Minggu ujian adalah minggu yang ditunggu oleh mahasiswa pintar untuk dengan bangga memamerkan nilai A berderet rapi kepada orang tuanya. Tapi buat saya, dan mungkin beberapa teman yang satu kaum, minggu ujian adalah minggu yang kedatangannya selalu diiringi dengan keluhan. Entah hanya diucapkan atau sampai didokumentasikan dalam situs jejaring sosial.
Ujian, tiga suku kata. U-ji-an. Uji mendapat akhiran -an. Harusnya Kamus Besar Bahasa Indonesia menambah arti baru untuk kata ini. Arti barunya adalah mencetak foto, tempel di kartu peserta ujian, cek jadwal, cari nomer hp anak pintar dan rajin di kelas, sms dia, pinjam catatannya, lalu yang terakhir fotokopi.
Saya adalah mahasiswa B. Saya selalu mendapatkan nilai B. Okay tak selalu, tapi 90% nilai saya adalah B. Entah kenapa, sebodoh-bodohnya saya dalam menjawab soal, saya akan mendapat nilai B. Begitu juga jika saya belajar mati-matian. Belajar mati-matian di sini dapat didefinisikan belajar selama 15 menit di malam hari untuk ujian keesokan harinya.
Saya akan menceritakan beberapa keajaiban yang terjadi saat saya ujian. Mudah-mudahan kamu yang membaca ini terinspirasi untuk mengulang kesuksesan saya dalam berkarier di kampus. Atau setidaknya dijadikan pedoman untuk berbakti bagi universitas dan transkrip nilai.
Adalah ujian statistika I, contoh sesat dari SKS (Sistem Kejar Semalam) yang berhasil (atau gagal, tergantung parameternya). Statistika 1 adalah mata kuliah tentang kumpulan angka yang berada di dalam kotak, kemudian angka tersebut berubah menjadi simbol yang mirip huruf Yunani kuno. Setidaknya begitu yang saya lihat.
Saya, Nugraha, Bison, dan Andre mengambil dosen pengampu Statistika I yang sama. Kami janjian untuk belajar bareng sehari sebelum ujian. Kost Nugraha-lah yang menjadi media pendalaman materi (terdengar sangat akademis) saat itu. Masing-masing sudah membawa bahan materi yang akan diujikan. Semua terlarut dalam persiapan sebelum ujian. Ada yang latihan menjawab soal, ada yang baca bahan fotokopian, dan ada yang makan gorengan.
Suasana berlangsung khidmat selama dua tiga jam. Yang terlontar dari mulut kami adalah angka atau rumus. Jika orang lain melihat peristiwa tersebut, sepertinya ia akan percaya kami adalah mahasiswa rajin dan idaman mertua. Tanya jawab sudah, menghafal semua rumus sudah, mengerjakan latihan soal sudah, makan sudah, bercanda dan ngatain orang juga sudah. Serempak berhenti ketika otak dirasa sudah tidak kuat menampung informasi baru lagi. Tak terasa sudah jam tiga pagi. Padahal ujian akan berlangsung jam setengah delapan. Tiba-tiba, ide busuk muncul ke permukaan. Sangat busuk.
“Wah udah jam segini. Ini kalau tidur gue bakal bablas. Ga bakal bangun buat ujian.” Bison membuka.
“Iya nih, gue juga takut ketiduran.” Nugraha menambah.
“Sama gue juga!” Andre ikutan.
“Ya enaknya gimana?” Saya memancing.
“Begadang aja yuk?”
“Kalau begadang ga ngapa-ngapain malah ngantuk. Ujungnya malah ga ujian. Ini sayang kita sudah belajar sampe kayak gini.”
“Ya udah kalau gitu! Maen DotA saja gimana?”
“Ya udah maen DotA saja! Sampe jam setengah tujuh terus balik.”
“Tapi kalau ga tidur nanti lupa materi yang udah kita pelajari semaleman.”
“Halah, besok juga open book. Kalau lupa kan tinggal liat buku.”
“Iya juga sih, balik maen DotA jam berapa?”
“Jam setengah tujuh saja.”
“Lah mepet amat. Mandinya gimana?”
“Ya ga usah pake mandi! Ujian itu dikerjain, bukan dimandiin!”
“Oke kalau gitu!”
DotA adalah sejenis permainan strategi perang yang bisa dimainkan berbarengan via LAN. Dengan bantuan perangkat komputer tentunya. Oleh karena itu, berangkatlah empat orang jenius tersebut menuju pusat penyewaan game komputer di daerah jl. Monumen Jogja Kembali.
***
Jam memukul setengah tujuh. Sesuai kesepakatan dan keselamatan masa depan, empat orang jenius itu pulang ke kost masing-masing. Saya tiba di kost saat jarum pendek di angka tujuh, jarum panjang di angka dua belas. Jam tujuh tepat. Tak mandi, cuma cuci muka dan sikat gigi, serta sarapan rokok sebatang, saya berangkat ke kampus.
Sampai di kampus saya langsung menuju ruang kejadian perkara. Saya menempati nomer kursi yang diharuskan. Lima menit kemudian soal dibagikan. Jreeeeeengg! Begitu membaca soal nomer satu, mendadak kepala menjadi berat. Isi otak hanya asap rokok. Dan gorengan. Materi yang sudah saya hapal dan pahami sedikit-demi sedikit tergantikan rasa kantuk yang amat sangat. Konsentrasi mengerjakan soal tergantikan dengan membayangkan gambar kasur beserta bantal dan guling.
Saya tahu dengan gampang saya menyegarkan ingatan kembali dengan membuka buku. Sifat ujian yang ‘open book’ memperbolehkannya. Saat itu rasanya berat banget buat buka buku. Lebih berat lagi membuka mata. Saya mengantuk parah. Kalau sifat ujian itu ‘open your eyes’, mungkin sedikit membantu. Dua jam total waktu yang disediakan untuk mengerjakan ujian saya gunakan untuk menahan mata agar tidak terpejam. Saya sudah siap mengulang mata kuliah yang sama semester selanjutnya.
Begitu nilai keluar, huruf B berdiri di samping nama saya. Ajaib.
***
Itu baru mata kuliah Statistika I, ada juga ujian Manajemen Operasi di semester empat. Saya ingat, ujian tengah semester saya hanya mendapat nilai yang keren. Begitu kertas hasil ujian dibagikan, saya tertawa di tengah kelas. Saya mendapat prestasi yang membanggakan, nilai saya terendah di kelas. Hanya 19.
Berbekal pengalaman itu, saya pinjam hasil ujian teman yang saya anggap pintar, Aidi. Ia mendapat nilai di atas 80. Memang, ia termasuk anak yang rajin dalam urusan akademis. Saya pelajari pola jawaban dan struktur kalimatnya. Ternyata dosen senang yang bertele-tele. Yang penting panjang, jawabannya memutar-mutar dan tidak menjawab pertanyaan.
Ujian akhir dilaksanakan. Modal saya hanya belajar dari ringkasan materi tiap bab dan cara menjawab yang dosen senangi. Baru tiga puluh menit berjalan, si Aidi sudah melancarkan serangan psikis. Dia berdiri dan menuju meja pengawas ujian. Lalu meminta lembar jawab yang baru dan kembali ke tempat duduknya. Di sana, saya yakin ia pamer kalau lembar jawab yang pertama sudah habis terisi tinta pulpen dengan cara membolak-balik dengan suara berlebihan agar semua mata memandangnya.
Sialan! Saya pandangi lembar jawab saya. Agak lama. Lembar jawab masih hanya berisi nama dan tanggal. Tapi soalnya sudah penuh, dengan gambar gunung dan matahari.
Sejam ujian berlangsung, akhirnya saya bisa mengerjakan seluruh pertanyaannya. Tentu saja bisa di sini punya arti belum tentu benar. Dengan kemampuan pas-pasan saya, serta gambar gunung dan matahari, saya kumpulkan lembar jawab ke pengawas ujian.
Di dalam soal ujian ini juga terkandung pertanyaan bonus. Bobotnya lumayan buat menambah nilai. Berhubung soal lain saya kerjakan dengan semena-mena, saya berharap banyak pada pertanyaan ini. Pertanyaannya ada dua, tidak ada sangkut-pautnya dengan mata kuliah Manajemen Operasi.
- Apa nilai yang kamu harapkan dari mata kuliah ini?
Begini Bu, berhubung nilai ujian midterm saya hanya mendapatkan nilai 19, maka tidak mungkin saya mengharapkan B. Apalagi bermimpi mendapat A. Saya cukup berharap dapat lulus dengan nilai C. Itu sudah cukup sekali buat saya.
- Evaluasi kegiatan perkuliahan kita selama 1 semester yang lalu!
Subjektivitas saya, cara mengajar Ibu agak sedikit otoriter dan banyak intimidasi. Mahasiswa menjawab pertanyaan yang Ibu berikan karena takut mendapat siksaan verbal dari Ibu. Bukan karena mereka sudah membaca materi beberapa hari sebelumnya. Mereka membaca bahan kuliah bukan karena mereka ingin tahu. Tapi mereka belajar atau membaca materi supaya tidak diintimidasi Ibu dan menjadi bahan tertawaan di dalam kelas.
Saya tidak tahu apa yang membuat saya berani menjawab pertanyaan tersebut dengan kalimat sejenius itu. Itu bego banget! Begitu ujian selesai, saya menghampiri teman-teman sekelas yang sudah berkumpul beberapa meter dari ruangan ujian. Mereka masih membicarakan soal ujian Manajemen Operasi.
“Gimana ujian lo Fik? Bisa ga?” Aidi bertanya langsung ke inti permasalahan.
“Bisa dong! Bisa ngulang semester depan!” Disambut derai tawa di belasan mulut teman-teman saya.
“Eh tadi di pertanyaan bonus, lo minta nilai apa? Terus evaluasi lo gimana?”
Saya beri tahu jawaban yang sudah saya tulis ke teman-teman saya. Mereka memberi satu solusi yang sangat brilian.
“Lo mendingan nunggu 2 semester lagi saja, Fik!”
“Hah 2 semester nunggu? Buat apaan?”
“Si Ibu mau S3 ke Norwegia semester depan. Jadi kalau mau ngulang kan enak, ga bakal ketemu doi lagi.”
“Babi! Hahaha.”
Beberapa minggu kemudian, nilai ujian sudah ditampilkan di akun masing-masing mahasiswa. Aidi menghubungi saya.
“Fik, Manajemen Operasi lo dapet apaan? Bangsat gue dapet C!”
“He? Udah keluar ya nilainya? Gue belum ngecek Di! Palingan gue kagak lulus, lo tau ndiri kan gue jawabnya kayak apaan? Udah sama kayak ngisi TTS yang serebuan.”
“Ya sudah lo buruan cek sana. Gue mau ngulang, bareng saja nanti.”
“Yoi sip beres!”
Saya bergumam dalam hati, “Aidi yang panjang jawabannya ga mampu ditampung satu lembar folio saja dapet C, gimana saya?” kalau di sinetron suara gumaman hati ini dikeraskan agar penonton ikut mendengar. Saya langsung menuju warung internet terdekat.
Saya buka situs akademik. Setelah memasukkan username dan password, saya langsung menghubungi Aidi.
“Di! Semester depan gue ga mau ngulang Manajemen Operasi!”
“Kenapa? Dua semester lagi? Nunggu si Ibu ke Norwegia?”
“Engga, gue males ngulang. Gue dapet B!”
“Lo emang bangsat kayak babi! Hoki lo gede kayak anjing!”
“Hahahaha.”
***
Kalau ujian Statistika I saya lalui dengan menahan kantuk, lain lagi dengan Statistika II. Walau sebenarnya saya suka matematika, tapi statistik itu beda persoalan. Statistika itu seperti angka-angka yang dikombinasikan dengan rumus kemudian memunculkan rumus turunan baru, lalu muncul turunannya lagi. Secara kasar, statistika itu adalah ternak rumus untuk diambil keturunannya.
Dosen Statistika II adalah dosen impor. Beliau tidak berasal dari Fakultas Ekonomi, tapi dari Fakultas Matematika dan IPA. Jadi, apa yang saya harapkan dengan dosen yang sehari-harinya mengajar mahasiswa yang berkutat dengan angka? Soal bilangan prima dan KPK atau FPB.
Saya sekelas dengan Nugroho, Pakpahan, Bison, Taufiq, dan Yudis. Mereka sebelas duabelas dengan saya. Dari empatbelas kali pertemuan di kelas Statistika II, saya hanya masuk empat kali. Saya ingat, tujuan saya masuk selain untuk mengumpulkan tugas, juga untuk memberikan panduan tanda tangan agar dapat ditiru oleh teman-teman keren saya.
Alasan saya sepele, kuliah Statistika II dimulai jam tujuh pagi. Saya tidak akan bangun pagi kecuali untuk hal yang penting. Statistika II dengan dosen impor bukan salah satu hal yang penting menurut saya. Singkat cerita, ujian akhir semester sudah menunggu keesokan hari. Saya belajar, eh maksudnya saya membuka-buka buku. Melihat rumus yang terus saja memberi keturunan, saya lebih baik mendongakkan kepala ke langit, dan berharap semesta yang mengerjakan sisanya. Yang penting saya sudah usaha membuka buku.
Ujian berlangsung. Nugroho duduk tepat di depan pengawas, saya di belakangnya, lalu Bison, Pakpahan, dan Taufiq. Begitu soal dibagikan, saya tertawa. Soalnya bahasa inggris! Sekali lagi, soalnya bahasa inggris! Bukan, bukan saya tidak mengerti bahasa inggris. Tapi kombinasi angka dan bahasa indonesia saja hampir mustahil dikerjakan, apalagi dengan bahasa inggris.
Limabelas menit, lembar jawaban saya masih kosong. Bahkan setelah membaca soal tersebut, mengisi nama dan tanggal saja rasanya harus mencontek. Tigapuluh menit kemudian, saya mampu mengerjakan soal yang bobot nilainya paling kecil. Akhirnya ada coretan pulpen di atas lembar jawaban saya. Saya lihat pengawas ujian pun sujud syukur dan bernafas lega melihat hal itu.
Dan ternyata hanya soal tersebut yang saya bisa kerjakan, sisanya? Entahlah. Saat situasi dan kondisi mendukung, saya colek Nugroho sekaligus berbisik manja.
“Sstt Nug! Liat yang lo bisa dong, gue nyontek!”
Nugroho tidak memberikan contekan, ia hanya menggeleng. Dari gelengan kepalanya, saya kira Nugroho adalah orang yang jujur. Ia tidak membiarkan saya berbuat curang dengan mencontek. Kemudian ia menggeser kertas buram yang digunakan untuk corat-coret hitungan. Saya intip.
Gambar pohon beringin.
Saya tertawa. Sasaran saya pindah, kali itu ke Bison yang berada persis di belakang saya.
“Sstt Son! Liat jawaban yang mana aja deh, gue ga bisa sama sekali!”
Tak beberapa lama, Bison menyerahkan sobekan kertas buram lewat bawah kursi. Saya ambil perlahan. Saya buka pelan-pelan gumpalan kertas tersebut. Isinya: GW GA BISA, CUMAN BISA YANG INI dan jawaban soal yang sudah saya kerjakan.
Saya tertawa lagi.
Benar kata pakar, orang bisa melakukan apa saja kalau sedang dalam keadaan terjepit. Saya sedang dalam keadaan terjepit saat otak saya memikirkan ide yang sangat amat jenius dalam sejarah peradaban manusia: menyalin soal agar lembar jawaban terlihat penuh.
Akhirnya semua soal saya salin serapi dan sedetail mungkin. Bahkan saya sempat berniat untuk menambah kertas lembar jawaban. Setelah pergulatan logika, niat mulia itu tidak jadi dilaksanakan. Setelah selesai, lembar jawaban saya berisi satu nomer jawaban dan empat atau lima nomer yang lain adalah soal sepersis mungkin. Lengkap dengan tabel dan perintah pengerjaan soal.
Saat nilai keluar, lagi-lagi nilai B mengisi daftar nilai saya.
***
Keajaiban juga terjadi di mata kuliah Antropologi Ekonomi. Mata kuliah ini menjadi wajib saya ambil karena keputusan mendadak dari para petinggi kampus. Dosennya juga impor, dari Fakultas Ilmu Budaya. Dari awal kuliah, dosen tersebut menjanjikan open book saat ujian. Mendengar hal tersebut, menyentuh buku sebelum ujian adalah haram bagi saya. Saya tidak belajar sama sekali, karena saya berniat akan belajar saat ujian berlangsung. Saya santai saat ujian sudah dekat. Sangat santai.
Kenyataan berkehendak lain. Apa boleh buat, mahasiswa berusaha, dosen yang menentukan. Saat kertas ujian dibagikan saya terpaku. Tidak open book! Mendapati kata “close book” di kertas ujian itu ibarat saya berjanji dengan perempuan yang saya sukai di suatu tempat, tapi begitu sampai ia bersama pria lain. Sakit!
Lagi-lagi saya bersama Aidi. Si pintar yang sering menggunakan kepintarannya untuk perang psikis. Begitu mengetahui sifat ujian adalah close book, ia tertawa puas, karena malamnya sudah belajar maksimal. Teman-teman sekelas mengagumi kerajinan Aidi. Saya dengki.
Dan lagi-lagi Aidi menambah kertas saat ujian baru berjalan limabelas menit. Ia maju ke meja pengawas yang disusul dengan decak kagum teman-teman sekelas. Saya? Hanya menggerutu serta menulis “Bangsat!” dengan huruf kapital di atas kertas soal. Iya bangsat!
Bukan hanya mengarang bebas, saya sudah membuat cerpen yang ditulis di lembar jawaban. Saya tidak tahu apa-apa sama sekali. Dari enam soal yang ditanya, saya jawab delapan. Bahkan pertanyaan terakhirnya pun gila!
- Sebutkan nama tokoh Antropologi Ekonomi yang Anda ketahui beserta teorinya!
Di kepala saya, hanya ada nama Koentjaraningrat yang sangat melekat dengan koridor antropologi. Selebihnya saya tidak tahu. Saya tidak bisa mengarang untuk soal ini. Tidak bisa menciptakan tokoh antropolog khayalan dengan teorinya yang fiksi. Lalu otak saya yang hanya secuil berfikir cepat: saya tulis nama dosen lengkap dengan gelarnya. Teorinya? Saya rangkum dari bahan kuliah yang ia berikan.
Sebulan berlalu. Aidi datang ke saya dengan emosi.
“Kri, antrop lo dapet apa? Masa gue dapet C! Padahal gue yakin, malemnya juga gue belajar. Pas ngerjain ujiannya gue lancar kok, ga susah.”
“Oohh udah keluar ya nilainya? Pinjem laptop lo, gue mau ngecek nilai.”
Tiga menit kemudian.
“Anjiiiiiing! Hoki lo itu emang gede banget! Pasti ini gara-gara nulis nama dosennya deh!
“Hahahahahahaha!” Saya tertawa sangat puas setelah melihat nilai B.
***
Yang terakhir, Manajemen Keuangan II. Kalau mata kuliah ini tidak wajib diambil, saya lebih baik bersantai di kamar kost sambil tidur. Sayangnya, mata kuliah ini wajib. Dan sayangnya lagi, saya benci mata kuliah yang berhubungan dengan akuntansi dan keuangan. Itu terbukti dengan pengulangan mata kuliah ini sebanyak tiga kali. Dua yang pertama saya tidak mengikuti ujian karena tingkat kehadiran di bawah batas toleransi.
Apa boleh buat, kebencian saya terhadap mata kuliah ini tidak mencegah terjadinya ujian akhir. Saya datang ke ruang ujian dengan kemalasan yang memuncak. Soal dibagikan, saya terdiam. Dari enam soal yang diujikan, hanya satu soal yang bisa saya kerjakan. Itu pun dengan tingkat bobot terendah dan tingkat kesulitan untuk SD. Yakni, hanya mengkonversi mata uang Yen menjadi Dollar lalu menjadi Rupiah.
Saya hanya mengerjakan satu soal tersebut. Sisanya saya hanya menyalin soal, seperti biasa. Begitu ujian selesai, saya menghubungi teman saya yang menjadi asisten dosen pengampu Manajemen Keuangan II.
“Hei, udah ngoreksi ujian belum?”
“Udah, baru aja selesai tadi pagi.”
“Nilaiku paling rendah ya?”
“Iya, hahaha. Kamu ga bisa?”
“Bukan ga bisa, tapi ga suka!” Itu alasan yang saya berikan untuk menutupi intelejensi saya. “Emang nilaiku berapa?”
“Sori Fik, aku udah nambah-nambahin nilai yang lain. Nilai kamu cuman 29.”
“Hahahaha, ya udah makasih ya.”
Di saat saya sudah siap dan pasrah untuk mengulang mata kuliah tersebut untuk keempat kalinya, nilai yang muncul adalah B. Lewat tulisan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada kawan saya tadi. Terima kasih banyak!
Dan saya semakin percaya satu hal: Inilah keajaiban alam, aku mempercayainya.
*Tulisan lama yang saya kemas kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H