Tidak ada yang tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Di pagi hari yang cerah pada tanggal 28 Juni 1914 Pangeran Austro Hongaria sedang melakukan lawatan kerja di Bosnia, tepatnya ia berada di Kota Sarajevo. Pemandangan Kota yang indah dan hiruk pikuk kota membuat suasana menjadi damai. Mobil yang ditumpangi Pangeran Franz Ferdinand berbelok ke kiri. Disitulah seorang Mahasiswa Serbia menembak Sang Pangeran. Dalam dua tembakan, ia jatuh tak sadarkan diri di bangku belakang mobilnya
Setidaknya itu yang kuingat saat aku bersama keluargaku hidup di peternakan di kota Saint Mihiel, Prancis. Jerman menyatakan perang terhadap Rusia, namun karena kesepakatan militer Prancis ikut tergabung dalam perang besar ini. Aku harus merelakan menantu anak perempuanku, Karl untuk ikut kembali ke Jerman untuk mengabdi pada negaranya. Melihatnya pergi, sebagai seorang ayah mertua hatiku sakit dan hancur sekali. Mengingat perang adalah medan pertumpahan darah yang tak mengenal belas kasih dan ampunan,
"Ayah, aku pergi dahulu. Tolong jaga Marry baik-baik. Aku pasti akan sangat merindukan dirinya selama aku berperang di pihak Jerman" Ucap Karl sambil mengemas barangnya dan mengusap air matanya. Aku hanya bisa menahan perasaanku dan tetap tegar memberi semangat padanya dan berdoa semoga in tetap selamat.
"Nak, pergilah. Aku akan menjaga Marry untukmu. Lagipula ia adalah anakku sendiri. Kau tidak perlu khawatir. Pulanglah dengan selamat."
"Baiklah, terima kasih telah pengertian sekali padaku. Aku bangga mempunyai mertua sepertimu, ayah."
Beberapa hari berselang, aku bersama anakku Marry menjalani hari-hari kami seperti hiasa di peternakan Saint Mihiel. Dari kejauhan nampak beberapa orang berseragam militer lengkap dengan menunggang sepeda datang menghampiri kami. Ada dua orang, satu orang dengan tas penuh surat dengan tubuh besar gemuk agak berisi. Sedangkan yang satunya memegang senjata dengan tubuh kurus tinggi. Dengan wajah tegas dan kumis tebalnya, Si Gendut mengeluarkan kertas dari tas nya. Setelah menyerahkannya padaku ia langsung bergegas pergi. Nampak dari raut wajah, hau badannya yang menyengat dan langkahnya mereka yang tergesa gesa, ada sesuatu yang sangat penting dan tak beres terjadi.
Membawa masuk kertas yang aku ambil dari dua orang tentara tadi, aku berusaha berpikir baik bahwa apa yang ada dalam kertas lusuh ini adalah sesuatu yang baik. Aku melempar tubuhku pada sofa tua di ruang tamu, menarik napas untuk mengumpulkan keberanian membaca kertas itu. Sesuatu terjadi diluar dugaanku, itu adalah surat pendaftaran pelatihan militer. Ini artinya aku diwajibkan mengabdi pada negara dengan berperang dengan militer melawan faksi Jerman.
"Marry, ayah harus pergi untuk menjalani pelatihan militer di Kamp Tentara Jaga dirimu dan cucu ayahmu ini dengan baik. Perang pasti tidak akan terjadi begitu lama. Tunggulah, ayah akan pulang kembali."
"Ayah, bagaimana jika kau tidak kembali?, aku takut sekali. Perang ini adalah perang besar Resiko terbunuh sangat tinggi. Musuh ayah tidak segan menembak bahkan menghabisimo Kumohon berhati-hatilah"
"Iya aku akan selalu berhati-hati anakku. Ayah harus cepat bergegas, Waktu tidak akan menunggi. Sementara matahari tetap terbit itu artinya masih ada harapan. Simpan narmaku dalam doamu"
Menaiki kereta api besi di Stasiun dan meninggalkan kampung halamanku adalah beban terberat hidupku. Sesak dan sakit rasanya aku meninggalkan keluargaku di rumah. Namun aku tak dapat mengelak. Sesampainya di Stasiun, ku lihat orang penuh sesak berlalu-lalang, ada anggota militer bersiap dan adapula rakyat sipil biasa. Hiruk pikuk ini membuat sakit kepalaku Tak jauh mataku memandangi peron, seorang tentara terlihat di ganggu oleh beberapa rekannya. Dengan secepat kilat aku datang dan membubarkan kerumunan tersebut.