Bab I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Dalam ranah hukum, antinomi atau konflik norma adalah permasalahan yang kerap dihadapi oleh praktisi dan akademisi. Antinomi hukum muncul ketika dua norma atau lebih saling bertentangan, menyebabkan kebingungan dalam penerapan hukum. Dalam hal ini, prinsip kepastian hukum dan keadilan sering kali menjadi dua hal yang saling bertolak belakang. Keduanya adalah asas fundamental yang harus diakomodasi dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum, namun sering kali menemui kendala dalam praktiknya.
Positivisme hukum, yang merupakan salah satu aliran dalam filsafat hukum, menekankan pentingnya kepastian hukum yang diperoleh melalui peraturan yang terstruktur dan jelas. Berdasarkan pandangan ini, hukum dipahami sebagai serangkaian norma yang ditetapkan oleh otoritas yang sah dan wajib dipatuhi oleh masyarakat. Dalam pandangan ini, kepastian hukum menjadi hal yang paling utama, karena memberikan petunjuk yang tegas bagi individu dan lembaga dalam berinteraksi serta menyelesaikan sengketa.
Namun, penekanan yang berlebihan pada kepastian hukum dapat mengabaikan unsur keadilan. Ketika norma-norma hukum diterapkan tanpa memperhatikan konteks sosial dan moral, keputusan yang dihasilkan bisa menjadi tidak adil. Hal ini mengindikasikan bahwa kepastian hukum dan keadilan sering kali berada dalam posisi yang saling bertentangan. Dalam beberapa situasi, penerapan hukum secara kaku dapat menghasilkan keputusan yang merugikan pihak-pihak tertentu, yang seharusnya mendapatkan perlindungan berdasarkan prinsip keadilan.
Dalam konteks antinomi hukum, muncul pertanyaan dasar mengenai bagaimana hukum seharusnya dipahami dan diterapkan. Apakah hukum harus selalu mengedepankan kepastian, ataukah keadilan juga harus diberikan perhatian yang seimbang dalam penegakannya? Pertanyaan ini sangat relevan dalam perbincangan filsafat hukum, khususnya dalam aliran positivisme yang sering dianggap mengabaikan nilai-nilai moral dan etika.
Di Indonesia, berbagai peraturan dan kebijakan seringkali menghadapi dilema antara kepastian dan keadilan. Contohnya, dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan hak asasi manusia, hukum sering dianggap tidak cukup responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan yang lebih menyeluruh dalam memahami dan menerapkan hukum, yang tidak hanya fokus pada kepastian, tetapi juga memperhatikan aspek keadilan.
Oleh karena itu, studi mengenai antinomi hukum dalam konteks filsafat hukum, khususnya dari perspektif positivisme, menjadi sangat penting. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana kedua nilai ini dapat diintegrasikan dalam praktik hukum. Melalui analisis yang mendalam, diharapkan akan ditemukan solusi yang dapat mengurangi konflik antara kepastian dan keadilan dalam sistem hukum.
Â
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan antinomi hukum dalam konteks keadilan dan kepastian?
2. Bagaimana perspektif aliran positivisme hukum dalam menyikapi ketegangan antara kepastian dan keadilan dalam penegakan hukum?
3. Apa solusi yang dapat diberikan untuk mengatasi antinomi antara kepastian dan keadilan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui antinomi hukum dalam konteks keadilan dan kepastian.
2. Untuk mengetahui perspektif aliran positivisme hukum dalam menyikapi ketegangan antara kepastian dan keadilam dalam penegakan hukum.
3. Untuk mengetahui solusi yang dapat diberikan untuk mengatasi antinomi antara kepastian dan keadilan.
D. Metode Penelitian
- Jenis penelitian
Jenis penelitian ini merupakan pendekatan yuridis normatif, yang mengindikasikan suatu metode analisis yang bersifat teoritis, konseptual, serta pemeriksaan secara mendalam terhadap peraturan-peraturan hukum yang relevan dengan studi ini. Penelitian yuridis normatif merujuk pada penelitian hukum yang menempatkan hukum sebagai suatu konstruksi sistematis dari norma-norma. Konstruksi normatif ini merujuk pada prinsip-prinsip, norma-norma, aturan, dan perundang-undangan yang berkaitan, termasuk doktrin hukum. Penelitian normatif ini mencakup eksplorasi sistematika hukum, bertujuan untuk mengidentifikasi makna-makna atau landasan yang mendasari hukum..[1]
- Metode pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis menerapkan pendekatan konseptual (conceptual approach), yang bertujuan untuk menganalisis materi hukum dengan tujuan mengungkap makna yang tersirat dalam terminologi hukum. Pendekatan ini dirancang untuk mendapatkan pemahaman mendalam terhadap istilah-istilah yang sedang diteliti, serta untuk menguji relevansinya dalam teori dan praktek hukum. Oleh karena itu, penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai penelitian hukum normatif, yaitu suatu pendekatan penelitian hukum yang berkutat pada analisis bahan pustaka serta data primer dan sekunder.
- Sumber data
Sebagai penelitian hukum normatif, sumber datanya adalah berasal dari data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran sumber-sumber hukum, baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer adalah semua bahan atau materi hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder berupa bahan atau materi yang berkaitan dan menjelaskan mengenai permasalahan dari bahan hukum primer yang terdiri dari buku-buku dan literatur terkait penelitian.
- Teknik pengumpulan data
Metode akuisisi data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah melalui pemanfaatan data sekunder atau penelitian kepustakaan, yang mengindikasikan bahwa pendekatan yang diadopsi adalah dengan menghimpun informasi yang terdokumentasi dalam literatur, dokumen, arsip, laporan, dan peraturan hukum yang relevan dengan fokus penelitian.
- Metode analisis data
Analisis data merupakan suatu usaha atau teknik yang digunakan untuk memproses data guna menghasilkan informasi yang memungkinkan pemahaman terhadap karakteristik data tersebut serta dapat memberikan manfaat dalam mencari solusi terhadap berbagai permasalahan, terutama yang terkait dengan bidang penelitian. Metode analisis yang diterapkan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yang melibatkan eksplorasi terhadap peraturan perundang-undangan dan literatur yang kemudian dijabarkan secara deskriptif.
Bab II
Pembahasan
1. Antinomi Hukum dalam Konteks Keadilan dan Kepastian
Antinomi adalah kondisi di mana dua hal yang saling bertentangan namun tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling membutuhkan. Dengan kata lain, antinomi menggambarkan pertentangan antara dua elemen yang pada dasarnya saling bergantung. Istilah antinomi sudah dikenal sejak tradisi hukum Yunani Kuno dengan sebutan "antinomia" untuk menggambarkan adanya konflik dalam hukum. Konsep antinomi dipandang sebagai tema dalam pemikiran filsafat, terutama filsafat hukum, yang dikembangkan oleh Immanuel Kant. Sebelum Kant, David Hume telah memperkenalkan konsep antinomi sebagai pertentangan yang selalu ada dalam setiap prinsip.[1] Menurut Fockema, antinomi dipahami sebagai dua atau lebih aturan yang saling bertentangan, sehingga solusinya harus dicari melalui interpretasi. Antinomi adalah dua hal yang berbeda, namun saling melengkapi. Dalam menghadapi antinomi, aparat penegak hukum harus dapat menciptakan keseimbangan atau keselarasan antara keduanya.[2]
Gagasan mengenai antinomi yang diajukan oleh Hume dan Kant kemudian berkembang dalam teori hukum. Dalam konteks ini, antinomi dipahami sebagai konflik norma dalam suatu peraturan perundang-undangan. Friedmann berpendapat bahwa pertentangan tersebut muncul karena posisi alami hukum yang terletak di antara rasionalitas filsafat dan kebutuhan politik praktis. Kategori-kategori intelektual dalam hukum dibentuk melalui penalaran filsafat yang mendalam dan komprehensif, sementara tujuan keadilan dalam hukum dibangun melalui mekanisme politik yang cenderung bersifat transaksional. Oleh karena itu, hukum tidak berkembang secara alamiah, melainkan merupakan hasil dari berbagai proses internalisasi, intrusi, dan negosiasi kepentingan di antara berbagai faksi dan aktor dalam masyarakat.[3]
Â
- Nilai Kepastian Hukum
Kepastian berarti "ketentuan" atau "kejelasan", dan ketika dikaitkan dengan kata "hukum", istilah "kepastian hukum" merujuk pada sistem hukum di suatu negara yang dapat memastikan hak dan kewajiban setiap warganya. Menurut Soedikno Mertokusumo, kepastian hukum merupakan salah satu elemen penting dalam penegakan hukum. Ia menjelaskan bahwa "perlindungan yang dapat diakses secara hukum terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti setiap individu berhak memperoleh apa yang diharapkan dalam keadaan tertentu." (Fernando M. Manulang, 2007: 91-92). Nilai kepastian hukum pada dasarnya memberikan perlindungan kepada setiap warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan, yang mana negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin adanya perlindungan tersebut. Nilai ini sangat terkait dengan peraturan hukum yang berlaku serta peran negara dalam penerapannya dalam sistem hukum positif. (Fernando M. Manulang, 2007: 95).
Kepastian hukum, dalam hal ini, berfungsi sebagai nilai yang harus ada dalam setiap peraturan yang dibuat dan diterapkan. Selaras dengan pernyataan berikut ini yakninya "Legal certainty theory states that the law should be clear, predictable and consistently applied so that individuals can anticipate the consequences of their actions and feel confident that legal decisions will be applied fairly"[4] Kepastian hukum berarti bahwa hukum harus jelas, dapat diprediksi, dan diterapkan secara konsisten, sehingga individu dapat memperkirakan akibat dari tindakan mereka dan merasa yakin bahwa keputusan hukum akan dijalankan dengan adil. Dengan demikian, hukum dapat memberikan rasa keadilan dan menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara filosofis, hukum diharapkan dapat memenuhi aspek ontologis, yaitu menciptakan ketentraman dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia, yang merupakan tujuan utama yang ingin dicapai setiap individu dan inti dari hukum itu sendiri. Theo Huijbers juga berpendapat bahwa hakekat hukum adalah sebagai sarana untuk menciptakan aturan masyarakat yang adil (rapport du droit, inbreng van recht) (Theo Huijbers, 1995: 75).
Secara epistemologis, hukum berkembang melalui metode yang sistematis dan objektif, yang selalu melibatkan penelitian untuk menghasilkan ilmu hukum sebagai bagian dari disiplin ilmu pengetahuan. Dalam aspek aksiologi, hukum mengandung nilai-nilai yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[5] Hukum pada dasarnya mencerminkan kepastian ketika mampu mengatur perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, agar tetap berada dalam batas yang ditentukan oleh aturan hukum. Dengan demikian, manusia tidak akan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain. Berdasarkan pemikiran ini, dapat disimpulkan bahwa setiap hukum yang dihormati oleh masyarakat mengandung nilai kepastian, termasuk hukum yang berlaku dalam kehidupan sosial. Nilai kepastian inilah yang harus ada dalam setiap pembuatan hukum agar dapat memberikan rasa keadilan dan menciptakan ketertiban.[6] Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan.Â
Soedikno Mertokusumo juga memberikan definisi mengenai kepastian hukum. Kepastian hukum adalah perlindungan yang dapat dipertanggungjawabkan secara yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang dapat memperoleh hak yang diharapkan dalam situasi tertentu. Kepastian hukum pertama-tama mengacu pada kepastian dalam pelaksanaannya, yang berarti bahwa hukum yang secara resmi diundangkan harus dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum juga berarti bahwa setiap orang memiliki hak untuk menuntut pelaksanaan hukum dan tuntutan tersebut harus dipenuhi, serta setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, dalam memahami kepastian hukum, penting untuk memperhatikan bahwa nilai ini memiliki hubungan erat dengan instrumen hukum positif dan peran negara dalam mengimplementasikannya dalam hukum positif. Bahkan, peran negara tidak hanya terbatas pada hal tersebut, tetapi juga bertanggung jawab untuk menjalankan dan menegakkan hukum.
Â
- Nilai Keadilan
Dalam perspektif filsafat hukum, keadilan merupakan prinsip atau konsep yang berhubungan dengan keseimbangan, kesetaraan, dan perlakuan yang adil terhadap setiap individu dalam sistem hukum. Â Mengenai keadilan Hans Kelsen memberikan pendapat bahwa "This is one of those questions to which man was aware of never being able to give a definitive answer, but only to formulate the question in a better way."[7] Pertanyaan tentang keadilan adalah salah satu pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan pasti oleh manusia, namun hanya dapat dirumuskan dengan cara yang lebih baik seiring berjalannya waktu. Artinya, konsep keadilan selalu menjadi bahan perbincangan dan pertanyaan di kalangan manusia, namun hingga saat ini belum ada definisi yang jelas tentang bagaimana keadilan seharusnya ada dan terwujud.
Keadilan dalam konteks hukum memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan ada yang berpendapat bahwa hukum hanya akan memiliki makna jika dihubungkan dengan prinsip keadilan. Aristoteles, sebagai seorang filsuf, adalah orang pertama yang merumuskan konsep keadilan. Menurutnya, keadilan berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, atau dalam ungkapannya, fiat justitia pereat mundus. Ia kemudian membagi keadilan menjadi dua bentuk, yaitu:
Pertama, keadilan distributif adalah keadilan yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang, di mana distribusinya mencakup jasa, hak, dan manfaat bagi anggota masyarakat berdasarkan prinsip kesetaraan yang proporsional.
Kedua, keadilan korektif adalah keadilan yang bertugas untuk menjamin, mengawasi, dan melindungi distribusi hak serta melawan tindakan ilegal yang mengganggu. Fungsi keadilan korektif pada dasarnya diatur oleh hakim, dengan tujuan untuk mengembalikan keadaan semula, baik dengan mengembalikan hak milik korban atau memberikan kompensasi atas kerugian yang ditanggung. Dengan kata lain, keadilan distributif lebih berfokus pada pembagian berdasarkan besar jasa yang diberikan, sementara keadilan korektif menekankan pada kesetaraan hak. Plato berpendapat bahwa keadilan hanya dapat terwujud dalam hukum dan perundang-undangan yang disusun oleh para ahli yang secara khusus memikirkan hal tersebut.[8]
Â
 Kontradiksi Nilai Kepastian Hukum dan Nilai Keadilan
Hukum merupakan manifestasi eksternal dari keadilan, sementara keadilan adalah inti autentik dan esensi dari hukum itu sendiri. Tujuan tertinggi dari hukum adalah mencapai keadilan, yang berarti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsinya, yang pada gilirannya menciptakan ketertiban dan kedisiplinan. Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang sangat erat. Sebenarnya, hukum tanpa keadilan hanya akan menjadi kosong atau tidak bermakna. Menggabungkan hukum dengan keadilan adalah suatu keharusan yang tidak bisa dipisahkan.
Keadilan hukum dalam kehidupan manusia dapat dirasakan secara langsung, sehingga keadilan tersebut memiliki proses dalam sistem hukum yang menghasilkan kebahagiaan hidup sebagai hasil dari penerapan keadilan hukum. Hal ini karena untuk mencapai kepastian hukum, keadilan harus ditegakkan terlebih dahulu dalam hukum itu sendiri, yang pada akhirnya membuatnya menjadi sesuatu yang sangat subjektif dan bersifat individual.[9]Â
Kontradiksi antara nilai kepastian dan nilai keadilan mengacu pada situasi di mana kedua prinsip dasar dalam sistem hukum ini saling bertentangan dan sulit dipadukan dengan sempurna. Keduanya memainkan peran yang sangat penting dalam tatanan hukum, namun dalam penerapannya sering kali muncul dilema. Keadilan menekankan perlakuan yang adil, sementara kepastian hukum mengacu pada penerapan aturan yang konsisten dan tidak berubah.
Kepastian hukum dan keadilan dapat dipandang seperti dua sisi mata uang, karena keduanya harus ada untuk mencapai keadaan yang damai. Keadilan tidak dapat tercapai jika kepastian tidak dipenuhi, karena subjek hukum tertentu dapat dihukum tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu apakah tindakan yang dianggap pelanggaran atau kejahatan benar-benar merupakan suatu delik. Dengan kata lain, apa yang pasti dalam hukum belum tentu memberikan keadilan. Begitu pula, jika hanya keadilan yang ditegakkan tanpa memperhatikan apakah itu memberikan kepastian hukum, hal tersebut dapat merusak nilai keadilan itu sendiri. Menekankan nilai keadilan saja tidak otomatis menjamin kepastian hukum. Oleh karena itu, hukum yang pasti harus pula adil, dan hukum yang adil harus memberikan kepastian. Inilah situasi antinomi antara kedua nilai tersebut, karena pada tingkat tertentu, nilai kepastian dan keadilan harus mampu memberikan kepastian hak setiap orang secara adil, sekaligus memberikan manfaat darinya.[10]
Misalnya, dalam sebuah kasus di mana seseorang mencuri karena sangat terdesak oleh kebutuhan hidup, sebuah keputusan yang didasarkan semata-mata pada aturan hukum yang kaku bisa memberikan hukuman yang berat. Namun, jika keadilan lebih diutamakan dengan mempertimbangkan alasan di balik tindakannya, maka hukuman tersebut bisa lebih ringan atau ada pendekatan rehabilitatif. Namun, jika setiap kasus seperti ini diperiksa dengan cara yang berbeda-beda, maka akan muncul ketidakpastian hukum di masyarakat, karena hukum tidak diterapkan dengan cara yang konsisten.
2. Perspektif aliran positivisme hukum dalam menyikapi ketegangan antara kepastian dan keadilan dalam penegakan hukum.
- Perspektif Positivisme Hukum
Seiring dengan penyebaran pengaruh positivisme di dunia sains secara umum, disiplin hukum pun turut menghadapi hal yang serupa. Para penganut positivisme, ketika mempelajari hukum, memandang hukum hanya sebagai fenomena sosial.[11] Kaum positivisme pada umumnya hanya mengenal ilmu pengetahuan yang positif, demikian pula positivisme hanya mengenal satu jenis hukum, yakninya positivisme hukum.Â
Secara sederhana, aliran positivisme ini memberikan penjabaran mengenai kaidah-kaidah positif yang berlaku umum berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia itu sendiri dianut sebuah istilah yakninya ius consitutum, yakninya hukum yang ada dan berlaku. Disinilah paham positivisme menempatkan posisinya sebagai bagian dari kaidah hukum yang ada dan sedang berlaku tersebut.Â
Theo Hujibers memberikan 3 prinsip dasar terhadap positivisme hukum diantaranya:[12]
- Hanya yang tampil dalam pengalaman dapat disebut benar;
- Hanya apa yang sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan dapat disebut benar. Itu berarti bahwa tidak semua pengalaman data disebut benar, tetapi hanya pengalaman yang mendapati kenyataan.
- Hanya melalui ilmu-ilmu pengetahuan dapat ditentukan apakah sesuatu yang dialam merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan.
Dalam aliran positivisme, hukum muncul sebagai produk yang jelas dari suatu sumber kekuasaan politik yang sah. Dalam hal ini, hukum terutama diwujudkan sebagai perintah-perintah eksplisit yang telah dirumuskan dengan jelas untuk menjamin kepastian, seperti peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional di suatu negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerapan aliran ini berfokus pada norma-norma positif yang berasal dari legislatif dalam ranah normatif positif.[13]
Positivisme hukum menciptakan sistem hukum yang konkret dan menghindari konsep-konsep abstrak yang dapat menyebabkan ketidakpastian. Hal ini sejalan dengan konsep kepastian hukum yang mengutamakan jaminan keadilan yang jelas. Seperti yang dikemukakan oleh John Austin, kepastian hukum adalah tujuan utama dari positivisme hukum. Dalam pandangan ini, untuk mencapai kepastian hukum, diperlukan pengaturan yang konkret dan berlaku di tengah masyarakat (hukum positif). Dengan pemahaman ini, eksistensi nilai kepastian hukum dapat terjamin.
Aliran positivisme ditandai dengan kodifikasi hukum melalui hukum tertulis yang disusun oleh lembaga yang berwenang. Dalam hal ini, masalah keadilan tidak menjadi prioritas utama. Ketika suatu masalah telah diatur dalam kodifikasi hukum yang menjamin kepastian, maka menurut aliran ini, keadilan dapat diterapkan langsung tanpa perlu dikhawatirkan. Dalam perspektif positivisme, keadilan tidak dipahami secara hakiki, melainkan sebatas pada formal justice atau keadilan yang bersifat prosedural.[14]
Â
- Kontradiksi Nilai Kepastian Hukum dan Nilai Keadilan berdasarkan Aliran Positivisme Hukum
Â
Aliran positivisme hukum menekankan pentingnya kodifikasi hukum yang spesifik, yang memberikan aturan secara jelas dan terperinci melalui peraturan tertulis. Menurut aliran ini, hukum bersifat normatif, yang berarti mengatur dan mewajibkan.[15] Disebut normative ketika pemerintah yang sah dan berwenang mengeluarkan suatu peraturan perundang-undangan yang dianggap sebagai suatu ketentuan yang hidup secara positif dan sedang diberlakukan. Pemikiran ini menitikberatkan pada pentingnya kepastian hukum, karena didasarkan pada kodifikasi tersebut maka kepastian hukum merupakan jalan akhir ataupun tujuan akhir dari aliran positivisme ini.
Â
Namun, sayangnya aliran ini tidak terlalu mementingkan keadilan. Ketika adanya suatu kodifikasi secara tertulis maka langsunglah kepastian hukum itu akan muncul. Namun, masalah keadilan bukanlah suatu permasalahan yang turut menjadi tujuan dari adanya aliran ini. Apalagi, untuk membentuk suatu norma melalui kodifikasi terkadang mengesampingkan nilai-nilai moral yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Namun, nilai keadilan tersebut sarat akan adanya nilai moral didalamnya. Disinilah letak kontradiksi utama pemikiran aliran positivisme terhadap nilai kepastian dan nilai keadilan. Ketika nilai kepastian hukum yang dijadikan tujuan maka akan ada kontradiksi dengan nilai keadilan yang mengharapkan perlakuan yang sama. Padahal, nilai kepastian dan nilai keadilan sama-sama menjadi tujuan hukum dan sama-sama memiliki nilai yang saling berkaitan.
Â
- Kritik terhadap Aliran Positivisme
Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai aliran positivisme ini maka dapat ditarik beberapa kritik terhadap aliran positivisme dalam memandang kepastian hukum dan keadilan, diantaranya:[16]Â
- Doktrin kepastian hukum sebagai anak ajaran legisme yang dibela oleh para pengikut teori hukum murni ini, yang mengagungkan rasionalisme dalam kajian hukum dan praktik peradilan adalah sesungguhnya ajaran yang berkembang dan didukung para penganut pada suatu era tatkala proses demokratisasi tengah berlangsung, dengan cita-cita bahwa kekuasaan Negara harus bisa dibatasi dan dikontrol oleh hukum. Negara haruslah dikonstruksi sebagai negara hukum dan bukan negara kekuasaan.
- Dalam kenyataan, apa yang dicita-citakan bahwa "setiap warga Negara berkedudukan sama di hadapan hukum dan kekuasaan" itu tidak selamanya dapat direalisasi. Apa yang telah diberikan di dalam cita-cita dan konsep normatif tidak selalu merupakan diskripsi apa yang dapat ditemui dalam pengalaman yang nyata. Menurut konsep hukumnya setiap warga masyarakat dan warga negara itu dianggap berkedudukan sama, namun dalam realitas kehidupan yang sudah bersifat serba kontraktual ini kesepakatan- kesepakatan yang terjadi antar-pihak tidaklah selalu dan selamanya mencerminkan perlindungan kepentingan yang berimbang.
- Menempatkan para penegak hukum untuk berfikir dan bertidak secara legal formalistic, dengan menempatkan keadilan hukum (legal justice) sebagai tujuan hukum. Dalam perkara-perkara tertentu, positivisme hukum tidak dapat memberikan solusi.
 3. Solusi yang dapat diberikan untuk mengatasi antinomi antara kepastian dan keadilan
Ketika antinomy hukum adalah suatu keadaan yang kontradiktif antara satu dengan yang lainnya, kemudian turut tidak dapat dipisahkan, tidak dapat saling ditiadakan dan saling memerlukan maka persoalan ini perlu diselesaikan melalui suatu aktivitas yang dapat menyelaraskannya. Harmonisasi hukum pun muncul sebagai respon adanya antinomy hukum ini.[17] Keseimbangan dan dan kesesuaian unsur perlu ditonjolkan dalam menyelesaikan permasalahan antara antinomy nilai kepastian hukum dan nilai keadilan. Konsep harmonisasi tidak bisa dilepaskan dari peran hukum bagi kehidupan manusia. Keseimbangan atau harmonisasi dihadirkan sebagai peneguh eksistensi hukum yang berfungsi sebagai pranata sosial yaitu untuk menciptakan sistem tertib lalu lintas dalam segala bidang kehidupan manusia. Di sisi lain, ketika hukum mengusung tujuan yang diembannya yaitu menciptakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian, pada akhirnya ratio legis hadirnya hukum akan menemukan alasan pembenar. Misalnya, ketika aspek keadilan dan aspek kepastian hukum pada titik tertentu terjadi pertentangan dan berlawanan maka aspek kemanfaatan hadir sebagai penghubung diantaranya. [18]Berdasarkan pemahaman ini dapat dimaknai bahwa antara nilai kepastian hukum dan nilai keadilan sama-sama hal yang sangat penting dan penting untuk diutamakan. Namun, perlu adanya penekanan nilai kemanfaatan didalamnya.
Harmoni (bahasa yunani : harmonia, berarti terikat secara serasi/sesuai). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, harmoni diartikan selaras atau serasi.[19] Dalam kajian filsafat, harmoni dimaknai sebagai sebuah bentuk kerjasama antara berbagai faktor sehingga dapat menghasilkan suatu kesatuan yang luhur. Istilah harmonisasi secara etimologis menunjuk pada proses yang bermula dari suatu upaya, untuk menuju atau merealisasi sistem harmoni. Istilah harmoni juga diartikan keselarasan, kecocokan, keserasian, keseimbangan yang menyenangkan.
Dikatakan oleh Stammler "A just law aims at harmonizing individual purposes with that of society." Prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup harmonisasi antara maksud, tujuan dan kepentingan perotangan, dengan maksud, tujuan dan kepentingan umum. Maksud dan tujuan serta kepentingan terdiri dari dua unsur, yaitu saling menghormati dan partisipasi.[20] Maka unsur yang dapat ditarik dari pengertian harmonisasi adalah : (i) adanya hal-hal yang bertentangan; (ii) menyelaraskan hal-hal yang bertentangan secara proporsional agar membentuk suatu sistem; (iii) suatu proses atau suatu upaya untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, dan keseimbangan; dan (iv) Â kerja sama antara berbagai faktor yang sedemikian rupa, hingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan yang luhur.Â
Harmonisasi hukum merupakan solusi yang mencoba menyatukan dua nilai yang sering kali tampak bertentangan dalam praktik hukum, yaitu kepastian hukum dan keadilan. Melalui pendekatan yang lebih fleksibel dan responsif terhadap konteks sosial, serta penerapan prinsip-prinsip keadilan substantif dan prosedural, harmonisasi hukum memungkinkan hukum untuk tetap memberikan kepastian sambil tetap menjaga nilai-nilai keadilan yang lebih kontekstual dan manusiawi. Dengan demikian, harmonisasi hukum bukan hanya sebuah solusi teoretis, tetapi sebuah pendekatan praktis yang dapat digunakan untuk mengatasi kontradiksi dalam penerapan hukum di dunia nyata.
Â
Bab III
Penutup
Â
A. Kesimpulan
- Antinomy merupakan nilai-nilai yang berpasang-pasangan akan tetapi ia saling membatasi dan keduanya bisa berada dalam keadaan yang harmonis. Dalam hal ini antara nilai kepastian dan nilai keadilan merupakan dua nilai yang saling berjalan secara bersamaan namun dalam suatu kondisi tertentu ditemukan ketegangan antara keduanya. Nilai kepastian merujuk kepada adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur suatu tindakan ataupun perilaku yang membuat seseorang dapat diadili. Sementara nilai keadilan mengacu kepada perlakuan sama dan sederajat tanpa adanya perbedaan. Maka disinilah ketegangan antara nilai kepastian dan nilai keadilan muncul. Kepastian idealnya akan menimbulkan keadilan. Namun, kepastian terkadang mengesampingkan nilai keadilan karena yang dibutuhkan adalah ketentuan pasti mengenai suatu tindakan. Sementara nilai keadilan bertolak ukur pada persamaan. Mengedepankan salah satu nilai tidak akan memberikan tujuan yang baik. Oleh sebab itu, hukum yang pasti, seharusnya juga adil, dan hukum yang adil juga seharusnya memberikan kepastian.
- Aliran positivisme hukum menekankan pentingnya suatu kodifikasi hukum tertentu yang memberikan aturan secara konkret dan jelas melalui peraturan tertulisnya. Berdasarkan aliran positivisme ini, hukum itu bersifat normative artinya mengatur dan mewajibkan. Namun, sayangnya aliran ini tidak terlalu mementingkan keadilan. Ketika adanya suatu kodifikasi secara tertulis maka langsunglah kepastian hukum itu akan muncul. Namun, masalah keadilan bukanlah suatu permasalahan yang turut menjadi tujuan dari adanya aliran ini. Apalagi, untuk membentuk suatu norma melalui kodifikasi terkadang mengesampingkan nilai-nilai moral yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Namun, nilai keadilan tersebut sarat akan adanya nilai moral didalamnya. Disinilah letak kontradiksi utama pemikiran aliran positivisme terhadap nilai kepastian dan nilai keadilan. Ketika nilai kepastian hukum yang dijadikan tujuan maka akan ada kontradiksi dengan nilai keadilan yang mengharapkan perlakuan yang sama. Padahal, nilai kepastian dan nilai keadilan sama-sama menjadi tujuan hukum dan sama-sama memiliki nilai yang saling berkaitan.
- Ketika antinomy hukum adalah suatu keadaan yang kontradiktif antara satu dengan yang lainnya, kemudian turut tidak dapat dipisahkan, tidak dapat saling ditiadakan dan saling memerlukan maka persoalan ini perlu diselesaikan melalui suatu aktivitas yang dapat menyelaraskannya. Harmonisasi hukum pun muncul sebagai respon adanya antinomy hukum ini. Harmonisasi hukum merupakan solusi yang mencoba menyatukan dua nilai yang sering kali tampak bertentangan dalam praktik hukum, yaitu kepastian hukum dan keadilan. Melalui pendekatan yang lebih fleksibel dan responsif terhadap konteks sosial, serta penerapan prinsip-prinsip keadilan substantif dan prosedural, harmonisasi hukum memungkinkan hukum untuk tetap memberikan kepastian sambil tetap menjaga nilai-nilai keadilan yang lebih kontekstual dan manusiawi. Dengan demikian, harmonisasi hukum bukan hanya sebuah solusi teoretis, tetapi sebuah pendekatan praktis yang dapat digunakan untuk mengatasi kontradiksi dalam penerapan hukum di dunia nyata
B. Saran
- Sistem hukum harus dirancang sedemikian rupa sehingga memberikan kepastian dalam aturan dan prosedur, tetapi tetap mempertimbangkan fleksibilitas untuk menyesuaikan keputusan dengan nilai-nilai keadilan sosial yang berlaku di masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan mengintegrasikan prinsip "keadilan prosedural" dalam pembuatan dan penerapan hukum.
- Penegakan hukum harus mengadopsi posisi fleksibel dalam positivisme yang memungkinkan interpretasi hukum yang lebih beragam, yang tidak hanya fokus pada aturan yang kaku, tetapi juga bisa mempertimbangkan nilai keadilan sebagai bagian dari penerapan hukum.
- Perlu adanya pendekatan dan penekanan terhadap harmonisasi hukum sebagai penyeimbang antara ketegangan yang muncul antara kedua nilai ini agar dapat kembali berjalan secara beriringan.
Â
Â
Daftar Pustaka
Buku
David Hume. (2009). A Treaties of Human Nature. Auckland: The Floating Press.
Â
Erwin Muhammad (2012), "Filsafat Hukum : Refleksi Kritis terhadap Hukum", Jakarta, Rajawali Pers
Â
Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum: Belanda-Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Binacipta, 1983)
Â
Hassan Shadily, Ensiklopedia Indonesia, Vol .3
Â
Kusnu Goesniadhie, (2006). Harmonisasi dalam Perspektif Perundang-undangan (Le spesialis suatu masalah)Â
Â
Remaja, N. G. (2014). Makna hukum dan kepastian hukum. Kertha Widya, 2(1)
Â
Sudiyana, S., & Suswoto, S. (2018). Kajian Kritis Terhadap Teori Positivisme Hukum Dalam Mencari Keadilan Substantif. Qistie
Â
Jurnal
Â
Amin, S. (2019). Keadilan dalam perspektif filsafat hukum terhadap masyarakat. El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 8(1)
Â
De Micco, F., & Scendoni, R. (2024). Three different currents of thought to Conceive Justice: legal, and Medical Ethics reflections. Philosophies, 9(3)
Â
Endrik Safudin, S. H. I. (2021). Harmonisasi Hukum dalam Antinomi Hukum: Telaah Kritis atas Penerapannya oleh Mahkamah Agung. Q Media.
Â
Frida, Laurensia (2021). "Antinomi Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Impor Garam Nasional", Jatiswara, Vol. 36. No 1 Maret 2021
Â
Hutabarat, D. T. H., Hidayat, Y. A., Amida, N., Yusuf, M., Hazali, H., Rawi, M. K., ... & Aldina, C. (2022). Hubungan Hukum dan Keadilan di Tinjau dari Filsafat Hukum. Nusantara Hasana Journal, 1(10).
Â
Johni Najwan, "Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum", Jurnal Ilmu Hukum Inovatif,
Â
Volume 2, Nomor 3, 2010.
Â
Julyano, M., & Sulistyawan, A. Y. (2019). Pemahaman terhadap asas kepastian hukum melalui konstruksi penalaran positivisme hukum. Crepido, 1(1).
Â
Julyano, M., & Sulistyawan, A. Y. (2019). Pemahaman terhadap asas kepastian hukum melalui konstruksi penalaran positivisme hukum. Crepido, 1(1).
Â
Kusnu Goesniadhie, (2006). Harmonisasi dalam Perspektif Perundang-undangan (Le spesialis suatu masalah)
Â
Noprianto, B., & Israhadi, E. (2024, August). Study of the Legal Certainty of Organizing and Proving Based on DNA Tests in the Process of Investigating General Criminal Offenses in Indonesia. In Proceedings of the 4th International Conference on Law, Social Sciences, Economics, and Education, ICLSSEE 2024, 25 May 2024, Jakarta, Indonesia.
Â
Soeharto, A. (2022). Keadilan Dalam Optik Hukum Alam Dan Positivisme Hukum. Pena: Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, 36.
Â
Savero, M. A., Husna, A., Nasyira, A., Nisrina, F., & Ariyanti, R. (2024). Pengaruh Aliran Filsafat Hukum: Aliran Hukum Alam, Positivisme Hukum, Dan Utilitarian Dalam Perkembangan Ilmu Hukum. Perkara: Jurnal Ilmu Hukum dan Politik, 2(2).
Â
Sudiyana, S., & Suswoto, S. (2018). Kajian Kritis Terhadap Teori Positivisme Hukum Dalam Mencari Keadilan Substantif. Qistie.
Â
Safudin, E. (2020). Harmonisasi Hukum dalam Antinomi Hukum (Analisis Terhadap Penerapan Pasal 20 Ayat 2 Huruf B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies, 2(2).
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H