Mohon tunggu...
Fhira Hidayat
Fhira Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Artikel 3 : Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Dasar untuk Mengatasi Perilaku Bullying

27 Juni 2024   04:27 Diperbarui: 27 Juni 2024   04:40 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PENDAHULUAN 

Bullying Atau perundungan adalah masalah serius yang mempengaruhi siswa pada berbagai level usia di seluruh dunia dan membutuhkan perhatian dari orang tua dan pendidik. Bullying merupakan perilaku agresif yang melibatkan ketidak seimbangan kekuatan, perilaku diulangulang, atau memiliki potensi diulang (Olweus, 2019). Ketidakseimbangan kekuatan dimunculkan dari aspek fisik,akses mendapat informasi yang memalukan, popularitas yang dimiliki, dan keinginan untuk menyakiti orang 

lain.Terjadi lebih dari sekali atau memiliki kecenderungan perilaku untuk diulangi lebih dari sekali. 

Data hasil riset Programme for International Students Assessment (Visa) 2018 menunjukkan murid yang pernah mengalami perundungan (bullying) di Indonesia sebanyak 41,1%.Angka murid korban bullying ini jauh di atas rata-rata negara anggota Organisation for Economic Celebration and Development (OECD) yang hanya sebesar 22,7%. 

Indonesia berada di posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai negara yang paling banyak murid mengalami perundungan. Selain mengalami perundungan, murid di Indonesia mengaku sebanyak 15% mengalami intimidasi, 19% dikucilkan, 22% dihina dan barangnya dicuri. 

Selanjutnya sebanyak 14% murid di Indonesia mengaku diancam, 18% Di dorong oleh temannya, dan 20% terdapat murid yang kabar buruknya disebarkan oleh pelaku bullying. 

 Komisi Perlindungan Anak 

Indonesia KPAI mengidentifikasi bahwa dalam kurun waktu 9 tahun semenjak tahun 2011 hingga 2019 terdapat 37.381 data pengaduan kekerasan terhadap anak. Kasus bullying baik yang terjadi dalam pendidikan maupun melalui media sosial angkanya terus meningkat (KPAI, 2019). Data pengaduan anak kepada KPAI bagai fenomena gunung es, yakni data yang terlapor sangat sedkit dibandingkan data perilaku bullying yang masih terjadi pada anak. Melihat skala dampak yang disebabkan dari tiga peristiwa tersebut, hal ini memperlihatkan gangguan perilaku yang dialami anak. Gangguan perilaku tersebut perlu diantisipasi sejak awal termasuk dalam lingkup pendidikan tingkat dasar agar tidak menjadi tali rantai yang semakin panjang. Anak- anak membutuhkan figur orang dewasa disekelilingnya untuk memberikan perlindungan dan keselamatan dari bahaya bullying. 

Sekolah idealnya menjadi tempat belajar yang menyenangkan bagi semua siswa, namun faktanya banyak pula perilaku bullying yang terjadi di sekolah termasuk pada tingkat sekolah dasar. Seperti hasil penelitian Sufriani (2017) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan bullying pada anak usia sekolah di Sekolah Dasar Kecamatan Syiah Kuala Banda Aceh yakni faktor individu sebanyak 66,0%, faktor keluarga sebanyak 51,1% dan faktor media sebanyak 56,4%, faktor teman sebaya 56,4% dan faktor sekolah sebanyak 59,6%.  

Salah satu faktor munculnya perilaku bullying adalah faktor eksternalyakni lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah. Pembentuk perilaku bullying dari lingkungan keluarga adalah kebiasaan pola asuh orang tua (Lereya, 2013). Pola asuh tersebut misalnya bagaimana orang tua melakukan tindakan kekerasan pada anak dan bagaimana anak mengamati orang tua melakukan tindakan kekerasan atau agresi pada orang lain.  

Pada umumnya pola lingkaran pertemanan terbentuk karena adanya kemiripan karakter satu siswa dengan siswa yang lain. Siswa yang cenderung agresif berimplikasi terhadap munculnya perilaku antisosial dilingkungan. Pengaruh informasi dari berbagai media misalnya film yang memunculkan adegan kekerasan dan tindakan agresif akan menjadi model bagi anak untuk melakukan perilaku bullying. Adanya lagu dengan lirik yang mengindikasikan terhadap tindakan agresif serta bermain video games juga menyumbang perilaku anti sosial (Rosen, 2017) 

Banyak penelitian tentang materi bullying khususnya yang terjadi dalam dunia pendidikan, namun masih ada kekurangan informasi tentang bagaimana orang tua merespons bullying. Orang tua belum semua memahami dan memiliki kesadaran tentang bahaya bullying pada anak terlebih pada siswa tingkat sekolah dasar. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak enggan melaporkan bahwa mereka adalah korban bullying kepada siapa pun termasuk kepada orang tua dan guru (Clark, Kitsinger,& Potter,2004; Matsunaga, 2009; Puhl,Peterson,&Luedicke, 2013; Stives, 2019). 

Penanganan perilaku bullying disekolah membutuhkan kerjasama yang baik dari berbagai pihak salah satunya peranan guru bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan dan konseling pada level sekolah dasar sebenarnya telah memiliki regulasi yakni pada Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 111 tahun 2014 tentang bimbingan dan konseling pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah, peraturan ini untuk mempertegas keberadaan bimbingan dan konseling dalam lingkup sekolah dasar. Dasar lain adalah diterbitkannya panduan bimbingan dan konseling di sekolah dasar tahun 2016 oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.Layanan bimbingan dan konseling dalam pelaksanaannya terbagi menjadi dua yakni sekolah dasar yang memiliki guru bimbingan dan konseling secara khusus dan bagi sekolah yang belum memiliki guru bimbingan dan konseling secara khusus. 

METODOLOGI PENELITIAN 

Penelitian menggunakan metode kajian literatur dari berbagai kajian pustaka dan artikel hasil penelitian yang relevan dengan tema. Analisis terhadap literatur bertujuan untuk mendapatkan sebuah gagasan ilmiah untuk mendapatkan gambaran layanan bimbingan dan konseling di sekolah dasar untuk mengatasi perilaku bullying. Pada beberapa literatur tertulis terbit pada tahun 1999 hal tersebut karena literatur tersebut merupakan salah satu induk teori dalam pembahasan bullying di tingkat sekolah dasar. 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Jenis-Jenis Perilaku Bullying 

Bullying adalah bagian dari perilaku agresif yang biasanya diulang dan melibatkan ketidakseimbangan kekuatan antara target dan targetnya pelakunya (Gladden, Vivolo-Kantor, Hamburger, & Lumpkin, 2014); Olweus,1993). Di Amerika Serikat, hampir seperempat siswa usia 12--18 tahun melaporkan telah diintimidasi selama tahun sekolah (Zhang, MusuGillette, & Oudekerk, 2016; Stives 2019) dan 14% dari siswa kelas 3-12 dilaporkan menjadi korban Bullying 2-3 kali per bulan atau lebih (Olweus, 2019).  

Banyak efek yang dimunculkan dari perilaku bullying baik efek jangka pendek dan panjang dari segi psikososial, kesehatan mental, fisiologis, dan perilaku negatif lainnya. Efek ini muncul baik dari segi pelaku bullying maupun korban bullying. Konsekuensi umum yang dirasakan oleh teman sebaya sebagian besar adalah internalisasi, dan termasuk depresi, harga diri yang buruk, dan ide bunuh diri, sedangkan anak-anak dan remaja yang menggertak teman sebaya ditandai oleh eksternalitas masalah, seperti kekerasan, perilaku melanggar aturan, dan kenakalan. Pada tahap awal, intimidasi bukan hanya masalah kesehatan tetapi juga pelanggaran serius terhadap fundamental tatanan masyarakat (Limber, 2018). 

Bullying yang terjadi dilingkungan sekolah dilakukan oleh teman dan bahkan melibatkan kelompok siswa. Perbedaan pendapat, kondisi fisik, psikis, sosial, ekonomi, agama, budaya, dan jenis kelamin merupakan faktor pemicu munculnya perilaku bullying. Individu dengan gangguan pendengaran misalnya mendapatkan penghinaan karena gangguan fisik yang dimilikinya. Perbedaan status sosial yang dipermasalahkan menjadikan individu merasa rendah diri sehingga tidak sedikit diantara mereka yang mengalami tindakan tindakan bullying verbal berupa dihina dan diejek 

(Kartika, 2019) 

Hasil penelitian Smith (2016) menunjukkan bahwa individu, keluarga, kelas, sekolah, dan faktor negara yang lebih luas dapat memengaruhi peluang keterlibatan siswa dalam kasus bullying. Perilaku bullyingdi sekolah tidak dapat dipisahkan dari situasi dan kondisi sekolah, komponen sekolah, dan lingkungannya. Dalam tulisan ini perilaku bullying dibagi menjadi empat yakni : 

Verbal Bullying perundungan secara lisan misalnya mengatakan atau menulis hal-hal yang berarti. Verbal intimidasi meliputi, sindiran, saling mengata-ngatai, komentar seksual yang tidak pantas, mengejek, mengancam untuk menyebabkan kerusakan. 

Social Bullying Perundungan sosial yakni meliputi, merusak nama baik seseorang, atau membuat hubungan orang menjadi kurang baik, meninggalkan seseorang, mengatakan siswa-siswa lain untuk tidak berteman dengan seseorang, menyebarkan rumor tentang siswa yang ,memalukan di depan umum,   

Phisycal Bullying atau perundungan fisik meliputi, memukul, menendang,mencubit, peludahan, tripping/mendorong, mengambil atau merusakbarang seseorang, membuat gerakan yang kasar.  

Cyberbullying, didefinisikan sebagai berikuttindakan yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasiuntuk mendukung perilaku bermusuhan secara disengaja dan atauberulang oleh seorang individu atau kelompok, yang dimaksudkanuntuk menyakiti atau merugikan orang lain.  

Definisi bullying di sekolah meliputi beberapa elemen kunci yaitu: fisik, verbal, atau serangan psikologis atau intimidasi yang dimaksudkan untuk menyebabkan rasa takut, tertekan, atau membahayakan korban, ketidak seimbangan kekuasaan (psikologis atau fisik), dengan anak yang lebih kuat (atau anak-anak) menindas yang kurang kuat; dan mengulangi insiden antara sesama anak-anak dalam jangka waktu lama (Roland, 1989; Farrington, 1993; Olweus, 1993). 

B. Strategi Layanan Bimbingan Dan Konseling Di Sekolah Dasar Untuk Mengatasi Perilaku Bullying 

Pelaksanaan bimbingan dan konseling sangat diperlukan di sekolah dasar, karena dalam praktiknya tidak sedikit diantara peserta didik yang mengikuti proses belajar mengajar menghadapi masalah yang berasal dari dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Di antara permasalahan peserta didik yang kerap ditemui di lapangan, meliputi bermain sendiri sewaktu guru sedang menjelaskan pelajaran, tidak mau mengerjakan pekerjaan rumah, bertengkar sesame teman, marah pada teman yang berbuat salah, tidak masuk sekolah, berbicara kotor (Astuti, 2016). 

Pengembangan layanan bimbingan dan konseling disekolah dasar yang efektif dalam mengatasi perilaku bullying membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Peran serta guru kelas, guru mata pelajaran, teman sebaya, konselor sekolah, administrator serta orang tua. guru bimbingan dan konseling atau konselor berperan membantu tercapainya perkembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir peserta didik. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk menangani perilaku bullying pada siswa adalah mengenali dan menyadari bahwa perilaku bullying itu memang ada di sekolah (Kowalski & Morgan, 2017). 

Pada satuan pendidikan ini, guru bimbingan dan konseling atau konselor menjalankan semua fungsi bimbingan dan konseling, yaitu fungsi pemahaman, fasilitasi,penyesuaian, penyaluran, adaptasi, pencegahan, perbaikan, advokasi, pengembangan, dan pemeliharaan. Meskipun guru bimbingan dan konseling atau konselor memegang peranan kunci dalam sistem bimbingan dan konseling di sekolah, dukungan dari kepala sekolah sangat dibutuhkan. Sebagai penanggung jawab pendidikan di sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab diselenggarakannya layanan bimbingan dan konseling. Selain itu, guru bimbingan dan konseling atau konselor sekolah harus berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain seperti guru kelas, guru mata pelajaran, wali kelas, komite sekolah, orang tua peserta didik, dan pihak-pihak lain yang relevan. 

Menurut Panduan Operasional Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling 2016, sumber daya penyelenggara layanan bimbingan dan konseling pada Sekolah Dasar, sumber daya guru bimbingan dan konseling atau 

konselor terdapat beberapa jenis; 

 

Guru bimbingan dan konseling atau konselor yang bertugas pada satu sekolah, 

Guru bimbingan dan konseling atau konselor yang bertugas dalam gugus yang terdiri dari 5-7 sekolah;  

Guru kelas yang bertugas sebagai guru bimbingan dan konseling atau konselor apabila di sekolah tersebut belum memiliki guru bimbingan dan konseling atau konselor. 

Pada sekolah yang ada guru bimbingan dan konseling atau konselor baik pada satusekolah maupun gugus, guru kelas berperan melaksanakan layanan bimbingan dan konseling yang terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran, berkolaborasi dengan guru bimbingan dan konseling atau konselor memberikan layanan bimbingan dan konselingsesuai dengan kapasitas sebagai guru kelas, berkolaborasi dan mengembangkan jejaring dengan orang tua untuk mendukung keberhasilan peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran dan pendidikan. Pada sekolah yang belum tersedia guru bimbingan dan konseling atau konselor, guru kelas berperan: melaksanakan layanan bimbingan dan konseling secara terbatas setelah memperoleh pelatihan, berkolaborasi dan berjejaring dengan stakeholder untuk mendukung pencapaian perkembangan peserta didik yang optimal. 

Beberapa strategi layanan bimbingan dan konseling di sekolah dasar yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah bullying adalah : 

Layanan Dasar   

Layanan dasar adalah proses pemberian bantuan kepada semua peserta didik / konseling yang berkaitan dengan pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dalam bidang pribadi, sosial, belajar, dan karir sebagai penjabaran tugas-tugas perkembangan mereka. Layanan dasar pada sekolah dasar dilaksanakan dalam aktivitas yang langsung diberikan kepada peserta didik /konseling adalah bimbingan kelompok, bimbingan klasikal,dan bimbingan lintas kelas. Aktivitas yang dilaksanakan melalui media adalah papan bimbingan, leaflet dan media inovatif bimbingan dan konseling.  

Bagi guru kelas yang menjalankan fungsi sebagai guru bimbingan dan konseling, layanan bimbingan klasikal dapat diintegrasikan dalam kegiatan pembelajaran tematik yang telah 

dijadwalkan dalam mata pelajaran masingmasing. Beberapa materi yang dapat disampaikan dalam layanan dasar untuk mengatasi perilaku bullying terkait keoptimalan tugas perkembangan dan ketercapaian Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik SKPD. Tugas perkembangan berupa Memiliki kebiasaan dan sikap dalam beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa mengembangkan kata hati, moral, dan nilai-nilai sebagai pedoman perilaku serta tugas perkembangan membangun hidup yang sehat mengenai diri sendiri dan lingkungan. Aspek perkembangan  

landasan hidup religius, landasan perilaku etis, dan aspek kematangan emosi dapat diinternalisasikan dalam mata pelajaran Agama dan Budi Pekerti, pendidikan kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan 

Sosial. 

Orang tua dan guru sering tidak yakin perilaku apa saja yang masuk dalam kategori bullying sehingga tidak mengherankan bahwa anak-anak mungkin tidak dapat mengenali ketika mereka mengalami perilaku bullying dari pihak lain. . Fakta tersebut sangat membingungkan bagi seorang anak ketika bullying terjadi di antara teman-temannya (Mishna, 2004; Stevens, 2019). Meskipun seorang anak dapat membayangkan mereka ditindas dan mencari bantuan dari orang tua dan guru mereka, anak itu mungkin enggan memisahkan diri dari interaksi teman sebaya sehingga membutuhkan tantangan untuk membedakan antara menggoda dan intimidasi yang sebenarnya (Mishna, Wiener, & Populer, 2008; Stevens, 2019)Layanan dasar dapat pula sebagai sarana untuk memaksimalkan fungsi pemahaman dan fungsi pencegahan dengan memberikan materi berupa apa saja yang masuk kategoriperilaku bullying dan bagaimana cara menghindarinya. Guru bimbingan dan konseling juga dapat memberikan materi berupa mengenali jenis-jenis perilaku yang mendukung dan perilaku yang menganggu teman. Materi tentang apa saja perilaku yang sesuai dengan norma agama dan norma sosial pada siswa sekolah dasar dapat diberikan sebagai fondasi yang baik bagi siswa sekolah dasar agar lebih menyadari bahaya perilaku bullying. Mengenalkan rasa empati sejak dini pada siswa merupakan salah satu rangkaian materi yang dapat diberikan dalam layanan dasar untuk mengatasi perilaku bullying. Guru bimbingan dan konseling mulai mengenalkan Ketidakmampuan anak untuk merasakan apa yang dirasakan korban bullying merupakan salah satu awal dari munculnya perilaku bullying pada siswa. Fenomena bullying merupakan suatu fenomena sosial yang muncul dalam dinamika kelompok karena makin kuatnya krisis empati dalam masyarakat (Olweus, 2019). 

Layanan Responsif 

Layanan responsif adalah layanan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek peserta didik, atau masalah-masalah yang dialami peserta didik/konseli yang bersumber dari lingkungan kehidupan pribadi, sosial, belajar, dan karir. Layanan terdiri ataskonseling individual, konseling kelompok, konsultasi, konferensi kasus, referal danadvokasi.  

Pada konteks layanan responsif di Sekolah Dasar, guru bimbingan dan konseling atau konselor memberikan intervensi secara singkat. Pada layanan responsif juga dilakukan advokasi yang menitik beratkan pada membantu peserta didik/konseli untuk memiliki kesempatan yang sama dalam mencapai tugas-tugas perkembangan. Guru bimbingan dan konseling atau konselor menyadari terdapat rintangan-rintangan bagipeserta didik yang disebabkan oleh disabilitas, jenis kelamin, suku bangsa, bahasa, orientasi seksual, status sosial ekonomi, pengaruh orangtua, keberbakatan, dansebagainya. Guru bimbingan dan konseling atau konselor harus memberikan advokasi agar semua peserta didik/konseli mendapatkan perlakuan yang setara selama menempuh pendidikan di Sekolah Dasar. 

Implementasi layanan responsif untuk mengatasi perilaku bullying adalah guru bimbingan dan konseling atau guru wali kelas membersamai dan mendampingi jika terdapat anak-anak yang memunculkan tanda-tanda menjadi korban bullying, beberapa tanda tersebut adalah 

(Olweus,2019): 

Kecemasan meningkat (jika membicarakan sekolah, atau tempat tertentu). 

Tidak mau ke sekolah (atau tempat tertentu). 

Terdapat memar yang tidak ingin diceritakan sebabnya. 

Percaya diri rendah (aku ini bodoh, aku tidak punya teman). 

Menggambarkan orang lain secara negatif (mereka nakal, mereka jahat) 

Bersikap menantang dan bisa ikut terlibat perkelahian di sekolah. 

Frustasi ketika tidak mampu melakukan sesuatu sesuai caranya. 

Tidak perduli ketika orang lain mengalami hal buruk. 

Siswa yang kita duga memiliki salah satu tanda diatas, membutuhkan intervensi lanjutan dari orang dewasa di sekitarnya misalnya orang tua dan pendidik di sekolah. Reaksi terhadap bullying pada siswa sekolah dasar termasuk pencarian bantuan dari guru dan pejabat sekolah lainnya mampu meningkatkan pendidikan untuk mencegah bullying terutama efek cyberbullying.  

Secara keseluruhan berdasarkan penelitian Stives 2019 terhadap 54 orang tua siswa didapatkan bahwa strategi yang digunakan oleh orang tua untuk menangani bullying adalah untuk merekomendasikan bahwa anak mereka harus memberi tahu seorang guru atau pendidik di sekolah. Hal ini dipertegas dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik 

Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Sekolah bagaimana Implementasi dalam layanan responsif ini bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan di lingkungan satuan pedidikan terhadap peserta didik, dengan mengembangkan kerjasama pada orang tua/wali peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, satuan pendidikan, komite sekolah, masyarakat sesuai dengan amanah undang undang yang berlaku di Indonesia. 

Layanan Kolaborasi  

Kolaborasi adalah suatu kegiatan kerjasama interaktif antara guru bimbingan dan konseling atau konselor dengan pihak lain (guru mata pelajaran, orang tua, ahli lain dan lembaga), yang dapat memberikan sumbangan pemikiran dan atau tenaga untuk mengembangkan dan melaksanakan program layanan bimbingan dan konseling. Kerjasama tersebut dilakukan dengan komunikasi serta berbagi pemikiran, gagasan dan atau tenaga secara berkesinambungan. Satu kegiatan yang dilakukan guru, orang tua,dan ahli lain dihargai 

setara dengan satu jam pelajaran, sementara dengan lembaga dihargai setara dengan dua jam pelajaran. 

 Permendikbud 111 Tahun 

2014, dijelaskan bahwa kolaborasi adalah kegiatan fundamental layanan BK dimana konselor atau guru bimbingan dan konseling bekerjasama dengan berbagai pihak atas dasar prinsip kesetaraan, saling pengertian, saling menghargai dan saling mendukung. Semua upaya kolaborasi diarahkan pada suatu kepentingan bersama, yaitu bagaimana agar setiap peserta didik/konseli mencapai perkembangan yang optimal dalam aspek perkembangan pribadi, sosial, belajar dan karirnya. Kolaborasi dilakukan antara konselor atau guru bimbingan dan konseling dengan guru mata pelajaran, wali kelas, orang tua, atau pihak lain yang relevan untuk membangun pemahaman dan atau upaya bersama dalam membantu memecahkan masalah dan mengembangkan potensi peserta didik/konseli (Nugraha, 2017).

Salah satu strategi paling efektif untuk mengurangi intimidasi adalah dengan mengadakan forum pelatihan. Agenda pertemuan untuk orang tua sehingga mereka dapat belajar lebih banyak tentang masalah mereka anak bagaimana untuk mungkin menghadapi jika anak mereka menjadi bagian dari lingkaran bullying (pelaku, korban, dan saksi). Dukungan orang tua yang lebih banyak terbukti menyebabkan lebih sedikit perilaku bullying disekolah serta peningkatan kesediaan untuk melindungi korban bullying (Wang et al., 2009; Stives, 2019). Peningkatan pengawasan tempat bermain dan manajemen kelas yang lebih baik juga berhasil mengurangi jumlah kamar insiden perilaku bullying disekolah (Ttofi & Farrington, 2011; Stives, 2019). Sehingga hal ini menjadi salah satu referensi untuk semua pihak yang berkaitan dalam praktik kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar. Semua guru ikut terlibat dalam memantau anak didik terutama saat jam istirahat dan mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Pengelola sekolah membuat konsep ruang-ruang sekolah yang dapat diakses dengan mudah, sehingga tidak memberikan ruang yang tersembunyi untuk digunakan sebagai tempat bullying siswa kepada temannya.

Layanan kolaborasi bermanfaat untuk memaksimalkan ikatan positif antara model pendidikan integrasi di keluarga dan sekolah yang ideal untuk menghentikan perilaku bullying di sekolah (Ahmed & Braithwaite, 2004,; Stives, 2019). Salah satu program kolaboratif untuk mengatasi bullying pada siswa di lingkungan sekolah dasar adalah dengan program whole school approach. Menurut Firdaus (2019) whole school approach dilakukan untuk mensinergikan program sekolah dengan parenting program. Beberapa upaya yang dilakukan yakni mengaktifkan komite sekolah yang merupakan perwakilan dari orang tua siswa untuk merancang dan melaksanakan secara kolaboratif mengenai program-program sekolah yang disepakati, sehingga terjalin pertemuan yang rutin antara pendidik dan orang tua. Upaya selanjutnya yakni mengadakan kegiatan guru model, seorang guru mensimulasikan proses pembelajaran di sekolah agar orang tua dapat menyesuaikan dengan keadaan di rumah.

KESIMPULAN

Tulisan ini disiapkan sebagai dasar untuk pengembangan program bimbingan dan konseling pada lingkup sekolah dasar untuk mengatasi perilaku bullying. Strategi layanan dasar, layanan responsif, dan layanan kolaboratif yang dilakukan guru bimbingan dan konseling disekolah dasar harus mampu untuk:

Menunjukkan kehangatan dan minat positif pada semua siswa;

Menetapkan standar batasan untuk perilaku tertentu yang tidak dapat diterima (mengarah ke perilaku bullying);

Menggunakan konsekuensi positif yang konsisten untuk mengakui dan memperkuat perilaku yang sesuai dan konsekuensi tertentu ketika aturan dilanggar untuk meminimalisir bullying; dan

Menjadi orang dewasa yang baik (pendidik dan orang tua) yang berfungsi sebagai otoritas dan model positif bagi anak agar terhindar dari perilaku bullying.

08.43

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun