Mohon tunggu...
Fitriana Eka
Fitriana Eka Mohon Tunggu... -

Sabar aja denger ocehan gue....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Eventhe [Cerpen]

2 Januari 2014   15:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:14 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Eventhe

Cerpen Fitriana Eka S.

Evly.

Lihat. Lelaki berbalut kemeja hitam itu duduk di sana, dengan memegang sebuah buku di antara kedua lengannya, terlihat sangat bahagia, duduk pada kursi yang terletak di meja tengah tempat di mana aku pernah mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Hingga kini, kabut luka ini masih mengalir perih dalam irisan nadiku yang akhirnya membuatku menjelma bagai sebuah buku dua tahun belakangan ini.

Universitas Gajah Mada, universitas ini terkenal sebagai universitas tertua di Indonesia. Tempat di mana banyak mahasiswa rela merantau untuk memetik buah ilmu yang kelak akan membawa mereka pada masa depan yang cerah. Seperti bagaimana takaran sukses di kalangan manusia, sukses hanya milik mereka yang berusaha, bukan mereka yang hanya tinggal diam. Sayangnya, aku adalah bagian dari mereka yang gugur.

“Malam nona.”

“Kau? Bram Evandien?”

“Kau rupanya mengingatku.”

Aku tak menyangka akan bertemu Bram Evandien disini, Perpustakaan Unit Dua. Ia tampak banyak berbeda, kulitnya mulai mengkerut terlebih pada bagian dahi, rambutnya pun mulai memutih seperti putihnya lembar buku yang sedang ku rapihkan kini.

“Ada apa kau menemuiku?”

“Nona Eventhe. Bagaimana kabarmu?”

“Ah, kau tidak perlu berpura-pura perduli. Kau bahkan meninggalkanku saat sidang berlangsung. Aku memang ditakdirkan untuk tetap berada di tempat ini.”

“Sampai kapan kau tetap mengganggu?”

“Mungkin, saat aku tahu cinta itu bisa mati saat dibunuh.”

“Kau jatuh cinta?”

Aku bungkam saat sang kunang sibuk mencari indungnya.

“Baiklah. Jika kau butuh sesuatu temui saja aku di Balairung sana.”

Mataku tercekat. Nafasku terengah. Tubuhku terasa bagai es yang membeku. Ya, aku menemui diriku yang hampir tak sadarkan diri. Rupanya Bram menghuni tempat ini juga.

Bram Eventhe merupakan salah satu dosenku saat aku menjadi salah satu mahasiswi yang mengambil jurusan Ilmu Ekonomi. Ia tinggal di sekitar kompleks rumahku. Umurnya hanya berbeda 4 tahun denganku. Yang kutahu ia tak memiliki kebutuhan ekonomi yang cukup hingga suatu hari orangtuaku menyarankannya untuk menjadi salah satu dosen di kampusku. Sejak ia diterima menjadi dosen, sikapnya manis kepadaku. Namun, ia tampak sangat membenci keberadaanku sejak ia tahu bahwa aku tak memiliki kecerdasan otak seperti layaknya mahasiswa lainnya. Hingga saat waktu sidang datang, ia tidak membiarku bangga dengan sebuah toga di atas kepalaku. Tangisku pecah sederas hujan yang turun beberapa hari setelahnya.  Apakah balas budi itu tidak selalu setimpal?

***

Evly.

Jika aku dapat melihat hujan disertai pelangi, bertemu nada disertai sebuah piano, menjumpai malam disertai bintang, memandang cermin dengan sebuah bayangan, lantas apa suatu hari aku akan menemukan diriku berdampingan dengan seorang kekasih? Ya, karena yang ku tahu jatuh cinta itu indah, menghabiskan hari demi hari merajut untaian kasih sayang hingga membuat semesta iri pada rengut tawa sepasang insan tersebut. Tapi, jika dunia antara aku dan dirinya saja terpisah maka bagaimana ia dapat melirik bola mataku yang indah ini?

Ben Martiz, nama lelaki itu. Dia telah berjanji akan menemui ku pada malam jumat. Di waktu yang sama, di tempat yang sama, di Perpustakan Unit Dua. Tapi apa wujud janji manusia? Batang hidung Ben tak pernah terlihat. Bahkan hingga matahari menjemput pagi, Ben tak juga datang.

Pertemuanku dengan Ben berawal dari sebuah ketidaksengajaan yang mengalir begitu saja. Ben adalah seorang pelajar yang terkenal dengan kepintarannya, ia sering kali datang ke perpustakaan kampus ini untuk membaca buku-buku yang bahasanya cukup berat. Kala itu ia sedang sibuk dengan sebuah buku karangan Murkami di Perpustakaan Unit Dua. Duduk santai dengan tampak dihantui oleh peringatan “Jangan ganggu. Saya sedang sibuk dengan dunia saya, membaca.” pada pundaknya. Aku belum sempat memandang wajahnya.

Di malam itu, Ben tampak terusik dengan keberadaanku. Dapat ku lihat sendiri bahwa bulu kuduknya mulai berdiri dengan gagah gelagap. Nafasnya sedikit tercekat. Ia memandang daerah di sekitarnya dengan penuh rasa takut, terlebih tampak waspada. Ia mencoba menarik nafas, menenangkan diri. Akhirnya aku memutuskan untuk menjelma bagai seorang penjaga perpustakaan. Langkah kakiku pun berhenti tepat di hadapannya.

“Kau siapa?” ia terperanjat.

“Kenalkan namaku Evly, aku penjaga perpustakaan ini.”

“Perpustakaan ini? Padahal sudah hampir satu tahun aku tak absen menghampiri perpustakaan ini, namun tak pernah ku temui gadis bermata indah sepertimu, terlebih di malam hari.”

“Iya. Aku baru di perpustakaan ini. Seberapa sering kau datang kemari?”

“Kapanpun aku merasa kosong. Hanya bait demi bait kalimat ini yang rela mengisi kekosongannya. Kadang jika aku terlalu terbuai, waktu malamku pun aku habiskan di sini.”

“Semenarik itukah mengunjunginya?”

“Tentu. Apalagi ditemani seorang gadis secantik dirimu.”

Aku sontak kaget hingga terbatuk. “Kau berlebihan. Apa kau tidak takut?”

“Jangan panggil aku lelaki jika pada gelap saja aku takut. Sebenarnya, tadi nyaliku sempat ciut, ternyata kau yang datang.” ia tersenyum. Sungguh tampan.

Di malam itu pun kami saling berbagi pengalaman, tentang suka maupun duka yang terjadi pada Ben maupun terjadi padaku. Langit-langit ruang mungkin mengerti bahwa aku mulai jatuh cinta pada pandangannya yang selalu hangat. Jatuh hati pada cara ia menyampaikan kalimat demi kalimat yang tertata rapi hingga gelap malam merangkul kami dalam buaian kasih. Aih, pesonanya sungguh memikat.

***

Evly.

Di kampus yang memiliki luas kawasan sekitar 183,36 hektar ini terdapat gedung-gedung tua yang terletak di bagian selatan Universitas UGM. Tepatnya di depan kopma, satu dari beberapa gedung di sini adalah bangunan berlantai tiga, di mana Perpustakaan Unit Dua juga berada pada gedung tersebut.

Di lantai pertama digunakan untuk bagian administrasi, data, mushola, dan cybernet. Sedangkan di lantai kedua murni digunakan untuk buku-buku perpustakaan. Lalu di lantai tiga dikhususkan untuk official sebagai operasional radio universitas setempat, Swaragama. Pengurus kantor maupun mahasiswa hanya berlalu lalang di  sekitar gedung ini sekitar pukul 06.00 sampai pukul 16.00 WIB. Selebihnya gedung segera dikunci oleh para satpam.

Maka, hanya orang-orang yang menantang nyali saja yang memutuskan untuk tetap berada di sini hingga senja datang, karena satpam akan menguncinya di dalam, kecuali memang ada keperluan yang harus diselesaikan.

Termasuk Ben, ia adalah orang yang sangat nekat menurutku.

Lewat masa, Ben lebih sering mendatangi perpustakaan di malam hari. Ia rela membiarkan seorang satpam mengunci pagar gedung sedangkan dirinya berada di dalam ruangan sendirian. Menungguku. Menenggelamkan segala rasa takutnya di dasar alam bawah sadarnya. Sungguh, bagaimana kehadirannya bisa tak membuatku jatuh cinta semakin jauh?

Aku tidak menyegerakan diri menghampirinya. Setelah ia menaruh tasnya pada meja tengah itu, lengannya mulai mencari buku yang akan dibacanya pada rak berlapiskan cat hitam. Sebuah rak yang selaras dengan suasana ruangan di perpustakaan ini.

Tanpa ku sangka, tiba-tiba Ben tertuju pada sebuah buku yang memiliki bentuk oval dengan sebuah cermin pada bagian covernya. Ia memandangnya dengan heran, matanya menyipit ketika mengetahui bahwa buku tersebut memancarkan cahaya yang cukup menyilaukan matanya.

Aku hampir saja mati mematung. Karena tak memiliki pilihan lain, akhirnya sayup-sayup aku mengeluarkan suara isakan tangis, membiarkan beberapa benda seperti kursi maupun buku-buku di sekitar berterbangan di atas ruang perpustakaan, dan ku biarkan diriku melayang di antara langit-langit ruangan. Ben terperanjat, keringatnya dengan mudah mengalir di sekitar wajahnya. Kali ini wajahnya benar-benar putih, pucat pasi. Kakinya memberi ancang-ancang untuk segera meninggalkan ruang perpustakaan. Aku pun menghentikannya. Yang terpenting bagiku adalah Ben tak sempat hati mengambil buku tersebut.

Sebuah gaun nan cantik pun segera aku gunakan. Dengan angkuh aku berjalan menggunakan sepasang sepatu yang menimbulkan bunyi “Tuk, tuk, tuk.” untuk menghampiri Ben. Jantungnya sempat berdetak tak selaras ketika ia menemui sosok aku di hadapannya, ia menghela nafas panjang. Lalu tersenyum.

“Akhirnya kau datang.”

“Ada apa denganmu? Kau baik-baik saja bukan?” mimik mukaku dengan pandai menunjukkan kekhawatiran.

“Ak.. Aku tidak apa-apa.”

“Sungguh? Mukamu sangat pucat. Sini biar ku usapkan keringatmu.”

Ben mengizinkan tanganku mengusap wajahnya. Ini merupakan pertama kalinya aku memandang wajah Ben lebih dekat, bahkan aku bisa menyentuh wajahnya meski harus melalui perantara sebuah sapu tangan yang ku gunakan, pandangannya semakin membutakanku.

“Kau sungguh cantik dengan gaunmu.”

Aku hanya tersenyum simpul membalasnya. Rupanya aku bukan hanya saja pandai mengubah mimik mukaku menjadi mimik wajah seorang yang khawatir. Aku juga pandai menyembunyikan rasa gugup akan rayuannya yang membuatku jatuh dalam jurang yang sangat nyaman tersebut. Setelah selesai membersihkan, ia mengambil posisi duduk tepat di depanku. Aku terkesima.

“Terimakasih, cantik. Ehm Evly, sebenarnya sudah lama aku ingin membicarakan suatu hal kepadamu.” Ah, aku sangat suka caranya menyebut namaku.

“Kembali kasih. Boleh, tentang hal apa itu Ben?”

“­Sebenarnya aku ingin mengutarakannya sejak kemarin, tapi ku kira sekaranglah waktu yang tepat. Sejak awal aku bertemu denganmu, aku merasa aku mulai tertarik denganmu. Maka aku lebih sering bermalam di perpustakaan ini, untuk menemuimu. Apa kau mengizinkannya jika aku mendampingimu?” tangannya meraih sebuah bunga yang sedikitnya telah gugur akibat kepanikannya tadi.

Kala itu, Ben mengikrarkan cintanya di perpustakaan ini, tempat dimana aku pernah mengalami hal yang tak pernah ku inginkan, direstui oleh ratusan buku yang terkemas dalam rak buku, namun sepasang kaca jendela pun tiba-tiba pecah. Aku melihat Bram diiringinya.

“Cinta kita ternyata tidak ringan, mereka saja tak sanggup menanggungnya.” Balasku menunjuk pada sepasang jendela yang telah hancur berkeping.

***

Evly.

Aku menundukkan kepalaku. Lalu melipatkan kedua kakiku dan ku biarkan kedua tanganku memeluknya. Mencoba menerawang hal-hal janggal. Mengapa orang yang saling jatuh cinta harus jatuh terlebih dahulu sebelum mendapatkan cintanya? Mengapa mereka yang hanya bermain dengan kekasihnya diberi jalan lebih mudah untuk menempuhnya? Mengapa waktu tak pernah menjawab semua pertanyaan basi tersebut? Ah, aku menghela nafas.

Tiba-tiba Bram Evandien datang di tengah pertengkaran antara logika dan hati ini.

“Kau sebaiknya menjauhi Ben.” ucapnya menghakimiku.

“Tapi aku tidak bisa.”

“Seharusnya kau membunuhnya, bukan mencintainya!” Bram membentak.

“Tapi, bram-”

“Tidak ada alasan lain. Dengar aku, ayahmu menyuruhku untuk menjauhi kau dengan Ben…” ia menarik nafas, “Kala itu saat sekarat menjemput ayahmu, beliau mengetahui bahwa ayah Ben-lah yang menembaknya dengan peluru dipistolnya-“

“Ayah Bram?!” pandanganku lantas hancur. Pedih.

“Iya, dan ayahmu berpesan padaku untuk mengawasimu dari keluarganya. Beliau ingin menjagamu, nak. Begitupun aku.”

Emosiku sangat meluap, langkah kaki ini membawaku pada Gedung Fakultas Ekonomi. Sepanjang jalan aku hanya bisa menitikkan buih-buih airmata karena aku tak mungkin marah pada keadaan yang sedang menimpaku kini. Orang-orang yang hadir di kehidupanku hanya bisa mengobrak-abriknya tanpa pernah tahu rasa tanggungjawab itu seperti apa.

Ayahku telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa setelah peristiwa penembakan terjadi, kala itu aku sedang mengikuti sidang di mana seharusnya aku sudah bisa lulus kuliah di tahun lalu. Namun Bram tidak mempersilahkanku menyambar toga itu dan ia memutuskan bahwa aku akan tetap tinggal di kampus ini. Sejak saat itu, aku sangat marah pada Bram. Aku mengalami frustasi berat. Semuanya menimpaku dengan penuh lara. Dunia ini terasa sangat gelap hingga aku tak berani membuka mataku kembali.

Ku dengar dosenku yang bernama Bram Evandien pun tiada beberapa hari setelahnya.

***

Ben.

Seiring waktu, aku tak pernah absen untuk tinggal di perpustakaan ini di tiap malam. Hingga malam dingin dimana tebalnya jaket ini bahkan tak sanggup lagi menghangatkanku, aku masih menunggu Evly.

Perkara menunggu, insan manakah yang diberi kesabaran yang besar untuk menanti? Kata menunggu dalam daftar kamusku adalah sebuah pekerjaan yang sangat membosankan, bahkan menyakitkan ketika yang ditunggu itu tak pernah menampakkan batang hidungnya. Namun ketika aku harus menunggu Evly, yang sudah tertulis di kamusku tampak salah. Salah besar.

Kini bagiku menunggu adalah sebuah harapan. Sebuah harapan di mana aku bisa melihat senyumnya yang menyungging. Sebuah harapan di mana aku bisa memandang bola matanya yang indah. Sebuah harapan di mana aku dapat menyentuh wajahnya. Sebuah harapan di mana aku dapat menggandeng tanggannya, menggenggamnya hingga semesta sulit memisahkan kami. Karena kasih sayang yang kami miliki terlalu besar.

Di gedung selatan, aku kembali mendaki setiap undakan pada tangga. Sekilas siur udara dingin lewat sepertinya menolak kehadiranku, aku tetap berjalan pelan. Mencoba mengacuhkan.

Sesampainya di Perpustakaan Unit Dua, aku menjatuhkan tubuhku pada sebuah kursi dimana beberapa hari lalu Evly menghampiriku. Hah, menyakitkan. Ini sudah hari ke delapan tapi aku tak juga bertemu dengannya. Akhirnya aku menfokuskan pikirkanku pada deretan kata  yang tercetak di dalam novel, tapi konsentrasiku terpecahkan. Buyar. Belum sempat aku mengembalikan novel yang ku pegang.

Tiba-tiba makhluk yang tak ku kenali bentuknya melayang di langit-langit ruangan.Tuhan, wajahnya abstrak, mengalir darah disela pori-pori kulitnya. Tanganku meraih rak buku terdekat, berancang-ancang untuk lari. Lalu sayup lunglai aku mendengar isak tangis yang sangat jelas, terdengar teriakkan keras. Jantungku benar-benar tak bekerja, mungkin mati rasa.

Kali ini benar sepotong tangan benar-benar melayang di atas kepalaku. Aku panik bukan main, ini lebih parah dibandingkan kejadian terakhir yang menimpaku. Kemudian semerbak bau amis mengisi ruangan. Kepalang lemah, akhirnya aku menjatuhkan tubuhku.

Saat aku tersadar, subuh telah menjemput malam. Aku telah terbaring pada sebuah ranjang di ujung perpustakaan. Rasanya sungguh kapok. Hampir saja nyawaku hilang di kampus yang konyol ini. Aku mencoba membangunkan tubuhku dari kasur, lalu mataku menemukan sepucuk surat yang tergeletak di meja yang berada di samping kasur.

Temui aku esok hari, kala senja datang menjemput, masih di tempat yang sama, Perpustakaan Unit Dua. With love, Evly.

Aku terperanjat.

***

Evly.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk keluar dari jelmaan buku itu. Dengan mata yang cukup lebam, aku kembali bersiap dengan gaun putih favoritku. Aku menunggu. Menunggu dan terus menunggu. Hingga senja kembali disusul bintang malam, Ben tak kunjung datang. Sampai adzan subuh terdengar merdu pun batang hidungnya tak terlihat.

***

Ben.

Sejak mendapatkan surat itu, nyaliku mengerut bagai seekor siput yang bersembunyi dalam cangkangnya. Aku tak berani mendatangi perpustakaan tadi malam. Tubuhku pun menggigil sampai tak tertahankan lagi. Tapi karena janjiku pada sepucuk surat ini, akhirnya aku memaksakan diriku pergi ke perpustakaan. Meskipun telat, aku berharap aku dapat menemui senyum Evly di ujung perpustakaan.

Aku menyusuri sela-sela perpustakaan. Satu, dua, tiga rak buku telah terlewati. Sampai akhirnya aku menggeletakkan diriku pada meja tengah yang tak lain adalah tempat favoritku dan Evly berbincang. Tiba-tiba, tanganku menarik sebuah surat. Dengan cemas aku membuka amplop itu perlahan. Membacanya dalam hati.

Ben, maaf aku tak menemuimu beberapa hari belakangan. Aku tak memiliki cukup nyali untuk membiarkanmu melihat mataku yang bengkak akibat tangis derasku. Kau ingat saat ku bilang cinta kita terlalu berat hingga sepasang jendela saja pecah berkeping? Ya, cinta kita terlalu kuat. Aku bimbang Ben harus bagaimana.

Aku ingin sekali menemuimu, tapi Bram melarangku. Ia bilang kau adalah anak dari seseorang yang membunuh ayahku. Dan di akhir mautnya ayahku menitipkan padanya untuk menjauhiku dari keluargamu, aku tidak bisa mengelak permintaan ayah. Akhirnya aku hanya bisa mengurung diri, tak perlu kau tanyakan, aku jauh lebih terluka.

Lagi pula dunia kita jauh berbeda, sangat jauh. Aku telah tenang di alam kuburku, aku adalah mahasiswa abadi di kampus ini, kau pernah dengar bukan? Tak lama setelah sidang berlangsung dan aku gagal menyudahi pendidikanku, aku ditelfon oleh salah satu pihak rumah sakit bahwa ayahku sekarat. Karena tak mampu lagi menopangnya, akhirnya aku berlari dari perpustakaan ke arah Fakultas Ekonomi lalu aku menggantungkan diriku di sana.

Yang selalu mengganggu kalian itu aku. Yang menimbulkan suara isak tangis itu aku. Yang menyebarkan semerbak amis itu aku. Yang membiarkan beberapa benda melayang-layang di langit-langit itu aku. Yang sesekali menampakan diri itu aku. Aku.. aku hanya tak tahu lagi di mana tempatku harus berbagi. Tapi jujur, aku sempat menghentikannya ketika aku mulai jatuh hati padamu.

Kau ingat saat kau ingin menyetuh buku berbentuk oval pada rak buku lalu kejadian aneh menimpamu? Itu aku, aku yang melakukan karena aku tak ingin kau tahu bahwa aku tidak ada di duniamu. Aku sengaja karena ku pikir esok masih akan ada hari di mana aku bisa menghabiskan waktuku bersamamu. Tapi malang, Bram mengetahuinya dan sejak itu aku benar-benar dicekal.

Tentang kejadian buruk yang sampai membuatmu pingsan, itu ulah Bram. Aku datang telat hingga aku hanya menemukan tubuhmu di lantai. Lalu aku membawamu ke ranjang, menitipkan memo di meja. Berharap kau akan datang esok hari untuk menemuiku, tapi ternyata tidak. Sebelum aku dikurung kembali oleh Bram, aku hanya menitipkan surat pada perpustakaan ini.

Terimakasih atas waktu yang pernah kau luangkan untukku. Aku tak pernah melupakan cinta yang sesaat itu, aku tahu aku akan terus mengabadikannya di lubuk hati ini. Berharap kau melakukan hal yang sama. Ben, kau akan tetap menjadi tempat bersandarku yang selalu hangat. Satu lagi, nama asliku Eventhe.

Aku tak kuasa menahan airmata ini, “Bagaimana bisa ayahku menembak ayahmu? Ayahku bahkan tak mengenal keluargamu Nona Eventhe. Aku jatuh cinta karena memang aku mencinta-”

Samar bayangan seorang lelaki menghampiriku. Mengangkat tangannya, lalu tanpa ancang-ancang sebuah peluru pun meluncur lantang tepat di kepalaku. Duniaku pun berbalut awan hitam dalam sekejap.

***

“Apa yang kau cari Nona Eventhe?” suara Bram terdengar mengganggu.

“Ben.”

“Ia sudah kalah di medan perang, sayangku.”

“Bram?! Apa maksudmu?” emosiku terpancing.

“Aku menembaknya, ia tak sama sekali salah. Yang salah itu aku, aku yang mencintaimu.”

***

Note: Setelah sekian lama nggak nulis, apalagi bikin cerpen. Akhirnya gue nulis cerpen juga. Ini mungkin cerpen terserius gue. Jangan lupa tinggalin komentar atau saran ya guys. Newbie masih tahap belajar nih. Thank you

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun