Rhere memasukkan smartphonenya ragu. Balasan pesan terakhir dari Alfa membuatnya terheran-heran. Dia melanjutkan sarapannya yang sempat terlambat itu. Tanpa melamun, seperti saran Alfa. Aku harus mengembalikan jaket dan kotak makannya besok, batin Rhere.
“Hmm....” dari arah pintu Gita datang, mengetuk-ngetukkan telunjuknya ke dagunya. Matanya mengerjap-ngerjap genit melirik kotak makan dia tangan Rhere, merasa dilihat seperti itu dia terkesiap, seperti tertangkap basah.
Gita melihat ekspresi wajah Rhere yang lucu. Pipinya memerah. “Jangan sia-siakan orang baik seperti dia. Apa kamu pikir dia tidak punya maksud tertentu?”
Alis Rhere bertaut, “Dia bermaksud jahat?” tangannya memegangi perutnya, apa makanan ini beracun? Gita mengerucutkan bibirnya, “Bukan itu, pasti ada satu alasan atau lebih yang menjadi alasan baginya untuk selalu ada buat kamu.” Rhere mengedikkan bahunya, dia tak ingin menebak-nebak tak pasti. Baginya, wajar-wajar saja jika Alfa berbuat baik kepadanya, bukankah anak itu selalu baik kepada siapa saja?
“Bukankah dia memang baik kepada siapa saja, aku...kakak sahabatnya, itu alasannya.”
“That’s right. But, can’t You see something in his eyes when he gazes You?” Rhere memalingkan wajahnya, pertanyaan Gita yang satu ini membuat nafsu makannya menghilang. Dia beranjak meninggalkan Gita yang termangu menunggu jawabannya.
Kakinya terus melangkah menuju perpustakaan. Dia lupa bahwa dia mempunyai janji dengan Lola untuk menunjukkan buku yang dicari Lola selama seminggu, novel Pride and Prejudice-nya Jane Austen.
“Hay, La. Baru ingat kalau punya janji.” Tanpa basa-basi Rhere segera mengajak Lola ke rak dimana buku tersebut tersimpan.
Lola mendekatkan wajahnya ke telinga Rhere, berbisik. “Pantes gak ketemu, orang nyempil begini” Debu tebal yang menempel di atas buku itu menunjukkan bahwa buku itu jarang disentuh siswa pengunjung perpus. Karena buku-buku di deretan tersebut tersusun rapi dan rapat, Rhere agak sulit menariknya. Belum lagi debu yang beterbangan menggelikan hidungnya, mengganggu konsentrasinya. Dia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menarik buku itu, berhasil, tapi melukai dahinya.
“Rhe!” pekik Lola yang masih terdengar berbisik, sadar tempat. Dia panik karena di sakunya tak ada selembar tisupun ataupun sapu tangan untuk luka kecil di dahi Rhere. Sebuah tangan mengulurkan sapu tangan berwarna dongker. Sigap Lola segera meraihnya. Rhere menahan perih tanpa mengaduh, lukanya tak begitu dalam.
“Terima kasih, yah. Sapu tangannya kucuci dulu?” Rhere mengikat rambutnya ke belakang, namun urung, dia baru ingat jika Alfa pasti akan panik seperti ketika dia demam tempo hari. Lebih baik dia menutupinya. “Sorry ya, Rhe”