Mohon tunggu...
Fitri Hidayati
Fitri Hidayati Mohon Tunggu... Pendidik -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ada Cerita di Antara Tunas Kelapa

20 Oktober 2018   21:07 Diperbarui: 22 Oktober 2018   07:29 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Peluit melengking panjang sudah terdengar. Para siswa dengan pakaian pramuka  lengkap yang sedang duduk-duduk bersantai, segera beranjak dan berlari ke tengah lapangan sekolah.

Mereka segera berbaris rapi , sesuai kelas masing-masing. Kelompok laki-laki menempati di sebelah kanan . Sedangkan kelompok putri di sebelah kiri.

Para Pembina dengan gagah  memasuki arena upacara. Dengan pakaian kebesaran, mereka siap mengikuti upacara apel sore, yang menandai dimulainya latihan pramuka setiap Jumat sore.

Apel sore siap dimulai. Tampak para siswa berbaris rapi .

Petugas upacara langsung menempatkan diri. Baru saja MC memulai, ada seorang siswa yang terlambat dan berusaha langsung menyelinap ke dalam barisan.

"Bagi yang terlambat, langsung membuat barisan sendiri di depan!"

Seorang Pembina yang memergoki , berteriak dengan penuh wibawa.

Tampak siswa itu  langsung keluar dari barisan dan melakukan apa yang aku perintahkan.

Seorang gadis  berwajah manis , rambut lurusnya berderai menutup punggungnya. Dia tampak tenang menempatkan diri di barisan tersendiri yang terpisah dari teman-temannya. Pandangan teman-temannya semua tertuju padanya, namun dia tampak cuek. Beberapa anak melempar senyum, bahkan ada sebagian yang meledek, namun ia tak peduli dan tetap cuek.

Apel sore berjalan dengan lancar. Kakak Aminuddin, Pembina senior, memberikan  sambutan dan memberikan informasi tentang kegiatan sore ini.

"Silakan anak-anak menuju lokasi yang sudah ditentukan ! Kecuali bagi yang terlambat , tetap berada di tempat ini!"

Para siswa langsung menuju tempat latihan yang ditentukan dan sesuai Pembina yang mendampingi.

Aku mendapat tugas menangani anak yang terlambat.

Anak ini masih tetap diam di tempatnya. Wajahnya tampak sinis tak menyenangkan. Pandangannya lekat pada tanah di bawahnya. Dia tak peduli apa yang terjadi di sekitarnya. Bagai hidup di dunianya sendiri. Bahkan ketika aku sudah berdiri di depannya, dia tetap cuek.

" Kok malah nglamun?"

Aku mencoba mengawali sapaanku . Dia mengangkat mukanya dan memperbaiki sikap berdirinya.

"  Kenapa terlambat?"

Tak sedikitpun jawaban meluncur dari mulutnya. Wajahnya kembali tertunduk.

" Kenapa diam terus, kamu sakit?"

Dia menggeleng pelan.

" La kenapa diam terus? Ditanya gak mau jawab!"

" Capek nunggu. Biasanya kalau terlambat langsung dapat sanksi, bukan ditanya-tanya terus."

Wah jutek banget anak ini. Tapi makin dia bersikap aneh, aku malah makin penasaran. Unik sifatnya.

Aku segera mengambil bendera semaphore. Aku mainkan beberapa  gerakan untuk dibacanya.

Dia masih diam.

" Kok nggak dibaca?"

" Saya nggak suka semaphore Kak.  Saya lebih suka dihukum berlari mengitari lapangan ini."

Aku tertegun mendengar jawabannya.

"Ya udah , kalau gitu lari sana! satu kali saja!"

  "Kok cuma satu kali Kak?, oh  iya, kalau banyak kali aku capek dong!"  Dia nyengir.

Dia berlari mengitari lapangan tanpa beban . Setelah selesai satu putaran,  dia mendatangi aku dengan napas yang terengah-engah .

" Lapor Kak,  udah selesai."

" Capek?" ledekku.

" Capek!"

" Ah masak capek, tadi katanya kurang !"

Dia tak menjawab. Seolah tak mendengar perkataanku.

" Namamu siapa ?"

" Hida Kak ."

" Siapa ? yang keras sedikit, siapa namamu ?"

" Hida Kak!"

" Ooh Hida!"

Ku tangkap ada kekesalan di matanya, dia sadar sedang aku kerjaiin.

" Ya udah masuk sana!"

 " Siap Kak " 

Aku perhatikan dia sampai dia masuk ke dalam kelas , aku mengikutinya dari belakang masuk  ke dalam kelas untuk mengisi materi .

Melihat kehadiranku, anak-anak spontan berdiri dan langsung bernyanyi sambil bertepuk tangan.

Slamat datang  Kakak... Slamat datang Kakak . Slamat datang Kami ucapkan

Slamat datang  Kakak... Slamat datang Kakak. Slamat datang Kami ucapkan

La..la..la..la

Terimalah salam dari kami, yang ingin maju bersama-sama.

Tepuk  Pramuka... Prok prok prok   pra,   prok prok prok  mu,  prok prok prok ka.

 " Assalamu 'alaikum waroh matullahi wabarokatuh !"

" Wa 'alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh ." serentak anak didik pramuka  menjawab dengan lantang .

Kusapukan pandanganku ke seluruh ruang kelas. Aneh aku tiba-tiba tergelitik untuk melacak di mana keberadaannya. Hida.. anak didikku yang unik.

Hida tampak duduk di deretan paling belakang. Wajahnya  tertunduk tanpa ekspresi. Mungkin dia masih kesal dengan hukuman yang dia jalani. Sementara teman-teman di sekitarnya antusias mengikuti kegiatan.

"Selamat sore adik-adik, apa kabar?"

" Slamat soreeee Kakak.... Alhamdulillah .Baik, sehat, luar biasa..!"

"Alhamdulillah... . Adik-adik ,sore ini kita bisa berjumpa lagi dengan suasana ceria dan bahagia semua bahagia kan?"

" Bahagia Kak....." Semua menjawab dengan semangat.

" Alhamdulillah, Pramuka tak boleh sedih. Kalau sedih cepat tua !"

Tepuk tangan bergemuruh menyambut ucapanku. Aku lirik Hida, dia menatapku dengan tatapan menyelidik. Seolah dia faham sindiranku untuk dirinya. Aku pura-pura tak mengerti arti tatapannya.

" Adik-adik, ayo kita nyanyikan lagu ' Apa Guna Keluh Kesah'!"

Apa guna keluh kesah...Apa guna keluh kesah...

Pramuka tak pernah bersusah  . Apa guna keluh kesah...

" Tepuk Punokawan!"

Prok ..prok.. Prok ..prok..

Diasem....a Semar

Dipepe.... Pe Petruk

Disigar.... Si Gareng

Baciluba....Bagong

 Disini senang disana senang dimana mana hatiku senang .

Disini senang disana senang dimana mana hatiku senang

La la la la la la la

"Tepuk pramuuka !"

Prok..prok.. Prok..prok..

 Prok..prok.. Prok..prok..

" Oke adik-adik, hari ini kita akan belajar sandi Morse"

Adik-adik Pramuka sangat antusias mengikuti kegiatan. Belajar sambil bermain , membuat belajar makin asyik dan menyenangkan.

Waktu berlalu tak terasa. Setelah menutup materi dan berdoa , aku ucapkan salam.

Adik-adik Pramuka berbaris dan menjabat tanganku satu persatu.

Terakhir tampak Hida berjalan sendiri, sambil memainkan topi pramukanya.

Sesampai di hadapanku dia ulurkan tangan.

" Hida, pertemuan besuk jangan terlambat lagi ya!"

Dia hanya mengangguk sambil tersenyum.

 Oh... aku benar-benar terpana. Si Jutek ternyata bisa tersenyum. Manis lagi senyumnya.

" Hida, hati-hati di jalan. Jangan cemberut aja."

" Ya Kak, makasih. Assalamu alaikum."

" Wa alaikum salam."

Sejak saat itu ada yang beda . Aku selalu ingin menegurnya. Ada saja acara yang aku buat.

Aku upayakan bisa bertegur sapa dengan Hida. Dia memang beda. Teman-temannya  yang selalu mengajak aku  ngobrol ke sana-kemari, selalu mencari bahan  untuk berbincang.

Namun Hida justru sebaliknya. Selalu cuek dan menjawab pertanyaanku seperlunya.

Suatu hari kami mengadakan penjelajahan. Aku bertugas di Pos terakhir. Anak-anak tampak lelah, sehingga banyak siswa yang beristirahat agak lama. Anak-anak perempuan berkerumun didekatku. Sambil menyelesaikan tugas, mereka mengajak bersenda gurau. Gelak tawa di antara nyanyian lagu-lagu Pramuka, membuat suasana makin akrap.

Tanpa ku sadari , regu Walidah sudah berdiri di depanku.

" Lapor! Regu Walidah siap mengerjakan tugas!"

Aku segera bersikap sempurna. Ku tatap ketua regu yang melapor. Hida!

Tatapan mata itu sudah tak seperti dulu  lagi. Tatapannya mulai teduh . namun kutangkap cemburu di matanya. Seolah mengisyaratkan rasa tak rela ketika aku bersama  teman-teman yang lain.

Aku segera tanggap. Instruksi  melanjutkan perjalanan segera aku sampaikan. Mereka bergegas melanjutkan perjalanan menuju sekolah.

" Hida, Kau tampak capek. Kenapa bajumu kotor banget?"

" Gak apa-apa Kak. Kami Pramuka yang bertanggung jawab terhadap tugas yang diberikan. Bukan hanya main-main."

Aku tersenyum. Ada nada sindiran sekaligus cemburu di sana. Hida...Hida... Kenapa kau bersikap cuek? Tak bisakah kau sedikit  bersahabat?

" Hida, Kakak ikut jalan bareng ya, kelompok kalian kelompok terakhir."

Hida  tak menjawab. Sebuah anggukan kecil desertai kerlingan matanya yamg tak kan terlupa.

Sepanjang jalan kami saling diam hingga sampai di sekolah.

Latihan hari ini berbeda dengan hari-hari biasanya. Anak-anak tidak mengenakan seragam. Jadwal hari ini persiapan kemah di Telaga Ngebel. Masing-masing regu mempersiapkan perlengkapannya.  Semua tampak sibuk.

Seorang gadis mengenakan baju hitam kombinasi kuning emas melintas di depanku.

Rambutnya yang panjang ,dipermainkan angin menyapu wajahnya . Saat dia gibaskan rambut itu, tampak wajah ayu itu, Hida. Tampilannya kali ini benar-benar beda. Dia tampak ceria Bersama kelompoknya. Aku perhatikan dia dari kejahuan, tak mau aku mengganggu keceriaannya.

Barisan tampak rapi. Para Pembina mencek regu binaannya masing-masing.

Kulihat Hida berdiri tegap di barisan depan.

" Sikap sempurna!"

Aku berusaha mencari celah untuk mendekati Hida, dengan memeriksa kesiapan barisan.

Upacara pemberangkatan usai. Kami segera menuju armada masing-masing.

Dengan mengucap basmallah bersama , rombongan berangkat dengan  menyanyikan lagu-lagu Pramuka. Di antara riuh tepuk tangan anak-anak, kulihat Hida  hanya diam. Meski wajahnya ceria, tapi pandangan itu selalu tertunduk.

" Hida, kau baik-baik saja? Pusingkah?"

Dia  memandangku kemudian menggelengkan kepala. Tatapannya dilempar ke alam bebas. Seolah ingin menyampaikan , "aku tak ingin diganggu".

Medan mulai ekstrim. Tanjakan dan tikungan tajam mulai terasa mengguncang. Jeritan histeris diantara teriakan anak-anak mulai berlomba. Kulihat Hida tampak cemas. Kugapai tangannya. Kupegangi dengan erat. Meski wajahnya menunduk, tak kurasakan dia berontak.

Heeem... kenapa ada perasaan aneh menyelinap dalam hatiku? Benarkah aku tertarik dengan anak didikku yang masih bau kencur ini?

Kami sampai di arena perkemahan. Pemandangan indah Telaga Ngebel langsung menyita perhatian kami. Telaga yang bersih dipagari hutan yang lebat. Udara dingin menusuk kulit kami. Namun  monyet-monyet kecil yang bergelantungan di antara pohon itu mampu mengalahkan cuaca dingin yang kami rasakan. Sembari mengusung peralatan perkemahan, anak-anak bercanda sambil melempari monyet dengan makanan. Keceriaan ini menghilangkan kelelahan kami setelah menempuh perjalanan. Tak terasa kami sudah sampai di Bumi Perkemahan yang dituju.

Pendirian tenda mendominasi kegiatan awal ini. Semua tampak sibuk.  Tenda sudah berdiri, Anak- anak bersatai sambil mendengarkan alunan musik yang diperdengarkan dari secretariat. Sebagian ada yang mempersiapkan alat memasak dan merapikan peralatan di dalam tenda.

Perkemahan yang direncanakan tiga hari ini , benar-benar berjalan dengan baik dan lancar.

Kegiatan semua terprogram dengan baik. Kedisiplinan peserta makin mendukung kesuksesan acara ini. Tak ada kendala sedikitpun.

Pagi ini hari kedua. Usai senam pagi, aku memandu acara dari sekretariat sambil memutarkan lagu-lagu pengantar kegiatan pagi. Anak-anak hilir mudik mandi, ada juga yang masih sibuk memasak. Tiba-tiba dua orang anak melapor ada anak yang sakit di tenda. Aku bergegas menuju tenda yang ditunjukkan .

Ya Allah... Hida yang sakit. Teman-temannya sudah memberi pertolongan namun belum membaik. Ku sentuh dahinya, dia demam tinggi. Tanpa piker Panjang, langsung kubopong tubuhnya. Aku berlari ke Puskesmas yang ada di sekitar Bumi Perkemahan. Tak kupedulikan lagi semua mata memandang, yang ada dalam hatiku Hida harus segera tertolong.

Kurebahkan tubuh lunglainya di ruang pemeriksaan. Ku pandangi wajahnya pucat. Aneh... aku benar-benar merasakan perasaan istimewa pada Hida. Perasaan yang selama ini belum pernah aku rasakan. Bukan hanya rasa sayang tapi aku benar-benar takut kehilangan dia. Apakah aku benar-benar jatuh cinta? Cinta pertama? Oh ... usia kami terpaut delapan tahun. Tidak terlalu jauh. Tapi dia anak didikku? Pantaskah?

Dokter datang membuyarkan lamunanku. Hida langsung diperiksa .

" Gimana Dok? Sakit apa dia?"

" Oh gak apa-apa. Dia Cuma masuk angin. Nggak biasa tidur di alam terbuka. Obatnya diminumkan ya, semoga cepat sembuh."

Kupandangi dia. Ada rona merah di wajahnya, tampak tersipu malu.

Dua temanya masuk membawa sepotong roti dan minuman hangat.

" Ayo makan rotinya, segera minum obatnya biar lekas sembuh!"

Dia menggeleng.

" Oh mau disuapi Kakak ya!" godaku.

" Eh nggak. Biar aku makan sendiri."

Sejak saat itu aku tak pernah rela sedikitpun perhatianku lepas darinya. Sampai tibalah  hari terakhir perkemahan.

Upacara penutupan sudah selesai dilanjutkan pembongkaran tenda  .

Sambil menunggu armada menjemput, aku duduk di pinggir telaga. Aku teringat mitos-mitos tentang Telaga Ngebel ini, yang banyak dipercaya oleh masyarakat.Ah mitos!

" Kak Imam...!"

Suara yang lembut membuyarkan lamunanku. Hida...! Sebutan itu terasa nyaman .. menyentuh sampai ke hati. Aku tak percaya dia mendekatiku meski dengan malu-malu.

" Hida sudah sembuh?"

" Alhamdulillah sudah Kak. Makasih banget atas bantuannya kemarin."

" Oh iya, itu kan kewajiban Kakak." Aku tiba-tiba gugup.

" Iya, tapi sampai menggendong gitu, merepotkan banget kan?"

" Oh.. nggak juga, masak merepotkan. Hida mau Kakak gendong lagi ?"

" Iiih... nggak ah!" Cubitan manis mendarat di tanganku.

Darahku berdesir lebih cepat. Benar-benar aku tak menyangka Hida bisa lunak dan bicara manis padaku. Saat ini benar-benar sangat bahagia. Perubahan sikapnya padaku ini sudah lebih dari cukup.

" Chie...chie... Hidaaaaa!" Teman-teman Hida mulai menggoda.

" Iiih... apaan  sih..."

" Sudah akuuur ni yeee!"

Hida tersenyum manis sekali, matanya melirikku penuh makna. Aku sambut dengan senyuman dan tatapan penuh kasih. Hanya tatapan mata kami yang beberapa kali saling beradu  sudah banyak berbicara.

Tak henti-hentinya ku bersyukur, Allah tlah melunakkan hati Hida.

Berjuta harapan bersemayam dalam hati ini. Entah kapan  terwujud. Aku mencintaimu dalam diam, selalu kusematkan di antara doaku semoga kelak kita bisa bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun