Mohon tunggu...
Fatya Maulani Firmansyah
Fatya Maulani Firmansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas

Merupakan seorang mahasiswi yang tengah menyelesaikan studi Strata-1 pada Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antinomi Hukum dalam Konteks Filsafat Hukum: Antara Nilai Kepastian dan Nilai Keadilan Berdasarkan Aliran Positivisme

26 November 2024   21:22 Diperbarui: 26 November 2024   21:24 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 

  • Nilai Kepastian Hukum

Kepastian berarti "ketentuan" atau "kejelasan", dan ketika dikaitkan dengan kata "hukum", istilah "kepastian hukum" merujuk pada sistem hukum di suatu negara yang dapat memastikan hak dan kewajiban setiap warganya. Menurut Soedikno Mertokusumo, kepastian hukum merupakan salah satu elemen penting dalam penegakan hukum. Ia menjelaskan bahwa "perlindungan yang dapat diakses secara hukum terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti setiap individu berhak memperoleh apa yang diharapkan dalam keadaan tertentu." (Fernando M. Manulang, 2007: 91-92). Nilai kepastian hukum pada dasarnya memberikan perlindungan kepada setiap warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan, yang mana negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin adanya perlindungan tersebut. Nilai ini sangat terkait dengan peraturan hukum yang berlaku serta peran negara dalam penerapannya dalam sistem hukum positif. (Fernando M. Manulang, 2007: 95).

Kepastian hukum, dalam hal ini, berfungsi sebagai nilai yang harus ada dalam setiap peraturan yang dibuat dan diterapkan. Selaras dengan pernyataan berikut ini yakninya "Legal certainty theory states that the law should be clear, predictable and consistently applied so that individuals can anticipate the consequences of their actions and feel confident that legal decisions will be applied fairly"[4] Kepastian hukum berarti bahwa hukum harus jelas, dapat diprediksi, dan diterapkan secara konsisten, sehingga individu dapat memperkirakan akibat dari tindakan mereka dan merasa yakin bahwa keputusan hukum akan dijalankan dengan adil. Dengan demikian, hukum dapat memberikan rasa keadilan dan menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara filosofis, hukum diharapkan dapat memenuhi aspek ontologis, yaitu menciptakan ketentraman dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia, yang merupakan tujuan utama yang ingin dicapai setiap individu dan inti dari hukum itu sendiri. Theo Huijbers juga berpendapat bahwa hakekat hukum adalah sebagai sarana untuk menciptakan aturan masyarakat yang adil (rapport du droit, inbreng van recht) (Theo Huijbers, 1995: 75).

Secara epistemologis, hukum berkembang melalui metode yang sistematis dan objektif, yang selalu melibatkan penelitian untuk menghasilkan ilmu hukum sebagai bagian dari disiplin ilmu pengetahuan. Dalam aspek aksiologi, hukum mengandung nilai-nilai yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh setiap individu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[5] Hukum pada dasarnya mencerminkan kepastian ketika mampu mengatur perilaku manusia, baik individu, kelompok, maupun organisasi, agar tetap berada dalam batas yang ditentukan oleh aturan hukum. Dengan demikian, manusia tidak akan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain. Berdasarkan pemikiran ini, dapat disimpulkan bahwa setiap hukum yang dihormati oleh masyarakat mengandung nilai kepastian, termasuk hukum yang berlaku dalam kehidupan sosial. Nilai kepastian inilah yang harus ada dalam setiap pembuatan hukum agar dapat memberikan rasa keadilan dan menciptakan ketertiban.[6] Kepastian mengandung beberapa arti, diantaranya adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. 

Soedikno Mertokusumo juga memberikan definisi mengenai kepastian hukum. Kepastian hukum adalah perlindungan yang dapat dipertanggungjawabkan secara yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang dapat memperoleh hak yang diharapkan dalam situasi tertentu. Kepastian hukum pertama-tama mengacu pada kepastian dalam pelaksanaannya, yang berarti bahwa hukum yang secara resmi diundangkan harus dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum juga berarti bahwa setiap orang memiliki hak untuk menuntut pelaksanaan hukum dan tuntutan tersebut harus dipenuhi, serta setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi sesuai dengan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, dalam memahami kepastian hukum, penting untuk memperhatikan bahwa nilai ini memiliki hubungan erat dengan instrumen hukum positif dan peran negara dalam mengimplementasikannya dalam hukum positif. Bahkan, peran negara tidak hanya terbatas pada hal tersebut, tetapi juga bertanggung jawab untuk menjalankan dan menegakkan hukum.

 

  • Nilai Keadilan

Dalam perspektif filsafat hukum, keadilan merupakan prinsip atau konsep yang berhubungan dengan keseimbangan, kesetaraan, dan perlakuan yang adil terhadap setiap individu dalam sistem hukum.  Mengenai keadilan Hans Kelsen memberikan pendapat bahwa "This is one of those questions to which man was aware of never being able to give a definitive answer, but only to formulate the question in a better way."[7] Pertanyaan tentang keadilan adalah salah satu pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan pasti oleh manusia, namun hanya dapat dirumuskan dengan cara yang lebih baik seiring berjalannya waktu. Artinya, konsep keadilan selalu menjadi bahan perbincangan dan pertanyaan di kalangan manusia, namun hingga saat ini belum ada definisi yang jelas tentang bagaimana keadilan seharusnya ada dan terwujud.

Keadilan dalam konteks hukum memiliki hubungan yang sangat erat, bahkan ada yang berpendapat bahwa hukum hanya akan memiliki makna jika dihubungkan dengan prinsip keadilan. Aristoteles, sebagai seorang filsuf, adalah orang pertama yang merumuskan konsep keadilan. Menurutnya, keadilan berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, atau dalam ungkapannya, fiat justitia pereat mundus. Ia kemudian membagi keadilan menjadi dua bentuk, yaitu:

Pertama, keadilan distributif adalah keadilan yang ditetapkan oleh pembuat undang-undang, di mana distribusinya mencakup jasa, hak, dan manfaat bagi anggota masyarakat berdasarkan prinsip kesetaraan yang proporsional.

Kedua, keadilan korektif adalah keadilan yang bertugas untuk menjamin, mengawasi, dan melindungi distribusi hak serta melawan tindakan ilegal yang mengganggu. Fungsi keadilan korektif pada dasarnya diatur oleh hakim, dengan tujuan untuk mengembalikan keadaan semula, baik dengan mengembalikan hak milik korban atau memberikan kompensasi atas kerugian yang ditanggung. Dengan kata lain, keadilan distributif lebih berfokus pada pembagian berdasarkan besar jasa yang diberikan, sementara keadilan korektif menekankan pada kesetaraan hak. Plato berpendapat bahwa keadilan hanya dapat terwujud dalam hukum dan perundang-undangan yang disusun oleh para ahli yang secara khusus memikirkan hal tersebut.[8]

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun