“Tidak ada alasan lain. Dengar aku, ayahmu menyuruhku untuk menjauhi kau dengan Ben…” ia menarik nafas, “Kala itu saat sekarat menjemput ayahmu, beliau mengetahui bahwa ayah Ben-lah yang menembaknya dengan peluru dipistolnya-“
“Ayah Bram?!” pandanganku lantas hancur. Pedih.
“Iya, dan ayahmu berpesan padaku untuk mengawasimu dari keluarganya. Beliau ingin menjagamu, nak. Begitupun aku.”
Emosiku sangat meluap, langkah kaki ini membawaku pada Gedung Fakultas Ekonomi. Sepanjang jalan aku hanya bisa menitikkan buih-buih airmata karena aku tak mungkin marah pada keadaan yang sedang menimpaku kini. Orang-orang yang hadir di kehidupanku hanya bisa mengobrak-abriknya tanpa pernah tahu rasa tanggungjawab itu seperti apa.
Ayahku telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa setelah peristiwa penembakan terjadi, kala itu aku sedang mengikuti sidang di mana seharusnya aku sudah bisa lulus kuliah di tahun lalu. Namun Bram tidak mempersilahkanku menyambar toga itu dan ia memutuskan bahwa aku akan tetap tinggal di kampus ini. Sejak saat itu, aku sangat marah pada Bram. Aku mengalami frustasi berat. Semuanya menimpaku dengan penuh lara. Dunia ini terasa sangat gelap hingga aku tak berani membuka mataku kembali.
Ku dengar dosenku yang bernama Bram Evandien pun tiada beberapa hari setelahnya.
***
Ben.
Seiring waktu, aku tak pernah absen untuk tinggal di perpustakaan ini di tiap malam. Hingga malam dingin dimana tebalnya jaket ini bahkan tak sanggup lagi menghangatkanku, aku masih menunggu Evly.
Perkara menunggu, insan manakah yang diberi kesabaran yang besar untuk menanti? Kata menunggu dalam daftar kamusku adalah sebuah pekerjaan yang sangat membosankan, bahkan menyakitkan ketika yang ditunggu itu tak pernah menampakkan batang hidungnya. Namun ketika aku harus menunggu Evly, yang sudah tertulis di kamusku tampak salah. Salah besar.
Kini bagiku menunggu adalah sebuah harapan. Sebuah harapan di mana aku bisa melihat senyumnya yang menyungging. Sebuah harapan di mana aku bisa memandang bola matanya yang indah. Sebuah harapan di mana aku dapat menyentuh wajahnya. Sebuah harapan di mana aku dapat menggandeng tanggannya, menggenggamnya hingga semesta sulit memisahkan kami. Karena kasih sayang yang kami miliki terlalu besar.