Dalam upaya penegakan hukum, tanggungjawab bukan saja dibebankan pada pemerintah dan aparat hukum saja, tetapi juga melibatkan masyarakat secara umum.Â
Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk menegakkan hukum melalui berbagai cara seperti tidak melanggar peraturan dan tata tertib yang berlaku, menghormati tatanan norma yang berlaku di masyarakat atau bersedia mengikuti prosedur hukum yang telah ditetapkan.Â
Sikap kooperatif masyarakat dalam upaya menegakkan hukum dapat membantu pemerintah dan aparat hukum guna mencapai supremasi hukum di Indonesia.Â
Dengan tercapainya supremasi hukum, maka dapat terwujud beberapa hal seperti integritas sumberdaya manusia yang meningkat, keadilan sosial secara menyeluruh, terjaganya nilai moral bangsa, terciptanya masyarakat yang demokratis serta dapat memberikan jaminan perlindungan hak individu dalam bernegara dan bermasyarakat.Â
Selain itu, tatanan nilai dan norma yang ada di masyarakat akan lebih teratur dan terarah.
Ketika masyarakat menjadi salah satu komponen utama dalam upaya penegakan hukum guna mencapai supremasi hukum di Indonesia, maka kepercayaan publik terhadap produk-produk hukum di Indonesia menjadi satu syarat mutlak yang harus terpenuhi.Â
Tanpa adanya kepercayaan publik, maka akan sulit supremasi hukum tercapai di Indonesia.
Krisis kepercayaan publik terhadap upaya penegakan hukum akan berimbas pada sikap dan mentalitas masyarakat yang jauh dari hukum itu sendiri. Akibatnya, masyarakat cenderung lebih bersikap apatis dan anarkis dalam upaya penegakan hukum di lapangan.Â
Masyarakat akan kehilangan arah dan acuan dalam menyikapi suatu persoalan hukum. Segala bentuk pembenaran-pembenaran dalam menyelesaikan suatu persoalan hukum akan tumbuh subur.Â
Lebih fatal, masing-masing masyarakat merasa bahwa mereka adalah "aparat hukum" yang bebas menindak atau menghukum tanpa melibatkan aparat hukum yang sebenarnya.Â
Contohnya dapat kita lihat pada kasus-kasus aksi vigilantisme atau aksi main hakim sendiri yang marak terjadi di beberapa waktu belakangan ini, seperti kasus pengeroyokan pada seseorang yang diduga pencopet, kasus pembakaran hidup-hidup pada terduga pencuri amplifier milik mushala di Bekasi atau pemukulan dan penyiksaan pada individu yang dilakukan oleh sekelompok geng motor, dsb.
Saat ini kita tengah dihadapkan pada era milenial yang serba digital dimana era modern ini ditandai dengan revolusi teknologi informasi yang serba canggih dan cepat sehingga akses untuk memperoleh informasi menjadi sangat mudah dan dapat dilakukan oleh seluruh kalangan masyarakat hanya dengan berbekal gawai dan koneksi internet.
Dengan lahirnya revolusi teknologi informasi maka kejahatan hukum juga berkembang pesat dengan konsep yang lebih modern. Jika dulu kejahatan terjadi secara langsung dan kasat mata, kini kejahatan dapat terjadi secara maya, terselubung dan cenderung tidak dapat terdeteksi.Â
Kejahatan demikian disebut cybercrime, yaitu kejahatan yang terjadi di dunia cyber, seperti penyebaran berita hoaks, bullying, hate speech, pornografi dan pornoaksi, deface atau hacking, carding, cybersquatting, judi online, probing dan port scanning, dll.
Dengan kemudahan dan kebebasan dalam menggunakan gawai dan internet, masyarakat sangat rentan terlibat dalam aksi cybercrime karena pada dasarnya mereka adalah pengguna gawai dan internet yang aktif.Â
Tanpa dibekali mental dan pengetahuan yang tepat dalam menggunakan gawai dan internet, maka masyarakat akan mudah terjebak dalam cybercrime.
Jika dulu kasus main hakim sendiri dilakukan secara fisik, maka saat ini perilaku main hakim sendiri dapat terjadi melalui internet, seperti kasus hate speech dan bullying yang banyak terjadi saat ini.Â
Perilaku masyarakat seperti ini tentu saja bukan hanya disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat tentang adanya hukum bagi pelaku cybercrime, tapi juga karena krisis kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
Krisis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum menyebabkan munculnya hegemoni di masyarakat, bahwa masyarakat menganggap aksi aparat penegak hukum sangat lamban dalam merespon suatu kasus hukum.
Serta munculnya label hukum seperti mata pisau, tajam ke bawah namun tumpul di atas, sehingga masyarakat menganggap bahwa hukum dari masyarakat yang mampu menjawab kebutuhan akan penegakan hukum di lapangan.Â
Akibatnya, masyarakat seperti berlomba-lomba untuk melakukan aksi hate speech terhadap segala sesuatu yang dianggap "tidak sesuai" dengan nilai-nilai dan norma yang ada atau aksi bullying pada seseorang yang dianggap "tidak sama" dengan mereka.
Oleh karena itu, sangat penting untuk membangun kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia terutama di era kebebasan informasi dan kemajuan teknologi saat ini agar dapat tercapai supremasi hukum di Indonesia.
Membangun Kepercayaan Publik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diunduh secara online, percaya diartikan sebagai mengakui atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata. Sedangkan kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata.
Publik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia online diartikan sebagai orang banyak atau umum. Pada ranah negara, publik dimaknai sebagai warga negara. Dan pada pemerintahan, publik disebut juga dengan masyarakat.
Secara menyeluruh, membangun kepercayaan publik diartikan sebagai upaya untuk menciptakan suatu anggapan atau keyakinan pada masyarakat. Pada prinsipnya, membangun kepercayaan publik berisi berbagai usaha yang dapat mendukung upaya menciptakan suatu anggapan atau keyakinan pada masyarakat.
Mencegah Aksi Vigilantisme di Era Digital
Vigilantisme berasal dari kata vigilante yang berarti penjaga. Vigilantisme sendiri memiliki pengertian berbagai tindakan yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dari suatu situasi di luar kontrol.Â
Mereka yang di dalam aksi vigilantisme berusaha untuk menekan pelanggar hukum dengan cara mereka sendiri disebabkan adanya anggapan bahwa hukum sudah tidak berfungsi lagi (Dressler, Joshua : 2002) dalam Jurnal Ninin Prima, dkk (2003).
Era milenial dikaitkan dengan karakter yang akrab dengan komunikasi, media dan teknologi digital dan biasa disebut dengan generasi Z, yaitu generasi yang tumbuh dan berkembang di era milenial (wikipedia.org).
Mencegah aksi vigilantisme di era milenial merupakan salah satu upaya utama dalam membangun kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di era yang serba digital dengan situasi dan kondisi yang jauh lebih kompleks dan memiliki keberagaman bentuk kejahatan dan pelanggaran hukum.
Mencapai Supremasi Hukum di Indonesia
Pengertian supremasi hukum menurut Soetandyo Wignjosoebroto adalah upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara negara.Â
Jadi, rumusan sederhana mengenai supremasi hukum adalah sebuah pengakuan dan penghormatan penuh terhadap superioritas hukum sebagai aturan main (rule of the game) dalam seluruh aktifitas kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang dilakukan dengan jujur (fair play).
Untuk mencapai supremasi hukum di Indonesia tentu bukan hal yang mudah, apalagi di era milenial yang bebas informasi dan kemutakhiran teknologi.
Segala kemudahan ditawarkan untuk dapat mengakses segala informasi, sehingga masyarakat sangat rentan dan berpotensi besar untuk melakukan tindak melawan hukum, baik disadari maupun tidak.
Upaya Mencegah Aksi Vigilantisme di Era Milenial
Fakta di lapangan menyatakan bahwa saat ini masyarakat Indonesia tengah mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan aparat penegak hukum.Â
Nir kepercayaan ini ditandai dengan berbagai bentuk aksi dan perilaku sekelompok masyarakat yang apatis terhadap produk-produk hukum yang berlaku serta bertindak anarkis dalam menyikapi suatu persoalan hukum.
Aksi vigilantisme dapat dikatakan juga dengan tindakan main hakim sendiri. Masyarakat mengadili dan menghakimi para terduga pelanggar hukum dengan semena-mena dan sesuka hati tanpa mempedulikan keberadaan aparat penegak hukum dan produk hukum yang berlaku itu sendiri.
Sekelompok masyarakat membentuk kerumunan, memukul, menendang, bahkan melukai dengan senjata tajam dan membakar hidup-hidup terhadap seseorang menjadi suatu cerita dan pemandangan yang sering terjadi. Beberapa informan yang pernah terlibat dalam aksi vigilantisme memberikan keterangan bahwa aksi vigilantisme dapat terjadi karena beberapa faktor berikut:
1. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia, sehingga mereka bertindak seolah-olah hukum yang adil adalah hukum yang berlaku dengan cara mereka sendiri.Â
Maka tak heran jika tindakan anarkis seringkali terjadi jika seseorang yang terduga pelanggar hukum jatuh di tangan masyarakat secara langsung.Â
Masyarakat menganggap bahwa reaksi para penegak hukum sangat lamban dan mudah untuk diintervensi, sehingga masyarakat sering menyebut bahwa hukum di Indonesia tumpul ke atas namun tajam ke bawah.
2. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum yang berlaku. Banyak masyarakat yang tahu aturan tapi tidak tahu bagaimana hukum akan bertindak ketika aturan tersebut dilanggar.Â
Biasanya kelompok masyarakat ini akan mudah membuat pembenaran-pembenaran atas perbuatan mereka sehingga terkesan merendahkan hukum yang berlaku.
3. Rendahnya kontrol dari para pemuka masyarakat yang semestinya menjadi kepanjangan tangan bagi pemerintah dan para penegak hukum dalam mencegah terjadinya aksi vigilantisme.Â
Situasi yang demikian akan memberi celah lebar bagi sekelompok masyarakat yang menganut paham vigilantisme.
4. Faktor sosial budaya juga membawa pengaruh terjadinya aksi vigilantisme. Ada beberapa daerah yang masyarakatnya memang memiliki karakteristik yang memungkinkan aksi vigilantisme tumbuh subur.Â
Selain itu, ada beberapa masyarakat yang masih menggunakan sanksi adat dalam menyikapi sebuah persoalan yang menyimpang dari nilai dan norma hukum di masyarakat tersebut.Â
Salah satu contoh sanksi adat bagi pelaku zina di desa Teratak Kabupaten Kampar, dimana mereka yang terduga melakukan zina akan dibotakan dan diarak keliling kampung serta mengalami pengusiran.Â
Tentu saja, sanksi adat seperti ini hidup di tengah-tengah masyarakat tanpa perlu adanya peraturan perundang-undangan dalam bentuk tertulis. Meski seiring perkembangan zaman, sanksi adat seperti ini sudah sangat jarang terjadi berganti dengan hukum yang tertulis.Â
Namun, harus digarisbawahi, bahwa budaya dan adat istiadat akan melahirkan karakter-karakter sesuai dengan dimana masyarakat tinggal dan berinteraksi dengan komunitas sosialnya.Â
Jadi, jika masyarakat hidup di daerah yang memiliki budaya menjurus vigilantisme, maka sedikit banyak mereka akan memiliki karakteristik yang demikian.
5. Pengaruh narkoba dan minuman beralkohol juga menjadi salah satu faktor terjadinya aksi vigilantisme. Narkoba dan minuman beralkohol seringkali menjadi penyebab sekelompok masyarakat melakukan tindak kekerasan tanpa terkontrol kesadaran.Â
Jadi, jangan pernah meremehkan bahaya narkoba dan minuman beralkohol. Dampak negatif kedua hal tersebut bukan saja dirasakan oleh yang bersangkutan tapi juga oang lain.
Lantas, bagaimana untuk mencegah terjadi dan berkembangnya aksi vigilantisme di era milenial saat ini ? berikut adalah beberapa hal yang dapat mencegah terjadi dan berkembangnya aksi vigilantisme di era milenial:
1. Membangun kepercayaan publik (masyarakat) terhadap penegakan hukum. Sudah saatnya kita semua bergerak untuk menjunjung tinggi hukum di Indonesia.Â
Krisis kepercayaan harus diakhiri dan mulai membangun kepercayaan publik dengan memanfaatkan segala kemudahan dan kecanggihan teknologi yang ada melalui layanan-layanan berbasis teknologi bagi masyarakat luas.Â
Langkah pertama dimulai dengan keterbukaan informasi publik, dimana masyarakat akan dilibatkan dalam perencanaan dan perumusan kebijakan dengan memberikan keterbukaan informasi yang seluas-luasnya namun tetap pada koridor yang telah ditentukan.Â
Artinya, masyarakat berhak untuk turut mengontrol jalannya penegakan hukum yang berlaku dengan akses yang lebih mudah.Â
Kontrol dari masyarakat akan meminimalkan terjadinya penyimpangan pada proses penegakan hukum sehingga masyarakat akan lebih percaya pada hukum di Indonesia.
2. Melakukan sosialisasi secara utuh, menyeluruh dan masif kepada masyarakat bahwa aksi vigilantisme tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan bertentangan dengan hukum yang berlaku.Â
Sosialisasi ini harus dilakukan secara terus-menerus agar masyarakat mendapat ilmu dan pengetahuan mengenai hukum yang tepat.
3. Meningkatkan kontrol para pemuka masyarakat melalui Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) yang ada di setiap daerah sehingga segala permasalahan dapat terdeteksi lebih cepat.
4. Mulai merangkul para pemuka adat maupun pemuka agama, agar mereka dapat menjadi agent of change bagi masyarakat, adat istiadat dan budaya untuk lebih menjunjung tinggi hukum yang berlaku di Indonesia.
5. Terus perangi peredaran gelap narkoba serta minuman keras tanpa putus agar dampak bahaya narkoba dan minuman keras tidak meracuni generasi milenial kita sehingga aksi vigilantisme dapat dicegah.
Hubungan Membangun Kepercayaan Publik dengan Pencapaian Supremasi Hukum
Sudah dijelaskan sejak awal bahwa kepercayaan publik adalah salah satu faktor utama dalam upaya penegakan hukum.Â
Ketika kepercayaan publik dapat terbangun dengan baik dan penegakan hukum dapat dijalankan sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka akan semakin dekat langkah kita untuk mencapai titik puncak supremasi hukum di Indonesia.
Indonesia akan menjadi negara hukum, dimana tatanan sosial kehidupan masyarakat diatur oleh aturan dan undang-undang dan diterapkan melalui penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dimana masyarakat berperan sebagai kontrolnya.
Jadi, dalam pencapaian supremasi hukum di Indonesia, salah satunya bergantung pada bagaimana tingkat kepercayaan publik terhadap penegakan hukum itu sendiri. Semakin tinggi tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja para penegak hukum maka akan semakin baik nilai supremasi hukum kita.
Membangun kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di era kebebasan informasi dan kecanggihan teknologi mutlak diperlukan agar masyarakat dapat lebih dekat dengan hukum dan menciptakan sinergitas diantara keduanya.Â
Masyarakat yang taat hukum akan membawa negeri ini menjadi negeri yang lebih tertib dan teratur dalam tatanan sosial budaya.
Transformasi teknologi di era milenial yang semakin canggih dan modern semestinya dimanfaatkan menjadi media bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk membangun kepercayaan publik melalui layanan-layanan hukum yang lebih terbuka dan memudahkan bagi masyarakat luas untuk dapat mengaksesnya.
Keberadaan website korporasi, aplikasi-aplikasi online berbasis android tentang layanan di bidang hukum sampai media-media informasi yang dapat langsung terintegrasi dengan petugas operator.
Layanan-layanan berbasis teknologi modern dan canggih tentu akan memberi kemudahan bagi masyarakat untuk lebih concern dalam berinteraksi dengan produk-produk hukum di Indonesia.Â
Hal ini tentu merupakan salah satu inovasi di bidang hukum mengingat di era milenial saat ini, masyarakat begitu dekat dengan teknologi melalui gawai dan koneksi internet.
Maraknya kasus aksi vigilantisme (main hakim sendiri) merupakan refleksi dari rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.Â
Sekelompok masyarakat yang terlibat dalam aksi vigilantisme membuat pembenaran-pembenaran atas aksi yang mereka lakukan seolah-olah menganggap bahwa hukum tidak dapat memberikan keadilan seperti keinginan mereka.
Membangun kepercayaan publik dapat mencegah maraknya aksi vigilantisme yang pada akhirnya akan bermuara pada pencapaian supremasi hukum di Indonesia.Â
Ketika kepercayaan publik telah terbangun dengan baik, maka supremasi hukum di Indonesia akan berada pada tingkat yang lebih baik. Keadaan ini tentu saja akan mengantarkan Indonesia pada terciptanya tatanan masyarakat yang lebih baik, tertib dan teratur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H