Maka tak heran jika tindakan anarkis seringkali terjadi jika seseorang yang terduga pelanggar hukum jatuh di tangan masyarakat secara langsung.Â
Masyarakat menganggap bahwa reaksi para penegak hukum sangat lamban dan mudah untuk diintervensi, sehingga masyarakat sering menyebut bahwa hukum di Indonesia tumpul ke atas namun tajam ke bawah.
2. Kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum yang berlaku. Banyak masyarakat yang tahu aturan tapi tidak tahu bagaimana hukum akan bertindak ketika aturan tersebut dilanggar.Â
Biasanya kelompok masyarakat ini akan mudah membuat pembenaran-pembenaran atas perbuatan mereka sehingga terkesan merendahkan hukum yang berlaku.
3. Rendahnya kontrol dari para pemuka masyarakat yang semestinya menjadi kepanjangan tangan bagi pemerintah dan para penegak hukum dalam mencegah terjadinya aksi vigilantisme.Â
Situasi yang demikian akan memberi celah lebar bagi sekelompok masyarakat yang menganut paham vigilantisme.
4. Faktor sosial budaya juga membawa pengaruh terjadinya aksi vigilantisme. Ada beberapa daerah yang masyarakatnya memang memiliki karakteristik yang memungkinkan aksi vigilantisme tumbuh subur.Â
Selain itu, ada beberapa masyarakat yang masih menggunakan sanksi adat dalam menyikapi sebuah persoalan yang menyimpang dari nilai dan norma hukum di masyarakat tersebut.Â
Salah satu contoh sanksi adat bagi pelaku zina di desa Teratak Kabupaten Kampar, dimana mereka yang terduga melakukan zina akan dibotakan dan diarak keliling kampung serta mengalami pengusiran.Â
Tentu saja, sanksi adat seperti ini hidup di tengah-tengah masyarakat tanpa perlu adanya peraturan perundang-undangan dalam bentuk tertulis. Meski seiring perkembangan zaman, sanksi adat seperti ini sudah sangat jarang terjadi berganti dengan hukum yang tertulis.Â
Namun, harus digarisbawahi, bahwa budaya dan adat istiadat akan melahirkan karakter-karakter sesuai dengan dimana masyarakat tinggal dan berinteraksi dengan komunitas sosialnya.Â