Takut-takut dia duduk di samping langganan ibu Sud. Dari segi tampang, sosok di sampingnya adalah mahasiswa, sepantaran dengannya. Cowok itu hanya menggeser duduknya, tetap makan dengan cueknya. Akhirnya dia memutuskan menikmati makanannya, ada tidak adanya orang itu di sampingnya sama saja. Tak ada tegur sapa ataupun apa, menolehpun tidak.
Karena gugup dan tak nyaman, dia tersedak. Saat hendak meraih gelasnya, gelas itu malah tersenggol dah tumpah ke lantai. Dia masih terus terbatuk-batuk sampai matanya berair. Segelas air lain yang masih penuh hadir di depannya, rupanya langganan ibu Sud lah pemberi air tersebut. “Terima kasih.” Tak dilihatnya cowok itu mengangguk atau menjawab apa, melanjutkan makannya seolah tidak ada terjadi apa-apa. Sangat dingin.
♫♪
Setelah sekian lama memandangi layar, Wita memandangi taman kecil yang sengaja dibuatnya untuk melepas penat. Ditemani secangkir teh hangat, minuman tawar dengan warna keruh tidak beningpun tidak. Sebenarnya, dia ingin melupakan minuman itu, namun lidahnya telanjur jatuh cinta.
Terdengar suara ketukan pintu. ”Masuk, Ir.” Perintahnya. Irina sengaja membedakan nada ketukan pintunya, 2/5 ketukan. Agar Wita mampu mengenali kedatangannya.
“Wajahnya sumringah banget, kenapa?” masih tersenyum, Irina menyerahkan map. ”Semoga saja ini perkembangan berarti bagi perusahaan kita, bu. Ibu tahu Chata mall, khan?”
Wita tersenyum, tetapi kemudian menggeleng. ”Saya tidak pernah kesana. Kalau lewat sih sering.” Irina cengengesan, dia baru ingat, jika bosnya jarang ngemall seperti halnya pengusaha sukses yang lain.
“Mall itu cukup terkenal, terutama di kalangan shopaholic. Saya pernah sekali dua kali ke sana, tempatnya strategis, konsep dan layanannya bagus. Nah, direktur utama mal tersebut ingin Maharani Beauty membangun gerai di sana.
Dan Maharani Beauty adalah produk asli dalam negeri satu-satunya yang ditawari oleh mall tersebut. Produk lain berlomba-lomba menawarkan diri, dan kita tidak. Kesimpulannya, kita memiliki kesempatan bagus dalam hal pemasaran. Bagaimana, ibu?” sambil mendengarkan penjelasan sekretarisnya, dia membaca-baca surat kontrak yang ditawarkan Chata mall.
Sekretarisnya sudah menduga pertanyaan ini. “Tidak bisa dibilang lama, bu. Tapi bukan baru beberapa bulan, baru tujuh tahun. Tapi tidak kalah kualitasnya dengan mall-mall lain”
“Ya sudah, atur jadwal bertemu direkturnya” matanya menatap lekat nama mall tersebut. Chata mall? Cha-ta mall.