Mohon tunggu...
فظوسف
فظوسف Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - wargabuana (cosmopolitan)

∀x (x ∈ ∅ ⇔ x ≠ x)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kritik atas Pancasila sebagai Ideologi Negara

16 Desember 2023   16:53 Diperbarui: 4 Januari 2024   15:34 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

⁸ Raymond Williams, Marxism and Literature, New York: Oxford University Press, 1977, p. 55.

⁹ Para Sosiolog non-Marxis berupaya untuk membalikkan paradigma Marx mengenai ekonomi sebagai basic structure bagi segala macam sistem ide (Ideologi: Filsafat, Budaya, Agama, Ilmu/Sains, Politik, Hukum) dengan menunjukkan sebaliknya bahwa beberapa struktur ekonomi bisa merupakan produk dari ideologi (misalnya, sebagian dari Etika Protestanisme yang menginspirasi kemunculan struktur Ekonomi Liberalisme).

Weber was in part concerned to reverse Marx’s theory that all idea systems are products of economic structures, by demonstrating conversely that some economic structures are the product of idea systems (that Protestantism, for example, generated capitalism and not capitalism Protestantism).” See https://www.britannica.com/topic/ideology-society/The-sociology-of-knowledge

¹⁰ Tesis utama Sosiologi Pengetahuan, menurut Karl Mannheim, adalah bahwa ada cara berpikir yang tidak dapat dipahami secara memadai selama asal-usul sosialnya tidak jelas. Artinya, sebuah pemikiran hanya dapat dipahami dengan baik jika faktor-faktor sosial yang terletak di balik lahirnya pemikiran tersebut dipahami dengan baik. Lihat Karl Mannheim, Ideology and Utopia an Introduction to The Sociology of Knowledge, London: Routledge & Kegan Paul, 1954, p. 2.

¹¹ Reno Wikandaru & Shely Cathrin, IDEOLOGI SEBAGAI RAMALAN MASA DEPAN: HAKIKAT IDEOLOGI MENURUT KARL MANNHEIM, Jurnal Yaqzhan, Vol. 07 No. 02, Desember 2021 dapat diakses di https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&opi=89978449&url=https://www.syekhnurjati.ac.id/jurnal/index.php/yaqhzan/article/download/9372/pdf_31&ved=2ahUKEwi5sIfUj5aDAxUuRmwGHRsrBOgQFnoECBAQAQ&usg=AOvVaw0RIcKf3IphVKrYLiixVI9f

¹² K. Bertens, Johanis Ohoitimur, Mikhael Dua, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2018, h. 30 & 49-53. Dalam halaman-halaman itu K. Bertens mendiskusikan asal-usul etimologis (bahasa Indonesia) dari Filsafat. Ia juga meragukan apakah Kearifan Timur (Darśana & Zhūzǐ Bǎijiā) bisa disebut sebagai filsafat, mengingat filsafat merupakan tradisi intelektual yang khas Yunani (memisahkan mitos dari logos). Sementara dari Kearifan Timur, tidak ada upaya yang khas untuk memisahkan mitos dari logos, bahkan seringkali mitos masih menjadi referensi bagi petuah-petuah kebajikan.

¹³ Bertrand Russel (1952) dan filsuf kritis Georg Lukács (1958) masih melihat pemikiran-pemikiran Nietzsche sebagai “pendasar irasionalisme modern”. Tuduhan Lukács bahwa Nietzsche adalah pemikir proto fasis yang menggagas pemikiran bercorak elitis, aristokratis, irasional tidak diikuti oleh Adorno dan Horkheimer. Fuad Hassan dalam bukunya Berkenalan Dengan Eksistensialisme, hlm. 47, lebih lugas mengatakan bahwa Nietzsche adalah inspirator Nazi: “Kalau kita telaah karya Hitler Mein Kampf, tidak mustahil orang menduga bahwa Hitler telah mendapat sebagian inspirasinya dari karya-karya Nietzsche. Bahkan, pada Benito Mussolini kita bisa menemukan kembali adanya kedekatan dengan Nietzsche. Fasisme sebagai suatu program aksi juga mengagungkan slogan cinta pada risiko tidak terlalu jauh dari slogan Nietzsche, hidup menatap bahaya (Amor Fati)”. Dan tanggal 26 Mei 1934, Mussolini sendiri di depan para wakil rakyat di Roma menjuluki dirinya sebagai “murid Nietzsche yang paling setia”. Dengan mengutip buku Zarathustra, Mussolini menyatakan keyakinannya bahwa “peranglah yang membentuk manusia”. Dan benar, bahwa sejak muda (saat ia berusia 20 tahun) Mussolini sudah menulis artikel tentang Nietzsche. Lihat A. Setyo Wibowo, GAYA FILSAFAT NIETZSCHE, Yogyakarta: Kanisius, 2017, h. 60-63.

¹⁴ Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Taylor & Francis e-Library, 2005.

¹⁵ Soekarno, Lahirnya Pancasila, Jogjakarta: Penerbit Guntur, Cet. II, 1949. Pidato Soekarno dalam Sidang BPUPKI 1 Juni 1945; “...Philosophische Grondslag itulah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”

¹⁶ Pada 17 Agustus 1959 Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato inilah yang disebut sebagai manifesto politik atau familiar disingkat menjadi Manipol. Pada pidato yang sering dirujuk sebagai tonggak berlakunya demokrasi terpimpin (17 Agustus 1959) tersebut Soekarno menguraikan ideologi demokrasi terpimpin dengan menyeru kembali pada semangat revolusi, keadilan sosial, dan pelengkapan lembaga-lembaga negara demi revolusi yang berkesinambungan. Sementara kata USDEK merupakan singkatan dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK). Manipol-USDEK kemudian menjadi doktrin ideologis yang mengarahkan orientasi politik dan pembangunan Indonesia ke arah yang berbeda dari masa demokrasi liberal. Lihat Helius Sjamsuddin, Kosoh Sastradinata, H. Said Hamid Hasan. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Kemerdekaan (1945-1966), Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, h. 71-73. Lihat juga M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004, Jakarta: Serambi, 2005, h. 527.

¹⁷ “Dengan djalan jang djauh kurang sempurna, kita mentjoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam negeri djadjahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. Dengan djalan jang djauh kurang sempurna kita menundjukkan teladan pemimpin-pemimpin dilain negeri. Tetapi kita jakin, bahwa kita dengan terang-benderang menundjukkan kemauan kita mendjadi satu. Kita jakin bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia semuanja insjaf, bahwa persatuanlah jang membawa kita kearah ke-Besaran dan ke-Merdekaan. Dan kita jakin pula, bahwa, walaupun fikiran kita itu tidak mentjotjoki semua kemauan dari masing-masing fihak, ia menundjukkan bahwa Persatuan itu bisa tertjapai. Sekarang tinggal menetapkan sahadja organisasinja, bagaimana Persatuan itu bisa berdiri: tinggal mentjari organisatornja sahadja, jang mendjadi Mahatma Persatuan itu.” Lihat Ir. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Djakarta: Panitya Penerbit DIBAWAH BENDERA REVOLUSI, Djilid 1, Tjet. III, 1964, h. 22.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun