Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Judulnya Biasa Saja, Begitu Biasanya Sampai Kami Yakin Anda Tertarik Membacanya

18 Maret 2011   13:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Biasanya sebuah cerita fiksi akan dimulai dengan "Pada suatu hari". Maka, pada suatu hari tersebutlah sepasang muda mudi yang berwacana. Kita sebut saja mereka adalah Gikri dan Fita. Gikri adalah seorang pengangguran friksional sedangkan Fita sudah bekerja di sebuah perusahaan multinegara. Mereka terpisah kota sejauh sepuluh jam kereta api dan empat ratus ribu rupiah pesawat.

Diasumsikan Gikri dan Fita sedang menjalin hubungan. Mereka kasmaran. Mereka sangat bergantung pada jendela aplikasi pembawa pesan. Dengan adanya hal itu maka, mereka merasa jarak dapat dieliminasi. Memang batas antara fiksi dan fakta hanya setipis kondom.

"Hai!" Fita membuka dialog.

"Halooo!"

"Lagi apa?"

"Lagi nungguin kamu nyapa."

"Ergh!"

Perbincangan digital dimulai. Mereka berbincang - bincang cukup lama. Berbicara tentang apa saja seperti layaknya dua manusia yang sedang memadu kasih. Bahasa ini terlalu sinetron, tapi biarlah namanya juga fiksi. Dialog mereka terhenti ketika Fita harus kembali fokus ke pekerjaannya. Gikri memutuskan untuk bermain komputer.

Seharusnya Gikri makan siang, tetapi uangnya telah menipis jauh dari waktu yang seharusnya. Ia memilih menunda makan hingga pukul lima sore. Biar sekalian makan malam, pikirnya. Matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah notifikasi di aplikasi situs jejaring sosial. Ajakan untuk ikut berpartisipasi membuat kolaborasi fiksi.

"Bikin cerita fiksi yuk!" Gikri mengajak Fita menulis cerita fiksi. Gayung bersambut. Byur. Fita izin mandi terlebih dahulu. Sudah hampir setahun ajakan menulis bareng tidak pernah datang. Menulis bersama itu semacam bercinta. Harus pakai gerakan dan perasaan yang tepat untuk kemudian sampai ke puncak. Orgasmik literasi. Makanya Fita izin mandi dulu. Supaya bersih dan wangi, selain juga karena kebelet berak.

"Iyah! Kita nulis ini aja Gik! Seolah - olah kita tetangga kosan." Fita mengetik penuh semangat.

"Gue sama lo sama - sama memiliki asumsi tentang perilaku seks tetangga kosan, tapi salah semua. Misal nih, gue menyangka lo orang baik - baik, terus suatu hari gue bawa cowok gw ke kamar, terus gue takut ketahuan sama lo, lo juga gitu. Lo berpikir gue cewek baik - baik, lo juga ngumpetin cewek di kamar. Jadi kita berdua sama - sama nakal. Tapi berusaha terlihat sebagai orang baik - baik. Kasarnya, kita munafik."

"Hmmm okay." Gikri datar.

"Aneh ga?"

"Ga aneh kok."

"Tapi?"

"Iya ga aneh, jadinya ga spesial. Jadinya menurut gue itu biasa."

"Ooohh, oke."

"Semua orang pasti pengen karyanya bagus. Monumental. Kan nanti pasti heboh tuh jadinya. Kalau cerita tentang selangkangan, orang skizo, cinta, orangtua dan anak, mimpi, sampe power ranger, pasti terlihat biasa. Kenapa? Karena semuanya berusaha untuk bagus. Jadi menurutku kita nulis tentang hal remeh aja. Jadinya nanti luar biasa. Hahaha!"

Fita bengong sesaat. Baru saja dia baca halaman digital tentang ajakan berkolaborasi menulis fiksi. Bahasa lawas namun masih masa kini muncul di layar. Ilfil. Ilang Filing. Dia pikir ini cuma kolaborasi fiksi istimewa. Percintaan kata yang dia rindukan. Tapi itu semua hanya dalam angan belaka. Lupakan orgasmik literasi. Ajakannya datang karena ada okasi khusus.

"Please dehh, dari dulu kita juga udah kolaborasi. Ngapain musti lapor?"

"Sabar. Sebentar. Gue ada ide nih!"

"Gimana gimana?"

"Jadi ideku adalah, kita ga fiksi, car!"

"Kita apa dong?"

"Realita."

"Gimana caranya?" Alis terangkat.

"Ya kita dialog aja. 'Eh gimana nih? Kita nulis apa? Hmm apa ya? Pokoknya harus beda!' Gitu - gitu lah"

"Ok bisa! Bisa bangeeeet! Kita bikin dialognya dulu, terus baru kita kasih setting gitu ya!

"Iyaa! Itu maksud gue!"

Suasana kembali hidup. Tuts keyboard dipencet berulang-ulang. Musik. Panas. Berkeringat.

"Cuman sebenernya gue ga paham Gik, esensi festival kolaborasi ini. Kenapa harus difestivalkan?"

"Entahlah."

"Dan jujur menurut gue ada banyak orang yang berkolaborasi biar nambah pengunjung dan biar tulisannya dibaca. Bahasa kasarnya, kolaborasi itu adalah batu loncatan sekaligus juga wadah buat belajar."

"Ga salah juga sih. Jadi gini, sebenernya di kompasiana itu juga ada senioritas. Mau ga mau di mana - mana  pasti ada."

"Terus, hubungan senioritas sama kolaborasi?"

"Nahhh! Otomatis, yang lebih lama di kompasiana kan lebih senior. Lebih banyak kenalan toh? Diasumsikan dia orangnya rajin mengunjungi akun lainnya. Kalo misalnya gue baru di kompasiana, terus ngajakin lo yang udah senior, otomatis kan nama gue mulai dikenal. Ya sama kayak batu loncatan itu tadi."

"Iya iya. Tapi gue berusaha kembali ke esensi menulis. Maksud gue, selain dari batu loncatan itu, mengapa kita pingin kolaborasi?"

"Ngilangin galau! Hahaha!"

"Kolaborasi pertama gue itu lebih karena alasan emosional.  Gue pingin menyatu sama ni orang. Pingin paham pikiran ni orang. Pingin bisa larut dalam kata- kata ni orang. Tapi habis itu, kolaborasi berikutnya jadinya lebih ke menggambarkan suatu hal dengan sudut pandang berbeda. Jadinya kepisah - pisah."

"Hahaha! Panjang ya?"

"Habis itu udah. Jarang banget nulis kolaborasi lagi.Hahaha! Apa yang panjang?"

"Penjelasan lo tadi."

"Salah seorang penulis senior bilang, kolaborasi yang bagus itu adalah kalo kita uda ga bisa ngebedain karya yang satu dengan karya yang lain. Karena udah fusion."

"Hmmm. Kalo gitu menurutku bukan kolaborasi lagi. Jadi kolaborasi menurutku ya harus keliatan ditulis dua orang atau lebih. Kalau misalnya gini, kita berdua nulis, idenya sudah disetujui. Ya sudah! Kita nulis sesuai ide. Nah kalo di tengah jalan, gue ngerecokin tulisan lo, ya sama aja, gue cuman minta ditulisin, bukan kolaborasi lagi Hehehe! Oke kalo cuman salah ketik. Tapi kalo ngerubah tulisan lo jadi yang gue pengen, itu sama aja minta diketikin, bukan kolaborasi. Gitu menurut gue."

"Heran deh, cuma gara - gara festival gini, kolaborasi jadi terasa rumit."

"Iya bener! Yang gue tulis bener kan? Nulis tinggal nulis, mau nulis aja kok repot nyari pasangan? Terus pake daftar segala, belum nanti hasilnya dilaporin. Udah kayak bikin KTP aja"

"CUUUUUUUUT!" jeritan sutradara dari kursi hijau lipat memotong adegan.

"Kamu boleh improvisasi! Tapi jangan keluar dari inti skrip cerita dong! Improvisasi kamu terlalu hiper! Tadi awalnya udah bagus kenapa belakangnya jadi lebay? Goblok kamu! Oiya itu sekalian, lightingnya kurang jauh! Bayangannya terlalu jelas. Boomer! Kamu kurang deket! Ambiencenya ga dapet! Ayo kita ulang lagi!

Makeup artist datang tergopoh - gopoh menuju Gikra dan Fita. Ia menebalkan bedak yang mulai tersapu keringat. Gikri dan Fita mengulang adegan dari awal. Dari mereka bertegur sapa digital.

"Haii!"

"Halooo!"

"Lagi apa?"

"Lagi nungguin kamu nyapa duluan. Hehe"

"Ahh kamu bisa aja deh"

Perbincangan digital dimulai. Mereka berbincang - bincang cukup lama. Berbicara tentang apa saja seperti layaknya dua manusia yang sedang memadu kasih. Bahasa ini terlalu sinetron, tapi biarlah namanya juga fiksi. Dialog mereka terhenti ketika Fita harus kembali fokus ke pekerjaannya. Gikri memutuskan untuk bermain komputer.

Seharusnya Gikri makan siang, tetapi uangnya telah menipis jauh dari waktu yang seharusnya. Ia memilih menunda makan hingga pukul lima sore. Biar sekalian makan malam, pikirnya. Matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah notifikasi di aplikasi situs jejaring sosial. Ajakan untuk ikut berpartisipasi membuat kolaborasi fiksi.

"Bikin cerita fiksi yuk!" Gikri mengajak Fita menulis cerita fiksi.

"Iyah! Kita nulis ini aja Gik! Seolah - olah kita tetangga kosan, gue sama lo sama - sama memiliki asumsi tentang perilaku seks tetangga kosan, tapi salah semua. Misal nih, gue menyangka lo orang baik - baik, terus suatu hari gue bawa cowok gw ke kamar, terus gue takut ketahuan sama lo, lo juga gitu. Lo berpikir gue cewek baik - baik, lo juga ngumpetin cewek di kamar. Jadi kita berdua sama - sama nakal. Tapi berusaha terlihat sebagai orang baik - baik. Kasarnya, kita munafik."

"Hmmm okay."

"Aneh ga?"

"Ga aneh kok."

"Tapi?"

"Iya ga aneh, jadinya ga spesial. Jadinya menurut gue itu biasa."

"Ooohh, oke."

"Semua orang pasti pengen karyanya bagus. Monumental. Kan nanti pasti heboh tuh jadinya. Kalau cerita tentang selangkangan, orang skizo, cinta, orangtua dan anak, mimpi, sampe power ranger, pasti terlihat biasa. Kenapa? Karena semuanya berusaha untuk bagus. Jadi menurutku kita nulis tentang hal remeh aja. Jadinya nanti luar biasa. Hahaha!"

Fita bengong sesaat. Baru saja dia baca halaman digital tentang ajakan berkolaborasi menulis fiksi. Bahasa lawas namun masih masa kini muncul di layar. Ilfil. Ilang Filing. Dia pikir ini cuma kolaborasi fiksi istimewa. Percintaan kata yang dia rindukan. Tapi itu semua hanya dalam angan belaka. Lupakan orgasmik literasi. Ajakannya datang karena ada okasi khusus.

"Please dehh, dari dulu kita juga udah kolaborasi. Ngapain musti lapor?"

"Sabar. Sebentar. Gue ada ide nih!"

"Gimana gimana?"

"Jadi ideku adalah, kita ga fiksi, car!"

"Kita apa dong?"

"Realita."

"Baguus! Lanjutin!" sutradara berbicara pelan sambil mengacungkan jempolnya. Ia terlihat nyaman di kursi itu. Raut mukanya kini berseri.

Tiba - tiba tanpa diduga pintu kamar Gikri terbuka. Gikri bertanya dengan lirikan mata yang langsung dijawab dengan gerakan lengan ke atas dan gelengan kepala sang sutradara. Gikri menuju pintu. Kosong. Bulu roma Gikri vertikal. Gikri ke luar kamar kostnya. Mencari siapa yang membuka pintu di lorong bangunan. Kosong. Sutradara memberikan isyarat tangan untuk tetap melanjutkan pengambilan gambar.

Gikri kembali ke depan layar monitor, meneruskan obrolan dengan Fita. Mereka masih melanjutkan dialog yang tadi.

"Eh sori, tadi pintu kamar gue kebuka, pas gue cek ga ada orang."

"Nah loo! Apaan tuuuh?"

"Ah palingan juga angin. Lanjut ya! Iya realita."

"Gimana caranya?"

"Ya kita dialog aja. 'Eh gimana nih? Kita nulis apa? Hmm apa ya? Pokoknya harus beda!' Gitu - gitu lah"

"Ok bisa! Bisa bangeeeet! Kita bikin dialognya dulu, terus baru kita kasih setting gitu ya!

"Iyaa! Itu maksud gue!"

"Cuman sebenernya gue ga paham gik, esensi festival kolaborasi ini. Kenapa harus difestivalkan?"

"Entahlah."

"Dan jujur menurut gue ada banyak orang yang berkolaborasi biar nambah pengunjung dan biar tulisannya dibaca. Bahasa kasarnya, kolaborasi itu adalah batu loncatan sekaligus juga wadah buat belajar."

"Ga salah juga sih. Jadi gini, sebenernya di kompasiana itu juga ada senioritas. Mau ga mau di mana - mana  pasti ada."

"Terus, hubungan senioritas sama kolaborasi?"

"Nahhh! Otomatis, yang lebih lama di kompasiana kan lebih senior. Lebih banyak kenalan toh? Diasumsikan dia orangnya rajin mengunjungi akun lainnya. Kalo misalnya gue baru di kompasiana, terus ngajakin lo yang udah senior, otomatis kan nama gue mulai dikenal. Ya sama kayak batu loncatan itu tadi."

"Iya iya. Tapi gue berusaha kembali ke esensi menulis. Maksud gue, selain dari batu loncatan itu, mengapa ktia pingin kolaborasi?"

"Ngilangin galau! Hahaha!"

"Kolaborasi pertama gue itu lebih karena alasan emosional.  Gue pingin menyatu sama ni orang. Pingin paham pikiran ni orang. Pingin bisa larut dalam kata- kata ni orang. Tapi habis itu, kolaborasi berikutnya jadinya lebih ke menggambarkan suatu hal dengan sudut pandang berbeda. Jadinya kepisah - pisah."

"Hahaha! Panjang ya?"

"Ehh kamu lagi ngapain?"

"Lagi ceting sama Fita," jawab Gikri tanpa menoleh ke sumber suara.

"Brengseeeeek! Kamu ngapain coba. Ini kan drama remaja, bukan film horor! Masa iya tiba - tiba nongol kuntilanak di belakang kamar? Heyy! Ngapain sana minggir! Kamu ganggu syuting aja! Abis udah waktu gue di sini. Bangsat kamu! Itu kuntilanak dari mana?" sutradara bertanya kepada teknisi properti.

"Ga tau bos, saya ga nyiapin properti buat kuntilanak kok."

"Ya udah, suruh kuntilanaknya pergi. Dia salah studio kali."

"Bos, ini boneka bos."

Jeng jeng jeng jeng. Zoom. Zoom. Zoom. Zoom. Tidak mungkin. Sutradara itu memaki dalam hati. Dia yakin bahwa tadi kuntilanak itu bukan boneka. Olah tubuh macam itu tidak mungkin dihasilkan oleh boneka.

Jam menunjukan pukul dua pagi. Adegan diulang lagi dari awal.

Diasumsikan Gikri dan Fita sedang menjalin hubungan. Mereka kasmaran. Mereka sangat bergantung pada jendela aplikasi pembawa pesan. Dengan adanya hal itu maka, mereka merasa jarak dapat dieliminasi. Memang batas antara fiksi dan fakta hanya setipis kondom.

"Hai!" Fita membuka dialog.

"Halooo!"

"Lagi apa?"

"Lagi nungguin kamu nyapa."

"Ergh!"

"CUUUUUUUT ! Ah! Ssekarang susah dapet momennya lagi. Skip saja lah ke adegan yang lain. Ayo di skip saja yang ini. Lanjut yang ciuman. Mana property tempat tidurnya? Eh jangan yang kolam renang saja apa? Eh kalian ayo cepat ganti bajunya. Pake bikini yang tutul aja. Itu gambarnya mau buat poster sekalian." Sutradara sibuk mengatur kiri kanan.

"Gik, jadi kita mau nulis apa nih?" Fita berbisik mengetik.

"Nanti sajalah, kita take ciuman dulu."

"Aku mau kolaborasi dengan bibirmu."

"Baru nanti kita buat lagi."

"Kamu yang ngepost ya. Tanggal 18 Maret jam delapan malam. Aku kan ga bisa. Aku masih training."

"Aku juga ga bisa. Aku berangkat ke Semarang Jumat malam."

"Ya sudah, kan tanggalnya bisa dipublish otomatis"

"Kamu yang publish."

"Iya. Aku yang publish."

"Gik, jadi kita mau nulis apa nih?" Fita berbisik mengetik.

"Nanti sajalah, kita take ciuman dulu."

=FIN=

---------------------

*Maaf kami publikasi duluan. Saya dan Gita sama - sama tidak bisa memposting di waktu yang disepakati, maaf. Saya sedang training dan Gita sedang keluar kota dengan akses internet terbatas. Hehe.

**Untuk membaca tulisan para pesera FFK yang lain, silakan klik >> KampungFiksi@Kompasiana.

[JogJakarta. 14 Maret 2011. Fikri dan Gita]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun