Ditinggal Ayah berhasil membuatku putus asa. Kini aku sebatang kara. Lebih sering duduk di ranting pohon. Duduk diam bersimbah air mata. Menderita di atas derita.
Aku ingin mati hingga memutuskan pergi ke tempat perang. Berharap hidup segera usai. Menjadi korban yang jumlahnya tak terhitung lagi. Tersenyum saat sebuah bom datang tepat di tempat aku berdiam diri. Mulai menutup mata. Sesuatu seperti berhasil menabrakku dan rasanya aku melayang di udara sebelum membentur kerasnya tanah. Rasanya sakit, apa aku mati?
Mataku terbuka, membentur netra hijau yang jernih meski debu tipis melayang-layang. Siapa dia? Pemuda itu lantas menjauhkan tubuhnya. Aku mengerjap. Tunggu dulu, jadi tadi itu hanya benturan tubuhnya yang mengenakan pakaian zirah? Dia menyambar tubuhku agar tak terkena hantaman bom dari para Mankon?
"Kau ingin mati!" bentaknya. Kesadaranku sepenuhnya kembali.
"Iya! Kenapa kau gagalkan!"
"Gila!" bentaknya, "jangan mati konyol, dunia peri akan malu jika kau lakukan itu!"
Aku mendecih. Dia menggeleng-geleng. Sempat melihat kalung Ayah yang kukenakan.
"Kalau tidak salah kau putrinya Panglima Keiv, kan? Arwahnya akan kecewa melihatmu yang tak mau melanjutkan perjuangan."
Bibirku seketika rapat, tak bisa bicara. Peri bernetra hijau itu pergi. Aku mendadak sadar. Jiwa juangku yang terkubur bersama tubuh Ayah kini bangkit lagi.
***
Bergegas aku ke laboratorium. Meramu seperti biasa. Racikan baru tercipta tiga hari berselang. Dengan semangat aku berangkat dari pengungsian. Segera menaburi bubuk ramuan itu pada Mankon yang menyusup dengan senjata.