Tidurku baru saja terjaga, bukan tersebab oleh bunyi weker, tapi ledakan besar. DUARR!
Ada apa ini? Kalimat pertamaku ketika tubuh masih di dipan sementara langit-langit kamar yang hancur mempertontonkan kepulan uap hitam. Polusi itu berarak cepat menghalangi birunya langit.
"Aikon! Aikon!"
Suara panik yang menyerukan namaku terdengar, Ayah muncul di balik kepulan debu dan bergegas memelukku. Ayah terbatuk-batuk dan langsung mengajakku terbang entah ke mana padahal kesadaranku belum terkumpul penuh.
Hingga akhirnya kami sampai di tempat baru di atas pohon. Ada banyak peri di sana. Biasanya kalau sedang berkumpul begini pasti ada pesta besar. Namun, ini bukan pesta. Tak ada senyuman. Lebih didominasi rintihan.
Peri tua dan muda banyak yang terluka. Aku ikut duduk di lantai tanpa alas bersama peri-peri yang umurnya tak jauh beda dariku. Ayah memintaku duduk diam, kulihat Ayah pergi ke ruang bersekat bersama raja dan para menteri. Ayahku adalah panglima kerajaan.
Aku tak tahu ini ada apa. Namun, kejadian 300 sekon yang lalu masih terekam jelas. Pohon-pohon tempat rumah kami didirikan berjatuhan. Tanah berteriak marah tanpa ampun dan berguncang saat bom menyentuhnya. Burung-burung berkicau takut dan mengudara acak agar tak terkena imbas ledakan. Membuat jatuh peri yang beterbangan panik karena tak sengaja bertabrakan dengan mereka.
Banyak luka, banyak yang gugur, dan banyak rintihan, tapi aku hanya jadi penonton. Menatap polos semua tanpa sepatah kata.
Ini adalah kejadian seabad silam, ketika aku masih anak-anak. Alasan dibalik majunya aku ke medan perang hari ini. Namaku Aikon, peri bersayap biru dengan kulit pualam.
***
Di dunia peri umur bertambah satu tiap satu dekade. Proses pertumbuhan yang lambat, mungkin tersebab tubuh mungil kami yang hanya setinggi telunjuk manusia. Mungkin juga itulah sebab mengapa tanah air kami masih terjajah. Bangsa kecil melawan serangan besar.
Kaum Mankon adalah pelakunya. Mereka mutasi dari manusia. Wajahnya mengerikan. Tubuhnya hanya sebesar remaja manusia, tapi bertenaga kuat. Mereka telah mencuri teknologi yang paling muktahir dan menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang siapapun. Mereka juga berhasil menciptakan alat-alat pembuat bom lantas melemparkannya pada kami.
Mereka kaum yang tak diinginkan di dunia. Itulah sebabnya mereka berulah, akan menghancurkan semua makhluk yang diawali dari bangsa kami. Bukan hanya Kerajaan Vakon yang dalam bahaya, tapi juga dunia. Aku mengetahuinya bukan hanya dari cerita mulut ke mulut, tapi sudah ada buku yang membahasnya.
Pasukan peri perang tinggal di wilayah Kerajaan Vakon, memperjuangkan tanah air dan bangsa. Sementara peri perempuan dan anak-anak tinggal di pengungsian yang tersembunyi, bangsa semut berbaik hati meminjamkan sarang daunnya.
Sesekali aku ikut perang. Menyamar agar Ayah tak tahu. Beliau melarang. Jujur aku lebih sering di laboratorium daripada perpustakaan. Mencoba menciptakan ramuan-ramuan. Hanya ikut perang ketika berhasil menciptakan racikan baru. Bahkan pernah menaburi ramuan lupa diri pada Mankon yang bekerja di balik mesin besar. Durasinya 300 sekon, tapi hasilnya ampuh, Mankon malah menyerang kaumnya sendiri. Para peri tak tahu apa penyebabnya. Aku diam-diam melakukan semua.
Sore ini seperti biasa aku menyusup di tengah perang. Seorang Mankon mencoba membabat pohon tempat bersarangnya peri perang yang mengawasi wilayah-wilayah kami dan pasukan peri perang berusaha mencegah. Terjadilah baku hantam yang tidak seimbang. Aku diam-diam akan menaburi ramuan mati sekaligus menjadikan Mankon sebagai kelinci percobaan. Dengan lihai sayapku mengepak. Berada di arena perang melatih kelincahan sayap.
Jujur ini aksi berbahaya, bermodal nekat dan strategi hingga akhirnya misi berhasil. Lima sekon pertama Mankon terdiam ketika ramuan mati menyentuh kulit berbintilnya. Pergerakan terjeda. Semua peri bingung. Tak lama tubuh Mankon itu menggelepar-gelepar, dia menjerit lantas terbanting di tanah. Hingga akhirnya mulutnya mengeluarkan busa. Meninggal seketika. Pasukan peri yang bersiaga dengan busur panah terdiam sejenak dan setelahnya bersorak senang.
Aku tersenyum, tapi memudar saat bersitatap dengan Ayah dari kejauhan. Beliau sepertinya tahu aksiku dilihat dari gesturnya yang menatapku tak percaya. Aku mati kutu.
Berujar maaf, tapi sia-sia karena satu sekon berikutnya sebuah bom datang di tengah girangnya pasukan peri. Tubuh Ayah dibanting angin ledakan bom. Bergegas kuhampiri dirinya yang terkulai di atas tanah berangin debu. Terbatuk-batuk. Matanya berair. Aku menggigit bibir memegangi tangannya.
"Larangan adalah perintah, mungkin pikirmu begitu. Namun, Ayah bangga padamu, Aikon. Bangga. Lanjutkan perjuanganmu," lirih Ayah terbata.
Aku menangis karena itu kalimat dukungan pertama yang sangat kutunggu dari Ayah. Hanya saja aku tak menyangka bahwa itu juga kalimat terakhirnya sebelum tiada.
***
Ditinggal Ayah berhasil membuatku putus asa. Kini aku sebatang kara. Lebih sering duduk di ranting pohon. Duduk diam bersimbah air mata. Menderita di atas derita.
Aku ingin mati hingga memutuskan pergi ke tempat perang. Berharap hidup segera usai. Menjadi korban yang jumlahnya tak terhitung lagi. Tersenyum saat sebuah bom datang tepat di tempat aku berdiam diri. Mulai menutup mata. Sesuatu seperti berhasil menabrakku dan rasanya aku melayang di udara sebelum membentur kerasnya tanah. Rasanya sakit, apa aku mati?
Mataku terbuka, membentur netra hijau yang jernih meski debu tipis melayang-layang. Siapa dia? Pemuda itu lantas menjauhkan tubuhnya. Aku mengerjap. Tunggu dulu, jadi tadi itu hanya benturan tubuhnya yang mengenakan pakaian zirah? Dia menyambar tubuhku agar tak terkena hantaman bom dari para Mankon?
"Kau ingin mati!" bentaknya. Kesadaranku sepenuhnya kembali.
"Iya! Kenapa kau gagalkan!"
"Gila!" bentaknya, "jangan mati konyol, dunia peri akan malu jika kau lakukan itu!"
Aku mendecih. Dia menggeleng-geleng. Sempat melihat kalung Ayah yang kukenakan.
"Kalau tidak salah kau putrinya Panglima Keiv, kan? Arwahnya akan kecewa melihatmu yang tak mau melanjutkan perjuangan."
Bibirku seketika rapat, tak bisa bicara. Peri bernetra hijau itu pergi. Aku mendadak sadar. Jiwa juangku yang terkubur bersama tubuh Ayah kini bangkit lagi.
***
Bergegas aku ke laboratorium. Meramu seperti biasa. Racikan baru tercipta tiga hari berselang. Dengan semangat aku berangkat dari pengungsian. Segera menaburi bubuk ramuan itu pada Mankon yang menyusup dengan senjata.
Seperti biasa aksiku tak diketahui Mankon. Reaksi tubuhnya berguncang hebat. Aku tersenyum puas. Namun, hal aneh terjadi. Mendadak tubuhnya menjadi empat kali lipat. Dia berubah raksasa.
Aku terkejut, peri-peri perang tercengang. Bisa kudengar suara-suara kepanikan di antara auman ganas sang Makon. Untuk pertama kalinya racikanku gagal. Mankon itu menggila. Mengaum keras dan mulai menerabas apa pun.
"Bagaimana cara mengatasinya?" Pemuda tempo hari terbang mendekat ketika aku panik. Napasnya tak teratur. "Aku melihatmu menaburi sesuatu sampai membuat Makon itu menjadi raksasa."
"M-mungkin bisa diatasi dengan ramuan mati, tapi i-itu-"
"Itu apa!" Dia tak kalah panik.
"Itu ada di laboratorium pengungsian. Aku akan mengambilnya." Bergegas aku terbang dengan kepala linglung yang hampir membuatku jatuh. Mendadak tanganku digenggam, dibawa melaju lebih kuat oleh kecepatan pemuda itu.
Meski terlambat---hampir setengah wilayah Kerajaan Vakon hancur dan dikuasai oleh mereka---setidaknya kami berhasil membunuh raksasa Mankon itu dengan ramuan mati. Ya, kami. Aku dan Azzon, 750 sekon yang lalu aku baru tahu namanya.
Aku tak girang ketika Mankon itu mati. Justru sedih, akulah si pengacau.
"Tidak apa-apa, kau hebat, Aikon. Lain kali uji coba dulu ramuannya sebelum menaburinya pada Mankon. Coba pada tikus. Susunan zat dalam tubuh mereka dan Mankon hampir sama," kata Azzon. Mungkin karena aku putri panglima jadi banyak peri yang tahu namaku.
***
Dua hari berselang aku berhasil mencipta ramuan mati yang lebih dahsyat. Bisa membunuh dalam lima sekon.
Dengan bangga aku berangkat dari pengungsian. Kali ini tidak akan salah. Aku telah mencobanya pada para tikus di area selokan dekat pengungsian. Dengan senang aku terbang sesekali dengan gaya bebas.
Senyumku memudar menyadari satu hal. Aku belum jauh dari pengungsian dan dari atas bisa kusaksikan semua. Mankon dengan mesin bomnya mengelilingi pohon-pohon pengungsian kami. Sementara pasukan peri perang tidak ada di sini.
Bagaimana bisa peri biasa melawan Mankon yang bersenjata lengkap? Aku panik. Entah dari mana Mankon bisa tahu keberadaan kami. Padahal mereka terus menyerang pusat Kerajaan Vakon. Tamat sudah riwayat bangsa kami yang akan punah.
Aku menelan ludah, menatap kantong ramuan yang kubawa. Ini ampuh, tapi dengan kekuatan peri kecil mana bisa ramuan ini menyebar secepat mungkin. Mustahil!
Aku berkaca-kaca. Hingga sebuah ide tiba-tiba datang. Segera aku kembali ke laboratorium, menyebarkan berita darurat ini sekaligus mengambil sesuatu.
"Mau kau apakan ramuan itu, Aikon?" cegat Azzon setelah mendengar berita dariku. Sejak berteman denganku dia jadi sering ke laboratorium.
"Ini darurat, Azzon! Segera lindungi para peri. Kau juga harus ke kerajaan dan beritahukan ini pada peri perang! Kita tidak punya banyak waktu!" tegasku. Azzon tampak tidak ingin aku pergi, dia sepertinya tahu rencanaku dan tahu risikonya, tapi sekarang darurat.
"Apa pun itu kau harus selamat, Aikon. Berjanjilah padaku," katanya sebelum kami terbang dan melaksanakan tugas masing-masing.
Kulihat semua Mankon sedang bersiap-siap melemparkan bom. Sementara Azzon berusaha mengevakuasi para peri yang terlihat mulai panik. Peri kecil banyak yang menangis ketika sebuah bom jatuh meledak 200 meter dari sarang kami. Ini kacau! Segera aku menaburi tubuhku dengan ramuan pembesar tempo hari yang baru saja kuambil.
Tubuhku berguncang, tak lama badanku membesar. Berkali-kali besar, aku menjadi peri raksasa. Bukan hanya kaumku yang tercengang, tapi juga Mankon.
Volume suaraku membesar, membuat mereka takut. Tanpa perlu lama, dengan wajah ganas aku membanting Mankon dan mesin-mesinnya. Mereka sempat melempar beberapa bom, aku menghadangnya dengan pohon yang bisa kucabut dengan mudah. Aku terbang secepat kilat menghantam mereka. Ada yang masih menyerang, membuat tubuhku terpental mengguncang tanah. Namun, hari ini aku tidak bisa kalah. Dalam hitungan 1200 sekon bisa kuhabisi mereka semua tanpa sisa.Â
Setelah selesai, aku segera menuju Kerajaan Vakon. Di sana rupanya ada serangan besar-besaran. Busur-busur peri perang bahkan tidak bisa membunuh Mankon dengan cepat. Aku segera menendang dan memukuli para Mankon. Baru saja akan melempar pohon pada mereka, sesuatu dilemparkan padaku. Astaga, batu besar lewat mesin itu mengenai tanganku. Rasanya sakit dan aku bahkan mundur beberapa langkah. Peri perang terus menyerang Mankon dan tidak ada yang bisa menolongku dari Mankon yang akan segera melempariku bom.
Aku berusaha bangkit dan tiba-tiba saja Mankon yang tak jauh dariku itu tergeletak tak berdaya. Ada Azzon di sana, tersenyum padaku memamerkan kantong kecil yang aku tahu isinya apa, racun yang kubuat. Selain itu ada peri-peri laboratorium yang ikut melemparkan itu pada para Mankon. Hebat! Azzon dan teman-temanku itu benar-benar bisa diandalkan.
Setelah suasana yang hening sebab tak ada lagi serangan dan semua Mankon telah tiada, aku segera menuju markas para Mankon. Menaburi ramuan mati yang lebih dahsyat. Mereka mengira itu hujan serbuk sehingga berlomba-lomba ingin menikmati. Tak sadar bahwa itulah ajal mereka.
Napasku terengah-engah ketika semua Mankon mati menggelepar di depan mataku sendiri. Kaum mereka telah punah. Aku bisa tersenyum lega.
Seratus delapan puluh sekon kemudian tubuhku kembali mengecil. Sesuatu bereaksi aneh dalam tubuh. Seperti tulang-belulang remuk. Sakit sekali. Terlebih tanganku yang terkena batu tadi sudah membiru legam terasa berkedut-kedut nyeri. Dalam diam kutahan semua, hanya air mata yang mewakili.
"Argh!" jeritku bersamaan dengan hilangnya rasa sakit itu. Tak lama kepakkan sayapku melemah. Perlahan aku tergeletak begitu saja di rerumputan.
Tertunduk sedih, menangis ketika sayapku tak lagi bisa mengepak. Lumpuh total. Itulah risikonya ketika menaburi tubuh dengan ramuan pembesar. Zat dalam tubuh peri tak sekuat Mankon sehingga ketika digunakan peri, akan menimbulkan efek lumpuh pada sayap. Keputusan besar yang kuambil karena desakan situasi.
Dengan sisa-sisa tangis aku mencoba membesarkan hati. Aku teringat lagi kalimat Ayah yang memintaku berjuang, air mataku kembali jatuh bersusulan. Aku berhasil, Ayah.
Segera aku menumpang pada elang untuk kembali ke pengungsian. Bekas-bekas perang tadi masih tampak. Meski begitu semua peri berkumpul bahagia di sarang daun, menari-nari, merayakan kemerdekaan. Kemeriahan yang hanya bisa kubaca dalam buku sejarah bangsa kami kini bisa terwujud. Aku tersenyum simpul. Segera bergabung dengan berjalan di ranting pohon meski takut dan segan. Di bangsa peri, jika tidak bisa terbang akan dikategorikan cacat. Aku takut tidak diterima mereka. Apalagi sejak tadi mereka memperhatikanku yang diantar elang.
Pasti mereka heran kenapa sayapku lesu, tak mengepak. Rasanya aku ingin menangis. Namun, pemuda bernama Azzon terbang mendekat. Menatapku.
"Semua mohon perhatiannya! Inilah pahlawan kita, Aikon putri Panglima Keiv! Dia rela sayapnya lumpuh demi menyelamatkan bangsa dan kemerdekaan kita!" Azzon menundukkan badan padaku. Dia tersenyum bangga sedetik kemudian.
Hening, aku menggigit bibir. Tepuk tangan tunggal terdengar darinya, yang perlahan menjadi riuh. Aku mendongak, mereka semua tersenyum padaku. Hal itu segera disusul teriakan, "Hidup, Aikon!"
Air mataku luruh, tapi aku tertawa. Berterima kasih juga pada mereka yang tetap menerima peri cacat sepertiku.
Sang raja datang mendekat, pertama-tama menepuk bahu Azzon.
"Kau juga hebat, putraku," seru raja. Aku kaget. Jadi Azzon pangeran muda? Astaga, selama ini aku terlalu apatis dan baru ingat bahwa raja memiliki anak lelaki yang sejak kecil dilatih di luar kerajaan. Pantas saja di beberapa ceritanya dia seperti kenal dekat dengan Ayahku.
Mengabaikan keterkejutanku, raja mendekat. Seperti yang dilakukannya pada putranya, raja menepuk bahuku. "Terima kasih, Aikon. Perjuanganmu akan abadi. Kamu adalah pahlawan peri dan dunia ini."
Aku menunduk haru. Tak lama raja berseru pada kaum peri. "Mulai hari ini Aikon digelari Putri Kerajaan Vakon sebagai ucapan terima kasih atas sikap patriotismenya!"
Semua peri bertepuk tangan. Air mataku banjir. Menangis haru. Meski sayapku tak lagi mengepak, tapi ini setara dengan membayar lunas penjajahan seabad lebih. Senyum para peri telah kembali. Merdeka!
Note: Sebuah cerpen random dari tahun 2021.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H