Mohon tunggu...
Fahrizal A.Z Mursalin
Fahrizal A.Z Mursalin Mohon Tunggu... -

Little boy, who desperately want to make books. Mmm, Like a writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Sayap-sayap yang Patah

9 Desember 2013   08:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:09 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayap-Sayap yang Patah

Mereka suka sekali melakukan hal itu. Terbang dari ranting pohon yang satu ke ranting pohon yang satunya lagi. Entah, selalu ada senyum atau sekedar kicauwan dari mereka. Tapi terlalu buruk juga jika menganggap mereka tak punya hati. Hati, ya, bagi Diandra, seseorang atau siapapun yang kerap kali melakukan sesuatu tanpa memikirkan sesuatu yang akan terjadi setelahnya adalah mereka yang tak punya hati. Dengan itu mereka akan berlaku sesukanya. Menganggap semua yang ia lakukan demi kebahagiaannya tanpa mereka tahu beberapa orang di sana mencoba sabar menunggunya berhenti melakukan hal tersebut. Ah, sabar. Satu kata lagi yang berhasil membuat pikiran Diandra terhenti. Sabar baginya bukan perkara mencari jarum pada tumpukan jerami. Tetapi mencari jarum yang telah di sembunyikan di tempat lain terlebih dahulu, lantas ia tetap harus mencarinya di tumpukan jerami. Diandra sudah berada di taman ini sejak beberapa jam yang lalu. Kemarin dan beberapa hari yang lalupun begitu. Pulang dengan tangisan, namun tetap saja ia selalu datang untuk sekedar duduk memerhatikan burung-burung yang berterbangan. Entah apa yang membuat Diandra tenang, burung-burung itu seperti berbicara kepadanya.

“kau tahu, tidak?” Diandra menegadahkan kepalanya ke atas melihat burung-burung yang berterbangan. “apa yang membuatku kemari, mungkin sesuatu yang seharusnya sudah aku tinggalkan sejak dulu.” Seekor burung terbang mendekati Diandra. Diandra melihatnya, mengikuti kemana arah burung itu akan terbang. “tapi kau tahu, tidak? Apa yang sebenarnya terjadi saat ini?” Burung itu hinggap di sandaran kursi taman yang sedang di duduki oleh Diandra, perlahan-lahan melompat mendekat ke bahunya. “aku merasa.., sangat sedih. Padaku, pada perasaanku.” Burung itu berkicau satu kali. “oh, tidak. Kau tidak tahu apa yang aku rasakan. Kau sedang tidak berada di posisiku.” Diandra menghela nafas panjang. Satu-satunya hal yang dapat membuat Diandra tidak kesepian lagi hanya burung-burung ini. Tapi sama saja, berbicara dengan burung-burung, bukanlah hal yang masuk akal. Manusia dengan seekor burung, mana mungkin itu bisa terjadi. Tetapi, bagaimana jika seekor burung dengan seekor burung? Diandra terseyum dan seketika malam menjemput dengan tiupan angin yang sangat kencang.

“Din, ayolah. Kau harus cepat, hujan segera tiba dan kita masih kekurangan dua sampai tiga batang lagi. Aku sudah tidak bisa turun, aku harus menahan ini agar tidak jatuh. Kau carilah tiga batang lagi, aku minta tolong.”

“sebentar, akan aku carikan.”

“sebaiknya cepat, hujan segera tiba.”

“baik.” Diandra memilah-milah ranting di antara dedaunan, mencari mana yang kira-kira pas dengan yang dibutuhkan dan yang mampu ia bawa. Hari ini memang sangat gelap, hujan keras sepertinya segera tiba. Awan tebal yang menyelimuti langit sejak pagi hari itu sepertinya akan menumpahkan isinya beberapa jam lagi. Sebaiknya Diandra cepat. Diandra menemukan satu ranting di sana, satu ranting lagi, dan satu lagi di sebelah sana. Sepertinya sudah cukup, semuanya sudah terkumpul. Mungkin ini saatnya Diandra naik.

Diandra kesulitan terbang akibat tiga ranting yang ia bawa di paruhnya. Tapi itu tidak mematahkan semangatnya untuk menggapai pohon tinggi di atasnya. Dengan sedikit sentakan pada sayapnya, Diandra berhasil mengangkat tubuhnya terbang ke udara. Pohon itu memang sangat tinggi, berdaun lebat dan berbatang sangat besar. Pohon ini sudah lama berdiri, mungkin sejak Diandra masih berusia empat sampai lima tahun.

“ini dia!” Diandra tiba di atas pohon dan langsung meletakkan ranting-ranting itu di bawah sangkar yang tengah mereka buat untuk melindungi dari hujan yang segera tiba.

“satu di sini, yah, satunya di sana. Baik, sekarang angkat sama-sama. Satu, dua, tiga. Angkat!”

Diandra melihat kawanan burung itu mengangkat sangkar yang telah mereka buat. Diandra memang tidak ikut dalam hal yang berat-berat, karena di anatara mereka, hanya Diandra lah burung yang memiliki tubuh sangat kecil. “terimakasih Din. Kamu memang dapat diandalkan. Kemari, jangan berdiri di tepi seperti itu.”

Diandra mendekat kebawah sangkar yang telah mereka buat. Meskipun kini Diandra hidup sebagai seekor burung, namun ia merasa sangat bahagia karena dapat hidup berguna demi yang lain dan merasa sangat dihargai. Ayolah, bukankah itu yang sangat dibutuhkan dalam hidup?

“Mil, aku takut.”

“ada apa, Din?” Mila terbang mendekat menuju Diandra.

“sepuluh hari aku telah menjadi seekor burung, tapi aku masih tidak bisa melupakan kehidupanku sejak aku masih menjadi seorang manusia. Apakah aku salah, telah mengubah diriku menjadi seekor burung saat itu? Apakah aku bodoh, Mil?”

Setitik air mulai berjatuhan dari atas langit. Disusul beberapa tetes lainnya. “oh, Diandra. Bukan kamu yang membuat dirimu berubah saat itu.”

“lantas siapa?” Tetesan air yang berjatuhan itu semakin cepat diiringi angin yang bertiup dengan kencang.

“seseorang yang telah menyakitimu sejak itu. Pria itu, yang tempo hari telah kau ceritakan padaku.”

Burung-burung yang lain mulai berterbangan masuk kedalam sangkar. “aku menyesal telah mengenalnya.”

“berarti kamu tidak menyukai berada di sini sekarang.”

“Mila, kau tidak mengerti.”

“tentu saja aku mengerti, Din. Di sini, kami semua adalah perempuan yang tak pernah dicintai. Awalnya aku merasa sama seperti yang kamu rasakan saat ini. Tapi setelah aku jalani, mereka—perempuan-perempuan yang lebih dulu menjadi seekor burung karena tidak pernah merasa dicintai—membuatku tersadar. Kami semua memang tidak akan pernah merasa dicintai lagi, Din.”

“tapi mengapa?”

“aku tidak tahu, mungkin alasan yang sama mengapa kamu tetap menunggu pria itu. Kita semua adalah wanita, Din. Kau tahu apa yang dilakukan wanita? Mereka akan,..”

“menunggu meski pria itu tidak menyukai, atau bahkan tidak mengetahui keberadaan kita.” Potong Diandra. “aku tahu itu, Mil. Aku sering merasakannya. Tapi tidak adakah cara agar aku bisa kembali menjadi seorang manusia? Aku akan mengatakan pada pria itu jika saja aku diberi kesempatan. Aku akan mencarinya, Mil.”

“sudah tidak ada cara lagi, Diandra. Kamu akan menjadi seekor burung selamanya, sama seperti kami.” Hujan mengguyur semakin keras. Pepohonan bergoyang akibat tiupan angin yang sangat kencang. Langit pun sangat gelap, segelap harapan Diandra yang sudah tidak akan pernah ada lagi.

“kecuali jika kau menangis.” Mila melanjutkan.

“apa kamu serius? Hanya menangis? Dengan itu aku bisa menjadi seorang manusia lagi? Oh, Mila, terimaksih.”

“kamu harus menangis ketika malam dan bulan punama menjelang.”

“apakah seperti itu?” Diandra sedikit kecewa. “tapi kapan itu akan terjadi?”

“ayolah, Din. Setelah hujan keras, biasanya bulan akan menampakkan wujudnya. Wujudnya yang utuh.”

“berarti…, doakan aku agar hujan berhenti sebelum malam, Mil.”

“tentu saja akan aku lakukan.”

Diandra menegadahkan kepalanya ke arah langit, ia sangat gembira dan merasa sangat tidak sabar. “tapi satu lagi, Din.”

“katakanlah, Mila.”

“kamu hanya memiliki waktu selama dua jam. Jika dalam dua jam kau belum merasakan cinta darinya. Maka cara yang sama tidak akan membuatmu menjadi manusia lagi. Kamu akan menjai seekor burung selamanya.”

“tunggu dulu. Jika kamu tahu caranya, mengapa tidak pernah kamu coba, Mila?”

“aku sudah mencobanya, kami semuapun sudah mencoba. Tetapi pria yang aku cintai, ia telah tewas sejak aku berusaha mencarinya.”

“oh, Mila. Maafkan aku. Kemarilah.” Diandra memeluk Mila dengan kedua sayapnya.

“tak apa, Din. Kamu harus berhasil.”

“akan aku coba.” Diandra terdiam. Menjadi burung adalah kebahagian yang ia rasakan, dihargai, berguna, dan dikelilingi oleh mereka yang perduli. Tapi, Diandra hanya ingin mencoba kesempatan ini. Toh, ini hanya satu kali. Namun, bagaimana caranya agar ia mendapatkan balasan cinta dari pria itu sementara ia hanya dapat berubah pada malam hari. Dimana Diandra akan mencari pria itu dalam waktu kurang dari dua jam?

Saat malam menjelang. Hujan telah berhenti, langitpun cerah dan bulan sedang menampakkan wujudnya di atas sana. Seperti menjawab permintaan Diandra, hujan yang mengguyur selama dua jam dengan sangat keras, mendadak berhenti ketika malam menjelang. Dan bulan seolah ikut hadir untuk menyaksikan apa yang akan terjadi pada Diandra malam ini.

“Mila, aku gugup.”

“lakukanlah, Din. Bukankan ini yang kamu inginkan.”

“iya, tapi,.. kamu akan menungguku di sini, kan?”

“tentu saja tidak.”

“mengapa?”

“aku tidak ingin melihatmu kembali dengan wujud burung seperti aku.”

“oh, Mila. Terimakasih.” Diandra kembali memeluk Mila.

“menangislah, aku akan pergi.”

“terimakasih sekali lagi, Mila.”

“sama-sama.” Mila terbang jauh keatas.

Diandra perlahan-lahan turun menuju ranting yang agak rendah. Tapi sepertinya Diandra memilih sebuah kursi taman yang sering ia duduki. Sesampainya di kursi tersebut, Diandra tertunduk, hanya dengan satu tangisan, maka ia akan menjadi seorang manusia kembali. Itu mudah baginya, Diandra hanya perlu mengingat kematian ibu dan ayahnya yang tertimpa kecelakaan saat Diandra masih berusia tiga tahun. Lalu meningat masa-masa ia hidup seorang diri bersama pamannya di sudut kota. Diandra tidak pernah sekolah, ia tidak pernah merasakan bagaimana memiliki teman, memiliki kebersamaan, dan sama sekali tidak memiliki semangat untuk hidup. Hingga akhirnya, ia melihat seorang pria yang bermain di taman ini. Diandra sering melihat pria itu dari kejauhan. Tidak ada keberanian sama sekali, sebab Diandra tahu bahwa dirinya berbeda dari perempuan-perempuan lain yang juga mengintai-ngintai pria itu.

Tidak terasa Diandra sudah larut dalam tangisan. Sayap-sayap kecilnya perlahan-lahan berubah menjadi sekujur lengan yang panjang. Kaki-kaki kecilnya memanjang, paruhnya menjadi sebuah bibir manis yang kecil, rambutnya memangjang juga, dan kemudian berubahlah Diandra menjadi seorang manusia kembali. Anehnya, Diandra tetap menggunakan pakaiian yang sama saat terakhir kali ia berubah menjadi seekor burung. Diandra mengangkat kedua tangannya, memegang rambutnya dan meraba-raba bagian tubuhnya. Seolah tidak percaya, semuanya berhasil.

Diandra masih duduk di kursi, ia melihat ke sekitar. Tidak ada siapa-siapa, taman ini sudah sangat sepi. Maklumlah, ini sudah pukul sembilan malam. Diandra melihat seorang pria tengah berjalan sambil menundukkan kepalanya di depan sana. Diandra mengamati pria tersebut, wajahnya sangat murung. Rambutnya berantakan. Pria itu seperti dalam masalah. Astaga! Betapa terkejutnya Diandra ketika meninggat bahwa pria itulah yang sedang ia cari. Diandra beridri berusaha mendekat.

“hei..” Diandra menyapa duluan.

“oh, hei.” Pria itu melihat Diandra dengan asing. “kamu, perempuan yang selalu duduk di kursi itu, kan?” ia menunjuk ke arah kursi yang baru saja duduki oleh Diandra.

Diandra berbalik ke arah kursi tersebut. “oh, iya. Aku suka kursi itu.”

“apa yang kau lakukan di sini sendirian?”

“hmm, tidak. Aku suka berjalan-jalan di sini jika malam. Udaranya sejuk.” Suara Diandra terdengar gugup.

Pria itu mengangguk. “kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?” Diandra bertanya.

“aku..,” pria itu terbata. “aku sedang ada masalah dirumah.”

“oh, itu sudah biasa. Orang tua terkadang tidak mengerti dengan apa yang kita inginkan.”

“orang tua? Bu-bukan. Bukan orang tua. Ini masalah aku dan, istriku. Aku sedang bertengkar di rumah.”

“apa? Istrimu?” Diandra tersentak. “maksudku, kau sudah mempunyai seorang istri?” Diandra sangat terkejut.

“ya, dan seorang anak perempuan. Kau, ehm, mungkin kau baru tahu tentang ini.”

“yah, aku baru tahu.” Diandra tak sanggup lagi berkata-kata. Harpannya sudah sirna, tak ada lagi yang sanggup ia lakukan. Jika saja ini siang hari, maka pria itu sudah pasti melihat sekumpulan air yang menuggumpal di matanya.

Mereka terdiam sangat lama, pria itu gelisah seperti ingin segera pergi. Diandra terpaku, yang ia bisa lakukan saat ini adalah menahan agar air matanya tidak berjatuhan keluar dengan menggigit bibirnya. Tiba-tiba saja terdengar suara burung berkicau. Diandra tahu, itu suara Mila yang menyuruhnya agar cepat menyatakan perasaannya terhadap pria itu.

“tapi, apakah kau mencintai istrimu?”

“sangat. Maksudku, tentu saja, aku tidak ingin larut dalam pertengkaran oleh karenanya aku memutuskan untuk keluar rumah.”

Hilanglah sudah harapan Diandra, semuanya sudah jelas saat ini. “tapi ada yang ingin aku sampaikan.” Ditengah-tengah pandangannya yang sudah sangat tertutup oleh air mata, dan suaranya yang mulai tersiak-siak, Diandra ingin berusaha mengungkapkan perasaannya.

“apa itu?”

Diandra menarik nafas panjang dan mulai angkat bicara. “sudah lama aku melihatmu di sini. Aku selalu mengamatimu dari kursi di sebelah sana. Aku selalu mengikuti apa yang kamu lakukan di taman ini bersama teman-temanmu. Aku selalu ingin ikut bermain denganmu, namun saja aku tahu bahwa aku tidak layak bermain denganmu.” Diandra menghela nafas lebih dalam sebelum akhirnya berkata, “aku,.. aku menyukai..,”

Tiba-tiba saja seorang wanita datang bersama gadis cilik di pangkuannya medekat ke arah Diandra. Diandra menahan nafasnya ketika wanita itu menghampiri pria yang tengah terdiam di depannya.

“maafkan aku.” Sahut wanita itu sambil memeluk si pria. Sungguh Diandra hanya dapat menangis saat ini. Perlahan-lahan Diandra berjalan mundur, tangisannya tak terbendung lagi sehingga kini pipinya sudah dibasahi oleh tangisan.

Diandra berjalan kebelakang pohon besar yang ada di belakang kursi taman tersebut. Di belakang sana, Diandra terlunglai hingga akhirnya ia jatuh terbaring di sana. Diandra semakin larut dalam tangisannya, dan waktu yang diberi tahukan oleh Mila pun habis. Perlahan-lahan, tubuh Diandra mengecil kembali, kedua tangan dan kakinya menyusut, dan kembalilah Diandra menjadi seekor burung yang tengah tersedu-sedu dalam tangisan. Mila datang menjemput Diandra yang sudah menjadi seekor burung. Diandra sangat larut dalam tangisannya.

“Din, ayo kita naik ke atas.”

“kamu tidak tahu, Mil. Anaknya sangat cantik, pasti karena istrinya yang juga cantik.” Diandra terus menangis.

“iya-iya aku tahu. Nanti kita lanjutkan di atas, ayo.”

“tidak, Mil. Aku sudah tidak bisa terbang lagi.”

“sayapmu masih utuh, jangan mengada-ngada.”

“memang masih ada, tapi kamu tiak tahu, sayapku sudah patah. Aku tak akan bisa terbang lagi.”

Awan seketika mendung sehingga langit nampak semakin gelap. Bulan tak terlihat lagi. Di taman itu, ada kisah yang bercerita tentang penantian dan kesetiaan. Namun hanya dengan waktu, semua akan terjawab.

Mila meraih tubuh Diandra dan memeluknya dengan sangat erat. Sementara Diandra tak akan pernah tahu lagi untuk apa sayap-sayap ini berada di tubuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun