV yang tetap). Berdasarkan hal ini maka tidak ada dari para national founders maupun para ahli hukum tata negara yang menempatkan Pancasila dalam kerja Ideologi Ekonomi-Politik selain pemerintahan Orde Baru (Pancasila sebagai Asas Tunggal).

Pembagian macam-macam Ideologi²⁸ menjadi Terbuka (Liberalisme, Pluralisme, Humanisme, Kosmopolitanisme, Feminisme) dan Tertutup (Fasisme, Komunisme, Religionisme) telah menyesatkan gagasan Pancasila sebagai Ideologi negara. Pasalnya Liberalisme (Klasik & Neo: Pasar Bebas) itu bagian dari kajian Filsafat Ekonomi yang dibedakan dari Sosialisme (Utopis & Marxis: Kepemilikan Publik), keduanya bukan Ideologi. Pluralisme (Keberagaman) itu bagian dari kajian Ontologi (cabang Filsafat) yang dibedakan dari Monisme (Ketunggalan) dan Dualisme (Kegandaan), ketiganya bukan Ideologi. Humanisme (Antroposentrisme: Manusia-pusat) juga bagian dari kajian Ontologi (cabang Filsafat) yang dibedakan dari Teosentrisme (Tuhan-pusat) dan Kosmosentrisme (Alam-pusat), mereka bukan pula ideologi. Kosmopolitanisme (Kewargaduniaan) merupakan olah-konsep dalam filsafat sebagai perluasan dari konsep Metropolitanisme (Kewargakotaan), dan Feminisme bisa berfungsi secara ideologis (womanism)²⁹ namun konsepsinya bagian dari kajian Filosofis Postmodern tentang Perempuan dalam menantang konsep kesetaraan hak (equality of rights) sebagai produk modernisme (rationality) yang dicurigai masih mengandung bias-bias phallo-virtue (kebajikan laki-laki), maka keduanya bukan ideologi. Berdasarkan hal ini pembagian Ideologi menjadi Terbuka dan Tertutup secara konseptual tidaklah sah, karena yang disebut Ideologi Terbuka bukankah ideologi melainkan aneka aliran-cabang Filsafat yang dapat direfleksikan ke dalam kelima sila-sila sebagai pemicu pikiran kebangsaan. 

Selain itu Fasisme, Komunisme, dan Kapitalisme sudah jelas merupakan Ideologi yang mengambil sebagian ide saja dari Filsafat Nietzschean (Übermensch)³⁰, Filsafat Marxisme (Historical Dialectical Materialism) dan Filsafat Liberalisme (Invisible Hand). Sementara Pancasila mengambil poin-poin filosofis yang berlainan dari berbagai macam sekolah filsafat (school of thought) sehingga Pancasila tidak bisa membentuk identitas tunggal-vertikal seperti ideologi. Bila dipaksakan mengambil bentuk ideologi maka barangkali nama yang cocok untuk Pancasila adalah “Silaisme”. Bahkan Soekarno dalam pidatonya, Pancasila (Lima-Dasar)³¹ itu sendiri bisa direduksi menjadi Trisila (Tiga-Dasar)³² atau Ekasila (Satu-Dasar)³³. Dengan demikian Pancasila membuka percakapan untuk mengoreksi terus-menerus perjalanan Demokrasi Indonesia dalam menghadapi tantangan dunia.

Jadi Ideologi (Adicita) pada dirinya bersifat tertutup bagi sistemnya dalam mencapai tujuan-tujuan politis melalui abstraksi-ideal atas sensasi pengalaman kolektif. Tidak ada kompromi secara teoritis, misalnya antara Ideologi Kapitalisme (Filsafat Liberalisme) yang membiarkan pasar dijalankan oleh kekuatan tersembunyi (invisible hand) melalui hukum permintaan-penawaran dalam mewujudkan pasar yang bebas dari intervensi pemerintah (laissez-faire), dengan Ideologi Komunisme (Filsafat Marxisme) yang berupaya menghapus kelas sosial melalui regulasi-pasar dalam mengutamakan kesejahteraan para pekerja (proletariat-dictatorship), karena masing-masing punya jalur-vertikal sendiri (metodologi yang mandiri). Sementara Pancasila mempertemukan kemungkinan teoritis dari ideologi-ideologi yang berlainan itu melalui pembedahan terhadap gagasan filosofis yang mendasarinya. Maka Pancasila bukanlah Ideologi yang memisahkan diri dan menjadi lawan dari baik secara politis (Kapitalisme, Komunisme, Fasisme, Nazisme, Zionisme) maupun secara filsafat ekonomi (Liberalisme dan Sosialisme). Justru Pancasila berkemungkinan mengambil fundamen filosofis (pikiran-pikiran) dari ideologi-ideologi yang bertentangan dengan sistem demokrasi itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun