“Oh...tidak, bu. Hanya bertanya.” Dia berusaha menjawabnya dengan sewajarnya.
“Saya lupa siapa nama GMnya, boleh saya lihat struktur mall tersebut?” mobil berhenti, mereka sudah memasuki pelataran parkir mall yang luas dan tertata rapi.
“Mari, bu. Sudah sampai.”
Wita membuka kaca jendela mobil. Iya. ”Duluan saja. Nanti saya menyusul. Mengingat-ingat nama GMnya yang gampang-gampang susah.” Ragu-ragu Irina keluar dari mobil. Semoga dia tidak shock, gumamnya.
“Perasaan bukan ini nama GMnya. “ Dia mencoba mengingat-ingat nama GM yang menemuinya seminggu yang lalu di Shusi Tei. Wi...Wijaya. Ya, orang itu memperkenalkan namanya Wijaya. Tidak, dia tidak mungkin lupa. Lalu mengapa namanya...dia mencari-cari map biru tua yang dibawa Irina tadi. Siapa tahu kertas ini salah. Sebuah amplop jatuh, di dekat kakinya.
Dia membuka surat itu. Surat itu ditujukan kepadanya, Juwita Maharani. Pengirimnya adalah...Chata Mall. Tujuh tahun yang lalu. Undangan grand opening Chata Mall. Yang membuat lemas persendiannya adalah nama GM mall itu. Tangannya memegangi dadanya. “Pak putar balik. Pulang.” Pintanya terengah-engah. Dengan tangan gemetar dia meraih ponselnya, menekan panggilan cepat di angka 5, muncullah nama Irina di sana.
“Ya, halo, ibu.”
“Ir, suruh Agung menggantikan saya. Mendadak dada saya sakit. Tolong ya, Ir. “ dia memutuskan panggilannya. Cepat dia telfon Agung, kepala pemasaran yang sangat cerdas dan supel.
“Halo, ibu. Ada apa? Macet?” sebelum menjawab, Wita mengatur napasnya. Dia juga menata hatinya agar terdengar tenang.
“Dada saya tiba-tiba sakit. Jadi, tolong gantikan saya. Kamu tahu orang-orang penting Chata mall, khan?”
“Oh iya. Saya baru saja berjabat tangan dengan GMnya. Ya sudah, istirahat, bu, semoga cepat sembuh.”