“Minum aja sendiri.” Tetap saja Alfa menyodorkan secangkir teh, membuat Rhere tak sanggup menolak. Akhir-akhir ini dia selalu merasa tak nyaman ketika menolak permintaan Alfa. Sambil memejamkan mata dia meneguk teh itu. Rasanya tak ada beda dengan teh yang diminumnya saat pertama kali Alfa memberikannya. Tapi berbeda dengan rasa teh yang pertama kali dia minum disuruh kakak kelas ketika ospek.
“Teratai-teratai cantik itu, selalu berbisik pada kita.” Dia memekarkan tangannya di belakang telinga, seperti sedang mencari suara. Kakinya melangkah mendekati kolam teratai. “kalau hati kita sedang gundah, bisikan-bisikan mereka semakin terdengar jelas.” Pandangannya bukan lagi pandangan seorang Alfa yang kekanakan, beralih tegas dan dalam.
Tangannya memain-mainkan air kolam.”Mereka bisa terus hidup dan cantik tanpa menggantungkan diri dan merugikan. Mereka tetap bisa hidup di medium yang tumbuhan lain tak semuanya mampu hidup di sini. Lalu, mengapa kita harus berputus asa saat mereka bisa menerima dengan lapang dada?” perasaan Rhere tersentuh. Air matanya menitik, setetes saja, ingat lukisan kado ulang tahun dari papanya yang menghiasi kamarnya. Sama, lukisan itu sama dengan yang ada di kamar mamanya. Jadi... teratai itu...wanita kuat...mama.
Di hadapannya, Alfa berdiri, ibu jarinya menghapus bekas air mata di pipi Rhere, yang baru dijumpainya sore ini. Dia juga tak mengira jika kata-katanya tadi membuat Rhere menangis, itu bukan maksudnya, sama sekali. “Kakak, jadilah gadis teratai.” Didekapnya Rhere penuh perasaan. Untukku. Untuk menguatkan alasanku berada di sini, menjaga kakak.
♫♪
Tengah malam, ponsel Wita membunyikan alarm. Dengan mata mengantuk dia melihat kalender di nakasnya, tidak ada apa-apa di sana. Jika memang ada peringatan, entah itu ultah atau hari penting, dia akan melingakari tanggal itu. Nyatanya tak ada. Dia baru memeriksa peringatan di ponselnya pagi hari. Ok, dia akui dia lupa jika hari ini adalah grand opening outletnya sekaligus hari jadi Chata Mall.
Sesampainya di lobby kantornya, Irina sudah menunggu. Dia agak kesiangan karena membuat teks pembukaan untuk nanti selepas shubuh. Bukan membuat, tepatnya mengoreksi ulang. Penampilan Irina pagi ini sangat ceria dan natural. Terutama dengan efek curly di ujung rambutnya. Ini hari bahagianya.
“Pagi, ibu. Kita langsung ke lokasi saja. Agung dan yang lain sudah berangkat sejak tadi, ingin cuci mata dulu di sana.” Wita mengangguk, tadi pagi Irina sudah mengiriminya pesan untuk datang ke lokasi lebih awal, agar tak terburu-buru, plus menghindari macet.
Selama perjalanan, Irina memperhatikan Wita lekat, seolah dia ingin menbicarakan sesuatu. Tetapi Wita mengacuhkannya, dia merasa sekretarisnya seperti itu karena dia berpenampilan beda hari ini. Agak memoles wajahnya yang biasanya hanya menggunakan tabir surya dan bedak tipis saja. Dia membubuhi pipinya dengan sedikit blush on. Lama-lama dia risih juga, sudah hampir sampai tujuan Irina memperhatikannya dengan tatapan tak biasa. “Ada apa, Ir?” Irina memalingkan wajahnya, ada yang tidak beres.
“Tidak, bu. Tidak ada apa-apa.” Jawabnya gugup. Dia tertangkap basah sedang memperhatikan atasannya seperti itu. Walau dia tidak yakin atasannya itu akan percaya. Dia menelan ludahnya kelu. “Ibu yakin pergi ke sana? Bekerja sama dengan Chata Mall?” akhirnya dia memberanikan diri menyuarakan isi hatinya. Pertanyaan itu sejak tadi menggganjal di hatinya.
Wita terkekeh, pertanyaan aneh. “Kalau tidak, jauh-jauh hari sudah saya tolak tawaran itu. Memangnya kenapa?”