Setelah selesai, aku segera menuju Kerajaan Vakon. Di sana rupanya ada serangan besar-besaran. Busur-busur peri perang bahkan tidak bisa membunuh Mankon dengan cepat. Aku segera menendang dan memukuli para Mankon. Baru saja akan melempar pohon pada mereka, sesuatu dilemparkan padaku. Astaga, batu besar lewat mesin itu mengenai tanganku. Rasanya sakit dan aku bahkan mundur beberapa langkah. Peri perang terus menyerang Mankon dan tidak ada yang bisa menolongku dari Mankon yang akan segera melempariku bom.
Aku berusaha bangkit dan tiba-tiba saja Mankon yang tak jauh dariku itu tergeletak tak berdaya. Ada Azzon di sana, tersenyum padaku memamerkan kantong kecil yang aku tahu isinya apa, racun yang kubuat. Selain itu ada peri-peri laboratorium yang ikut melemparkan itu pada para Mankon. Hebat! Azzon dan teman-temanku itu benar-benar bisa diandalkan.
Setelah suasana yang hening sebab tak ada lagi serangan dan semua Mankon telah tiada, aku segera menuju markas para Mankon. Menaburi ramuan mati yang lebih dahsyat. Mereka mengira itu hujan serbuk sehingga berlomba-lomba ingin menikmati. Tak sadar bahwa itulah ajal mereka.
Napasku terengah-engah ketika semua Mankon mati menggelepar di depan mataku sendiri. Kaum mereka telah punah. Aku bisa tersenyum lega.
Seratus delapan puluh sekon kemudian tubuhku kembali mengecil. Sesuatu bereaksi aneh dalam tubuh. Seperti tulang-belulang remuk. Sakit sekali. Terlebih tanganku yang terkena batu tadi sudah membiru legam terasa berkedut-kedut nyeri. Dalam diam kutahan semua, hanya air mata yang mewakili.
"Argh!" jeritku bersamaan dengan hilangnya rasa sakit itu. Tak lama kepakkan sayapku melemah. Perlahan aku tergeletak begitu saja di rerumputan.
Tertunduk sedih, menangis ketika sayapku tak lagi bisa mengepak. Lumpuh total. Itulah risikonya ketika menaburi tubuh dengan ramuan pembesar. Zat dalam tubuh peri tak sekuat Mankon sehingga ketika digunakan peri, akan menimbulkan efek lumpuh pada sayap. Keputusan besar yang kuambil karena desakan situasi.
Dengan sisa-sisa tangis aku mencoba membesarkan hati. Aku teringat lagi kalimat Ayah yang memintaku berjuang, air mataku kembali jatuh bersusulan. Aku berhasil, Ayah.
Segera aku menumpang pada elang untuk kembali ke pengungsian. Bekas-bekas perang tadi masih tampak. Meski begitu semua peri berkumpul bahagia di sarang daun, menari-nari, merayakan kemerdekaan. Kemeriahan yang hanya bisa kubaca dalam buku sejarah bangsa kami kini bisa terwujud. Aku tersenyum simpul. Segera bergabung dengan berjalan di ranting pohon meski takut dan segan. Di bangsa peri, jika tidak bisa terbang akan dikategorikan cacat. Aku takut tidak diterima mereka. Apalagi sejak tadi mereka memperhatikanku yang diantar elang.
Pasti mereka heran kenapa sayapku lesu, tak mengepak. Rasanya aku ingin menangis. Namun, pemuda bernama Azzon terbang mendekat. Menatapku.
"Semua mohon perhatiannya! Inilah pahlawan kita, Aikon putri Panglima Keiv! Dia rela sayapnya lumpuh demi menyelamatkan bangsa dan kemerdekaan kita!" Azzon menundukkan badan padaku. Dia tersenyum bangga sedetik kemudian.