Baru satu minggu aku berada di Kota Gorontalo. Â Aku nikmati penempatan dinas ini dengan penuh syukur. Bagiku, tak ada bedanya aku harus didinaskan di mana saja. Meskipun banyak yang menyayangkan kenapa aku harus mendapat tempat dinas jauh dari prediksi kami. Sedangkan beberapa teman yang memiliki prestasi akademik di bawahku, justru mendapat tempat yang strategis. Â Aku tak pernah menolak ketentuan -Nya, karena aku yakin pasti ada hikmah yang tersembunyi di balik itu. Mencoba menjalani dengan ikhlas dengan keyakinan , di manapun adalah bumi Allah sehingga tak ada alasan untuk menolak.Â
Masih lekat dalam ingatanku, betapa sedihnya  ekspresi ibu dan saudara-saudaraku  saat mendengar kabar, aku mendapat tugas dinas di Gorontalo, tempat yang tak pernah kami bayanngkan. Maklumlah kami lahir dan tumbuh di Pulau Jawa dan kurang informasi tentang kehidupan di luar Jawa.Â
Ada keraguan apabila membayangkan kehidupan di pedalaman, seperti yang kami lihat dalam tayangan film di Televisi. Sering beredar cerita di  masyarakat bahwa penduduk asli biasanya menolak kehadiran pendatang, karena ada kekhawatiran akan mengubah budaya yang mereka miliki dan mereka pertahankan selama ini. Bapak satu-satunya orang yang tegar dan memberikan pengertian kepada keluarga , bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan karena semua akan baik baik saja. Masalah ini harus kita jalani dan apabila ada kendala harus diatasi bukan hanya dibayangkan dan dikhawatirkan secara berlebihan. Kita serahkan semuanya kepada Allah. Bismillah, harus ikhlas.
Aku sangat faham atas kesedihan Ibu dan keluarga besar kami. Aku adalah anak sulung dan cucu pertama dari Kakek dan Nenek , baik dari pihak Bapak maupun dari pihak Ibu. Baru saja aku lulus kuliah, dan harus langsung melaksanakan tugas di tempat yang jauh. Alhamdulillah , akhirnya Ibu dan keluarga besar mengikhlaskan kepergianku. Doa mereka memperkuat niat dan semangatku melangkah untuk mengukir sejarah baru, dunia kerja.
Gorontalo merupakan sebuah propinsi  dari  Sulawesi Utara. Masyarakat gorontalo mayoritas islam,  Aku makin penasaran saat aku dengar istilah "Gorontalo sebagai serambi madinah", apakah memang hal ini ada hubungannya dengan Kota Madinah, kota Suci umat islam yang di dalamnya ada tempat di mana Rasullullah Nabi Muhammad Saw beserta keluarga disemayamkan dan sebuah masjid megah  yakni Masjid Nabawi ? Wah, tentunya kota ini memiliki ciri-ciri yang tidak jauh berbeda dengan Kota Madinah yang asli. Karna tidak mungkin sebuah julukan yang menggambarkan kota yang sangat mulia ini dilekatkan di Gorontalo kalau faktanya tidak demikian.
Hari ini aku ingin menunaikan ibadah sholat jumat  di Masjid Agung Baiturrahim, masjid terbesar di Gorontalo.  Masjid ini terletak di pusat kota Gorontalo. suasana di sekitar masjid ramai, namun saat di dalam masjid sangat nyaman dan bersih. Sirkulasi udara di sini bagus, angin berhembus segar sehingga tidak pengap dan tidak  panas, selama di masjid ini aku merasakan kenyamanan. Ukuran masjid raya propinsi Gorontalo tidak terlalu besar namun tempatnya tenang, damai, dan sangat terawat dengan baik.
Usai shalat Jumat, aku tidak segera pulang. Aku ingin lebih banyak mengenal daerah ini, sebelum mulai masuk dinas Senin mendatang. Â Tiba-tiba ada seorang bapak mendekat dan duduk di sampingku.
" Assalamualaikum.... "
" Waalaikumsalam ..." Kami berjabat tangan, bapak ini tampak sangat ramah.
" Sepertinya kita baru pertama bertemu Nanda."
" Betul Bapak, Â baru kemarin tiba di Gorontalo, saya dari Jawa Timur."
" Oh.. dari Jawa Timur, selamat datang di Gorontalo, ternyata kita sama-sama pendatang,
 saya dari Jawa Tengah."
Kami langsung terlibat pembicaraan akrap, seolah kami sudah berteman lama. Pak Hamid ternyata seorang guru agama . Beliau sudah dua puluh tahun bertugas di sini, bahkan sejak masih lajang.Â
Pak Hamid dipertemukan jodoh gadis asli Gorontalo. Seorang wanita sholihah, aktifis masjid, yang selalu mendukung perjuangan  Pak Hamid. Beliau dikaruniai dua orang putra. Yang sulung seorang anak lelaki usia 10 tahun kelas 4 SD,  sedangkan adiknya usia 8 tahun kelas dua SD. Satu jam kami berbincang, Pak Hamid berpamitan karena akan mengajar TPQ di Mushala sekitar tempat beliau, tak lupa beliau memberikan alamat rumah dan mempersilahkan saya untuk mampir berkunjung.
Malam minggu ini aku memenuhi janji kepada Pak Hamid, alhamdulillah rumah beliau tidak sulit ditemukan, aku diperkenalkan dengan kedua putranya. Suasana sederhana tapi nyaman, kami mengobrol dengan sangat asyik, kesempatan ini aku manfaatkan untuk mencari jawaban akan rasa penasaranku tentang julukan " Serambi Madinah" untuk Kota Gorontalo ini.
Pak Hamid dengan penuh semangat mulai bercerita. Gorontalo mendapat julukan istimewa sebagai serambi Madinah, Serambi Madinah sendiri diambil dari nama sebuah daerah Suci di Negara Arab yakni Kota Madinah yang kita kenal dengan Kota tempat pertama kali dibangunnya tempat Ibadah Umat Islam bernama Masjid Nabawi. Maka dapat disimpulkan bahwa  di Gorontalo masyarakatnya sangat religius. Julukan ini muncul sebagai manifestasi nilai adat, nilai kesopanan dan nilai norma Agama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Gorontalo. Masyarakat Gorontalo terkenal dengan filosofi adatnya yakni "Adat bersendikan Syara', Syara' bersendikan Kitabullah".
Hal ini menunjukkan betapa perjuangan ulama kala itu sampai merambah menembus sungai lembah gunung dan hutan. Ibaratnya dimana tanah masih terkena sinar mentari disitulah  islam datang mewarnai. Maka dari itu, kita harus  menghormati jasa para ulama itu.  Meskipun kita  bukan masyarakat asli Gorontalo, namun semua itu karena tanggung jawab kita sebagai umat Islam.
Tantangan Islam terhadap perkembangan zaman tidak ringan. Perkembangan media sosial yang tak terbendung apalagi bercampur dengan budaya luar yang membawa dampak kurang positif.  Filtrasi kebudayaan yang kurang diperhatikan  membuat generasi muda mulai mengenal vcd porno dan obat obatan terlarang, semangat untuk menghidupkan masjid mushola menjadi menurun sementara kafe dan tempat hiburan mulai rame dengan penggemarnya. Tampak Pak Hamid menghela napas, kemudian beliau melanjutkan penjelasannya.  Di jalan-jalan sekarang banyak kita temui gadis remaja dengan pakaian minim dikenal istilah "Cadeko", mengumbar aurat. Sering juga kita jumpai para pemuda dengan santainya meneguk minuman keras. Berawal dari inilah para dai, ulama ,penceramah, dan tokoh agama mulai merapikan barisan membentengi umat dari penyakit masyarakat supaya tidak kian merajalela.
Aku menghela napas. Benar-benar suatu kondisi yang tidak boleh dianggap remeh. Entah mengapa tiba-tiba ada magnet yang kuat menarikku. Aku ingin sekali bergabung berjuang dengan Pak Hamid. Â Aku teringat nasihat Bapak, di manapun kita berada, kita harus selalu memperjuangkan agama Allah, maka saat itu juga aku sampaikan niatku untuk bergabung dengan para ulama yang menjalankan tugas mulia itu.
Minggu depan ada jadwal memberikan materi agama di daerah pelosok. Â Pak Idrus seharusnya yang bertugas dengan Pak Hamid. Namun karena ada keperluan keluarga Pak Idrus izin. Maka jadilah aku bergabung dengan mereka untuk pertama kalinya.
Lepas ashar aku sudah berada di rumah Pak Hamid. Suasana masih sepi, ternyata Pak Hamid masih mengajar di TPQ. Â Empat puluh menit aku menunggu, tiba-tiba terdengar deru motor yang sangat keras. Motor Honda Astra warna merah memasuki halaman rumah. Tampak pengendaranya tersenyum sambil melepas helm, dua putranya turun dan langsung menyalamiku.
" Assalamualaikum... wah maaf udah lama menunggu ya? " Â Pak Hamid menyapa dengan sangat hangat.
" Waalaikumsalam .. oh belum Pak, gak apa-apa. " Jawabku sambil mengulurkan tangan.
" Wah maaf ya Mas, hari ini ustadz yang mengajar TPQ kurang enak badan, jadi Bapak menggantikannya. Perjalanan yang akan kita tempuh nanti sekitar dua jam Mas, mudah-mudahan motor butut Bapak tidak ngambek di jalan, sehingga kita tidak terlambat menghadiri kajian ha ha ha, yasudah Bapak mandi dulu ya Mas, mari silakan dinikmati, hanya ini adanya. " Pak Hamid menyuguhkan segelas air putih dan beberapa potong ubi kukus.
Hafiz putra sulung Pak Hamid keluar diikuti adiknya Zahra. Tanpa canggung mereka langsung bergabung denganku. Aku sodorkan piring berisi ubi kepada mereka, dengan lahap mereka menyantapnya. Ada rasa trenyuh dalam hatiku melihat mereka, terdorong rasa ingin tahu tentang keluarga Pak Hamid.
" Hafiz dan Zahra  udah kelas berapa. " Basa-basiku mengawali pembicaraan.
" Aku kelas empat SD dan Adik kelas dua Kak. " Jawab Hafiz dengan penuh percaya diri.
" Kakak sudah dua kali berkunjung ke sini, namun belum pernah ketemu ibu ya Dek? "
" Bunda menunggu kita di surga Kak." Jawab Zahra tanpa beban.
" Oh... ya ya.. Â Zahra harus rajin shalat dan mengaji biar bisa ketemu Bunda lagi ya." Â Hatiku pilu melihat kepolosan gadis kecil ini, sementara Hafiz hanya tersenyum, dia tampak tegar.
Tampak Pak Hamid sudah selesai persiapan, beliau menghampiri kedua putranya.
" Bapak berangkat dulu ya, usai maghrib ngaji , makan terus belajar. Adik cepet bobok ya."
" Baik Pak" jawab mereka serempak.
" Assalamualaikum " mereka menjabat dan mencium tangan Pak Hamid, kemudian menjabat tanganku.
" Waalaikumsalam." Jawab  mereka hampir bersamaan.
Aku meninggalkan rumah Pak Hamid, memboncengkannya dengan Motor Honda Astra warna merah. Hatiku tiba-tiba sangat sedih, bukan karena harus menaiki motor butut, tapi aku membayangkan anak-anak Pak Hamid yang masih kecil, namun harus sudah mandiri. Begitu juga Pak Hamid yang begitu iklas dan tabah mengurus dua buah hatinya, dan masih gigih berjuang berda'wah sampai ke pelosok-pelosok daerah. Semuanya dilakukan dengan iklas lillahi ta'ala, tanpa mengharap imbalan.
Medan yang kami lalui semakin menanjak. Jalan yang sempit berkelok-kelok, dengan tikungan tajam. Sebelah kanan tebing yang terjal sadangkan sebelah kiri jurang yang sangat curam. Sungguh pemandangan yang menciutkan nyali. Perjalanan seperti ini biasa beliau tempuh sendirian, dengan kondisi kendaraan yang sangat minim.
Pengalaman pertamaku menyertai perjalanan da'wah ke tempat terpencil ini benar-benar membuat aku sadar, betapa beratnya perjuangan para da'i di tempat ini. Namun tak sedikitpun mereka mengeluh, meskipun mereka hidup dalam kondisi pas-pasan.
Sesampai di lokasi, aku merasa sangat trenyuh. Mereka, masyarakat yang jauh dari kota dan jauh dari peradaban maju, ternyata mempunyai kehausan menimba ilmu. Mereka tampak antusias menunggu kedatangan Pak Hamid. Kehadiran kami disambut dengan hangat dan sangat ramah. Teh hangat dan beberapa potong pisang goreng dan ubi rebus sudah tersedia. Kami beramah tamah sebentar, Pak Hamid mengenalkan aku sebagai keponakannya dari Jawa kepada masyarakat. Kajian dan tanya-jawab berjalan dengan sangat seru sehingga dua jam berlalu tanpa terasa. Kami dipersilahkan makan malam usai acara. Dan kamipun segera berpamitan pulang.
Udara malam itu sangat dingin. Rupanya hujan akan turun. Pak Hamid menyampaikan agar aku mengendarai motor agak kencang, agar kami tidak terjebak hujan saat melintasi medan yang rawan. Aku tambah kecepatan namun fatal. Lampu motor kami padam. Padahal perjalanan baru akan dimulai, di depan sana akan banyak sekali tikungan tajam yang dikelilingi oleh tebing curam. Â Kami terpaksa berhenti, menunggu kendaraan yang lewat karena jalan sama sekali tak terlihat. Minimal ada cahaya yang membantu kami untuk menerjangi hutan serta hujan yang sangat lebat ini. Ku kebut lagi sekuat tenaga motor ini, agar kami tak tertinggal cahaya yang ada. Namun kendaraan lain lebih cepat dibanding dengan kami, kami kembali berhenti beberapa saat untuk menunggu cahaya. Tiba-tiba dari jauh samar-samar ada sinar, makin mendekat, aku segera menghidupkan mesin dan mulai merayap, kembali menapaki jalan. Tiba-tiba Pak Hamid meminta untuk berteduh terlebih dahulu.
" Kita istirahat dulu, perjalanan masih jauh, masih separo perjalanan Nak!"
Aku langsung menepi dan mengarahkan ke sebuah pos ronda di pinggir jalan.
" Kita sudah terlanjur basah Pak, apakah tidak sebaiknya kita lanjutkan perjalanan?"
" Kita istirahat sebentar Nak, Bapak agak pusing terkena air hujan."
" Bapak biasa melakukan perjalanan malam sendiri seperti ini?"
" Ya, secara kasat mata. Namun Bapak tidak merasa sendiri, para Malaikat bersama kita."
Pak Hamid menyampaikannya sambil tertawa terlihat tanpa sedikitpun ada rasa beban, beliau sangat menikmati,
" Janganlah kita merasa bersedih apabila kehujanan, pada dasarnya  hujan itu membawa berkah."
Aku hanya diam-diam makin kagum dengan  kebesaran  hati beliau, kepasrahan yang luar biasa kepada Allah dan selalu bersyukur dalam kondisi apapun.
Dua minggu berlalu, aku mulai krasan di lingkungan kerjaku. Teman kerja yang saling mendukung, ditambah lagi aku temukan keluarga baru yaitu keluarga Pak Hamid yang sudah aku anggap orang tuaku dan Hafiz dan Zahra sebagai adikku. Tiba-tiba ponselku berdering.
" Assalamualaikum...."
" Waalaikumsalam, gimana Pak Hamid ? "
" Besuk malam minggu Bapak mendapat tugas untuk menggantikan Ustadz Gufron. Nanda bisa mendampingi Bapak? Â Lokasinya tidak terlalu jauh kok, sekitar 30 menit sampai. "
" Insha Allah Bapak. "
Aku sampai di rumah Pak Hamid agak tergesa-gesa, karena ketiduran. Â Kami segera berangkat, bahkan Pak Hamid belum sempat makan sore. Kami takut mengecewakan jamaah, jangan sampai mereka terlalu lama menunggu. Tiga puluh menit kami tempuh, sampailah di tempat tujuan. Suasana tampak lengang. Â Seorang pemuda menghampiri kami.
" Assalamu alaikum Ustadz, saya mendapat tugas untuk menyampaikan kabar bahwa hari ini kajian ditunda minggu depan, karena salah satu kerabat kami di desa sebelah meninggal dunia. Semua ta'ziah ke sana. Kami mohon maaf tidak bisa mengirim kabar ini karena mendadak."
" Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun, kami ikut berbela sungkawa. Tidak apa-apa Dek, kita berjamaah shalat isya saja, kemudian kami akan berpamitan."
Usai shalat isya, kami meninggalkan masjid itu. Saat melintas di sebuah toko Pak Hamid memintaku berhenti, untuk membelikan roti putranya . Mesin motor tidak aku matikan, karena takut nanti kesulitan menghidupkan kembali. Tiba-tiba aku dikejutkan teriakan seseorang.
" Hai Kunyuk... kurang ajar kau, nantang ya !" Seorang laki-laki berperawakan tinggi besar  membentak dan menarik kerah bajuku.
" Maaf Bang, apa salah saya?"
" Hei... masih tanya apa salah mu, habisin aja Bang!" Teriak temannya .
" Matamu ... kau tak tahu siapa kami ha ?! Berani betul kau sorotkan lampu motor butut  itu. Matikan  ! "
Pak Hamid tergopoh-gopoh, " Maaf Saudara, ada apa ini?"
" Ini temanmu sengaja menantang kami dengan menyorot muka kami!"
" Oh maaf, kami tidak sengaja." Aku segera memberi isyarat kepada Pak Hamid untuk segera kabur, saat ku lihat beberapa teman mereka bangkit dan mendekat. Segera ku tancap gas, diikuti sumpah serapah mereka.
Lega rasanya terlepas dari mereka, ada rasa ngeri, melebihi kengerianku melintasi medan curam dalam gulita, untung saja bogem mentah mereka tak segera meluncur ke mukaku. Kejadian demi kejadian yang ku alami dalam mendampingi Pak Hamid makin membakar semangat juangku. Aku merasa hidup ini lebih bermakna. Banyak pelajaran kehidupan kudapatkan bersama beliau.
Sesampai di rumah  Pak Hamid, tampak pintu terbuka. Rupanya Pak Ilham sedang menunggu kami. Beliau adalah Ustadz yang menangani kasus khusus, yakni memberi bimbingan kepada kelompok preman di pinggiran kota. Pak Ilham memberikan gambaran kepada kami bahwa kelompok preman itu tidak seseram yang kita bayangkan. Mereka memang memiliki perangai yang kasar, tampak liar, namun di balik itu ada kesadaran untuk berbuat baik.
Ustadz Ilham sudah satu bulan mendekati kelompok mereka. Berawal saat salah satu mereka menodongnya dan memaksa untuk menyerahkan semua uangnya. Beliau menyerahkan semua yang diminta oleh preman itu dengan ikhlas, hal itu membuat Sang Preman terheran-heran. Saat dia bertanya kepada Ustadz Ilham kenapa tidak melawan bahkan menyerahkan semua yang diminta, beliau menjawab bahwa semua itu hanya titipan Allah, dia tak memiliki apapun, bahkan nyawanya pun, bukan miliknya. Itulah sebabnya Ustad Ilham tidak merasa takut ketika ditodong dengan pisau.
Sikap Ustadz Ilham membuat  ketua preman itu gemetar. Dia merasa ada kekuatan dahsyat yang memancar dari tubuh ustadz. Dia bersimpuh dan memohon ampun. Dengan sangat bijak Ustadz Ilham membimbing  preman itu, yang ternyata bernama Khohan. Sejak saat itu Khohan diikuti teman-temannya meminta bimbingan untuk mempelajari agama, mulai dengan pencerahan aqidah, bimbingan shalat sampai pada kesadaran berinfa'.
Aku tertarik mendengar cerita Ustadz Ilham, bahkan aku langsung menerima saat beliau meminta aku untuk menggantikan jadwalnya. Besuk pagi aku akan mendapatkan pengalaman baru. Aku simpan alamat yang beliau berikan, sambil mempersiapkan mental. Jujur meski aku penasaran tapi rasa takut menghadapi mereka tak bisa ku pungkiri.
Pukul 08.00 aku sudah sampai di alamat yang kucari. Sebuah toko yang cukup besar dan lengkap. Sederet botol minuman keras terpampang, ada rasa kikuk memasuki wilayah seperti ini.
" Ada yang bisa saya bantu ?" Seorang lelaki setengah baya menyapaku.
" Oh, mohon maaf, saya mencari alamat ini." Ku sodorkan alamat yang tertulis di secarik kertas.
" Ooo.. pengganti Ustadz Ilham? Silahkan Ustadz, mereka sudah menunggu. Silahkan menyusuri lorong ini, tempatnya di lantai bawah. Langsung saja. Apa perlu saya antar?" Tanya dia dengan sopan.
" Oh, tidak usah Bapak, saya bisa sendiri."
Aku turuni tangga menuju lantai bawah. Â Lorong ini terasa pengap. Di kanan kiri terdapat tumpukan dagangan, dan diantaranya minuman keras yang menimbulkan bau menyengat. Di ujung lorong tampak beberapa lelaki sedang bersendau gurau. Tangan mereka memegang kartu, sementara minuman tersedia di hadapan mereka. Langkahku terhenti, ada rasa ragu untuk bisa berada di antara mereka. Mampukah aku? Tiba-tiba ada rasa ragu, rasa ragu menyergap melihat penampilan mereka. Aku segera berbalik. Belum sampai kakiku melangkah, ku dengar suara memanggil.
" Ustadz... Ustadz pengganti Ustadz Ilham kah? Ayo silahkan ."
Aku kuatkan hatiku untuk melangkah. Keramahan mereka membuat hilang ngeriku.
" Assalamu alaikum... "
" Waalaikumsalam.... " Jawab mereka kompak. Aku salami mereka, di luar dugaanku mereka sangat hormat, bahkan mencium tanganku.
Seorang pemuda tinggi besar dan berkulit gelap segera mengintruksikan membereskan minuman dan kartu yang berserakan.
" Ustadz sudah datang, cepat rapikan semuanya!"
Sembilan orang yang ada di ruang itu segera bergerak, salah seorang dari mereka menawari aku dengan menyodorkan sebotol minuman. Spontan teman di dekatnya merebut botol minuman itu sambil berteriak.
" Hei...semprul kamu... apa yang kau lakukan? Â ini Ustadz kita, bukan seperti kita!" Sebuah tempelengan mendarat di pelipisnya, namun tak ada ekspresi marah sama sekali.
Sekejab ruang itu berubah menjadi rapi dan bersih. Seorang pemuda membawa air mineral dan makanan kecil, disuguhkan kepadaku.
" Monggo Ustadz, ini halal kok. Kenalkan saya Khohan, ketua preman di sini. "
" Terima kasih Kak Khohan, kenalkan saya Ahmad, saya bukan ustadz. Saya hanya diminta Ustadz Ilham untuk menggantikan menemani teman-teman di sini."
" Wow... Ustadz tidak jijik menganggap kami teman? Kami orang kotor Ustadz, tak pantas Ustadz menganggap teman kepada kami."
" Lho kok jijik ? bukankah kita sama ? yang membedakan kedudukan kita di mata Allah hanyalah ketaqwaan mereka kepada Allah. Jangan berpendapat seperti itu Kawan, di mata saya kalian kelompok pemuda yang hebat dan luar biasa."
" Ustadz Ahmad, mohon jangan menyindir kami, itu bisa membuat kami tersinggung! Saya tahu Anda seorang alim dan suci, namun tak perlu menyindir  kami  dengan menyampaikan pemuda hebat dan luar biasa. Mohon tidak memancing emosi kami!" Seorang yang dipanggil dengan panggilan Boncel itu berdiri dan tampak emosi, namun teman di sebelahnya segera menarik tangannya untuk duduk.
" Saya mohon maaf apabila saya salah bicara dan membuat teman-teman tidak berkenan. Saya menyampaikan fakta, sesungguhnya di hati saya merasakan kekaguman terhadap kalian sejak pertama saya masuk. Â Mohon maaf sebelumnya, orang awam selalu memandang sebelah mata kepada kalian, bahkan tidak jarang diannggap sebagai sampah masyarakat. Namun ternyata kalian sangat bersemangat untuk menuntut ilmu agama dan sangat memuliakan guru.Â
Sementara di luar sana, di lingkungan pendidikan formal, yang notabene merupakan wahana yang aman dan penuh etika dengan penekanan kepada pendidikan karakter, justru banyak siswa yang tidak menghormati guru, bahkan kasus di Sampang kemarin, siswa tega membunuh gurunya, hanya karena diingatkan.  Bertolak belakang dengan fakta di sini. Kalian sangat menghormati guru  dan juga sangat menghormati orang lain dengan tidak memaksakaan kehendak, sebagai contoh, kalian tidak memaksa orang lain meminum minuman keras. Inilah yang saya maksud kalian hebat dan luar biasa. "
" Ustadz, saya mohon maaf atas ketidaksopanan anak buah saya, itulah kami, mudah tersinggung, kebiasaan makan dan minum yang tidak halal inilah yang membuat kami mudah naik pitam dan selalu minta dimenangkan. Namun jujur kamipun merasa tersanjung dengan pernyaataan Ustadz Ahmad, karena selama hidup, baru kali ini kami tidak dihujat dan diperlakukan sebagai manusia." Â Khohan tampak bersungguh -- sungguh.
" Baiklah, kita sudah sama-sama faham. Inilah untungnya keterbukaan, kita bisa menyampaikan apa yang menjadi ganjalan dan mencari penyelesaiannya. Baiklah teman-teman, diskusi kita hentikan terlebih dahulu. Kita lanjutkan materi Ustadz  Ilham tentang hafalan surat-surat pendek."
" Ustadz saya usul ya, bagaimana kalau hari ini kita tidak menghafal dulu, saya lebih suka bila kita berdialog tentang masalah-masalah kehidupan. Banyak pelajaran hidup yang kami dapatkan, Ustadz sangat arif dan bijak. Ini yang membuat Ustadz berbeda dengan yang lain. Saya berjanji akan mengajari mereka menghafal surat-surat pendek. Maaf Ustadz, jelek-jelek begini saya pernah mondok, tapi salah jalan."
" Subhanallaah.... terima kasih Mas Hudi, kalau begitu Anda bisa memberikan pelajaran tambahan kepada teman-teman di luar jadwal mengaji. Saat pertemuan dengan ustadz, digunakan untuk setoran hafalan sekaligus pembetulan apabila ada kekurangannya, atau seperti yang dikehendaki di awal tadi, diadakan dialog mengenai berbagai masalah. Kita sepakati Mas Hudi akan memberikan pendampingan ya?"
" Ah saya tidak mau Ustadz..sama-sama orang bejat kok  memberi pelajaran ngaji, mau jadi apa?"
" Mas Irul, tolong jangan melihat siapa yang menyampaikan, tapi lihatlah apa yang disampaikan. Baru beberapa menit kita bersama, saya banyak mendapatkan pelajaran hidup dari teman-teman di sini. Jadi siapapun itu apabila menyampaikan kebenaran harus kita dengarkan, sebaliknya apabila ada orang terhormat namun mengajak ke hal yang tidak baik, maka kita tidak boleh mengikutinya. Baiklah, kita sepakat ya, dan saya juga menerima usulan teman-teman untuk berdialog, namun setelah hafalan, karna ini merupakan amanah dari Ustadz Ilham."
" Oh iya, kata ustad Ilham teman teman disini selalu mengumpulkan infaq di setiap pertemuan untuk kas kegiatan ? apakah hari ini sudah terkumpul ? "
" He he he . " mereka serempak bertatapan sambil tersenyum.
" Loh, kok ketawa bareng bareng. Ada apa ? "
" Tadi, kami kira tidak akan ada ustad yang datang kesini. Jadi dari pada mubadzir, kita belikan saja uang infaq itu untuk membeli minuman minuman tadi tadz "
" Semuanya ? "
" Iya lah tadz, itu aja cuma dapet 4 botol aja he he he "
" wah.. lain kali jangan di ulangi ya. Kan bisa di alokasikan untuk tambahan kas, dari pada dibelikan minuman kaya gitu lagi. Gapapa untuk kali ini, lain kali jangan he he he " karena aku faham, hati mereka sangat lembut oleh karena itu aku harus mengimbangi dari cara ku menyampaikan.
Mereka mengangguk dan  tersenyum. Saya minta mereka mengambil air wudhu dan memulai hafalan surat-surat pendek. Hudi tampak fasih, namun beberapa yang lain juga belum hafal. Aku merasa sangat bersyukur bisa diterima di antara mereka. Bahkan mereka akan mengusulkan kepada Ustadz  Ilham agar aku menjadi ustadz tetap mereka.
Usai shalat Dhuhur, Aku diajak makan siang. Di tengah makan tiba-tiba aku teringat peristiwa pada saat dikeroyok preman bersama Pak Hamid. Saat aku ceritakan , Khohan tiba-tiba berdiri menghampiriku. Â Dia menarik tanganku untuk berdiri. Pandangannya garang, ekspresinya tiba-tiba berubah. Dia menjambak bajuku. Aku benar-benar tak bernapas.
" Â Apakah Anda diperlakukan seperti ini? " Â Aku mengangguk pelan, tak mampu berkata-kata.
" Oh jadi malam itu Anda? Maafkan kami Ustadz, kami sangat berdosa."
 Di luar dugaanku Khohan mencium tangan dan berlutut di kakiku. Aku menghela napas. Benar-benar menegangkan. Ternyata dia hanya mempraktikkan kejadian itu. Aku minta Khohan berdiri dan kupeluk erat. Aku benar-benar trenyuh, apalagi saat dia memanggil Boncel dan Uyek meminta maaf kepadaku, karena mereka ikut mengata-ngataiku malam itu.
Kepatuhan dan kebersamaan sangat kental aku rasakan di sini.
" Ustadz, satu pertanyaan terakhir " tanya Khohan dengan wajah serius.
" Silahkan Khohan. "
" Saya ingin benar benar berubah tad, saya ingin tidak mengkonsumsi lagi seluruh minuman haram ini. Tapi, bagimana saya hendak menghentikan sedangkan saya justru menjual belikan minuman ini semua. Ingin rasa di hati memecahkan semua barang ini, namun pastilah saya rugi banyak. Nanti modal saya gimana ya tad, apakah Allah akan memahami saya apabila saya tetap menjual ini hingga semua miras ini habis kemudia saya tidak akan memperjual belikan barang ini lagi. "
Pertanyaan yang sulit, realistis. Ada ratusan botol yang disuguhkan di toko ini, pasti nilainya berjuta juta. Aku terdiam.
" ustad ? " ia menunggu jawabku.
" kenapa ada keraguan dalam hati ketika Allah tlah berjanji Khohan ?, bukankah Tuhanmu yang Maha pengasih yang telah menjamin kebaikan ketika kita meninggalkan suatu keburukan ? Â Allah Maha Kaya dan Maha segalanya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H