Mohon tunggu...
fatrisia
fatrisia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Menulis fiksi ringan sebagai hobi selingan. Ig @inifatrisia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Story About Us

20 Agustus 2024   17:17 Diperbarui: 20 Agustus 2024   17:20 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku suka sama kamu"

Akhirnya kalimat itu terucap. Setelah bertahun-tahun, berbulan-bulan, dan berhari-hari terpendam dalam hatiku. Tentunya dengan susah payah aku menyatakannya, setelah mengumpulkan keberanian dan tentunya kepercayaan diri bahwa seratus persen tidak akan ditolak.

"Pfttt ...."

Tak lama gelak tawa langsung terdengar dari mulut Rafiq. Aku menatapnya bingung. Apanya yang lucu?

"Aku serius," kataku. Kutatap dengan lekat perubahan ekspresinya yang tadinya tertawa kini memperlihatkan raut wajah kaget.

"Setelah ini kamu bakal bilang 'ini prank!'. Udahlah Tia, aku tahu isi otakmu. Kamu selalu aja ngerjain aku."

Aku memalingkan wajah. Risiko menjadi orang humoris, saat serius malah dianggap sedang bercanda. Kembali kutatap wajahnya. "Kali ini serius. Jadi gimana tanggapanmu?"

Rafiq mengusap dagunya. Seolah sedang berpikir keras.

"Mustahil. Mana mungkin sahabatku satu-satunya sejak SD tiba-tiba suka sama aku. Hari ini kamu benar-benar aneh, Tia."

Aku mendengkus kesal. Tidak bisakah dia menganggapku serius? Satu kali ini saja. Lagian cinta dalam persahabatan kan wajar. "Okelah. Anggap aku aneh. Jadi kalau misalnya itu benar-benar terjadi, gimana menurutmu?"

Rafiq mengacak rambutku.

"Kalau itu terjadi, aku nggak bisa balas rasa itu. Kamu tahu sendiri kan kalau buatku sahabat adalah sahabat, dan cinta adalah cinta. Dua hal yang berbeda."

"Tapi bagiku sahabat adalah cinta dan cinta adalah sahabat," batinku.

"Lagian sekarang aku lagi deketin Vivian. Dia itu sesuai tipeku. Kamu kan bukan tipeku."

"Yaiyalah, aku juga tahu. Feeling-ku juga ngerasa kalau kalian berdua itu cocok banget," kataku, sok tegar.

Lalu dia tertawa. Aku pun ikut tertawa. Menertawakan nasibku. Menertawakan keberanianku. Menertawakan perasaanku.

Senja terlihat indah. Kini taman mulai banyak pengunjung. Pohon dan daun-daun bergoyang diterpa angin sepoi-sepoi. Momen indah yang paling kusuka kini membuatku ingin menangis. Mengapa di saat indah hatiku justru mendapat luka? Sesampainya di rumah aku menangis. Perih. Sakit. Rasanya ingin mati saja.

Kamu kan bukan tipeku.

Kalimat itu berputar-putar di ingatanku. Aku tertawa. Bodoh! Ternyata aku memang benar-benar bodoh. Mana mungkin Rafiq suka pada cewek sepertiku?

Selama beberapa hari aku dalam mode galau. Selalu berteman dengan es batu untuk mengompres mata yang bengkak dan sembab. Akhirnya aku terkena flu. Sangat miris.

"Nih tisunya."

Aku menerima tisu dari Rafiq. "Hatci! H-hatci!"

"Makanya kalau malam jangan minum es, jangan begadang, jangan mandi malam. Kebiasaan sih. Jauhin hal-hal yang bikin kamu sakit."

Termasuk jauhin kamu?

"Udah tahu."

"Pokoknya kamu harus cepat sembuh. Aku kangen sama kamu yang suka bercanda."

Aku mengiyakan semua ucapannya. Saat aku sakit dia memang akan sangat rempong seperti ibu-ibu. Dia pun pergi sebentar kemudian kembali dengan segelas teh hangat dan roti. Tak lupa ada seporsi bubur. Terlalu perhatian berefek membuatku gagal move on.

Kadang laki-laki sangat perhatian bukan karena dia punya rasa, tapi memang orangnya seperti itu. Parahnya perempuan sering terbawa perasaan. Perhatian sedikit saja dikira ada sesuatu yang spesial. Aku menggeleng kepala. Tidak, tidak boleh. Aku harus melepaskan rasa ini.

Rafiq tertawa. "Kenapa geleng-geleng kepala? Pengen joget?"

Aku mendengkus kesal terlalu malas meladeninya di saat sedang flu seperti ini. "Terserah."

Setelah beberapa hari yang sulit itu akhirnya aku sembuh. Berkat Rafiq yang begitu perhatian dan selalu memotivasiku meskipun hal itu berefek pada hatiku yang belum sepenuhnya membaik. Selamat tinggal flu. Selamat datang kembali patah hati.

Rafiq semakin sibuk. Hubungannya dengan Vivian yang semakin dekat membuatnya jarang meluangkan waktu untukku, walau hanya sekedar say hello lewat chat. Aku mencoba ambil sisi positifnya. Mungkin ini waktunya move on. Meski yang sebenarnya terjadi hatiku sangat tidak baik-baik saja.

"Aku tahu obat paling ampuh buat ngelupain seseorang penyebab patah hati."

Didi, teman beda kelas itu tiba-tiba menghampiriku. Menduduki kursi kantin yang biasanya diduduki oleh Rafiq saat bersamaku.

"Oh ya? Tapi aku nggak tertarik buat dengerin."

"Jutek amat sih, Tia, kayak nggak kenal aku aja."

"Kamu yang sok kenal sama aku." Aku menatap malas Didi. Dia itu termasuk spesies cowok yang terlalu humble di sekolah. Siapa pun pasti diajaknya mengobrol, tak heran banyak yang salah paham dengan tingkahnya dan akhirnya baper. Mungkin hanya aku pengecualiannya. Didi memang rupawan, tapi hobinya yang selalu memegang jambulnya itu yang membuatku malas. Sedikit-sedikit memperbaiki jambulnya padahal jambul kebanggaannya itu sudah rapi, sangat rapi malah.

"Saranku sih, untuk sementara jauhin orang yang kamu suka. Kalau dia merasa kehilangan berarti dia juga punya perasaan yang sama. Kadang seseorang itu bakal sadar sama perasaannya pas dia mulai ngerasa kehilangan."

Didi terus mencecarku dengan kalimat-kalimat yang menyebalkan. Andai saja dia adalah Rafiq, mungkin aku tidak akan sesinis ini padanya. Lagi pula dia selalu bersikap sok bijak. Kembali kulihat tangannya yang menata jambulnya itu, oh astaga ini lebih menyebalkan dari yang kuduga.

Namun, aku juga bingung. Dari mana Didi tahu kalau aku sedang patah hati? Ah pasti karena sikap dan sifatku yang agak berbeda akhir-akhir ini. Selain itu, dia terus saja menemaniku saat di kantin. Menggangguku dengan ucapan-ucapannya yang tidak bermutu, tapi bisa dikategorikan benar. Entahlah.

Aku pun mulai terbiasa akan kehadirannya itu.Seperti saat ini. Dia kembali duduk di depanku. Belum juga bersuara, ada suara lain yang tiba-tiba muncul. Suara familiar.

"Minggir, ini tempatku!"

Aku melihat wajah Rafiq yang tidak bersahabat saat menatap Didi. Mungkin sekarang dia sedang badmood karena gebetannya tidak mau diajak ke kantin. Harusnya dia tidak berhak mengusir Didi dari sini karena Didi yang pertama datang dan duduk di sana. Didi akan berdiri, tapi aku mencegahnya. "Tetap duduk di situ. Kamu duduk di samping Didi aja, Fiq."

Rafiq menatapku tidak percaya bahwa aku baru saja membela Didi. Namun, dia tidak bersuara. Mengikuti perintahku.

Ternyata Didi punya selera humor yang bagus. Dia mampu membuatku tertawa. Setidaknya membuatku lupa bahwa aku sedang patah hati. Sarannya yang sok bijak itu kupraktikkan diam-diam. Aku bahkan mulai menjaga jarak dengan Rafiq.

"Kamu kok mulai jauhin aku?" tanya Rafiq suatu ketika.

"Jangan mutar balikkan fakta, deh. Kamu yang sebenarnya jauhin aku sejak dekat sama Vivian."

Rafiq menghela napas. "Tia aku mau jujur, aku nggak suka kamu mulai dekat dengan Didi."

Aku pura-pura mengernyit heran. Dalam hati tertawa dan berdoa semoga dia bersikap seperti itu karena mulai cemburu.

"Memangnya kenapa?"

Dia terdiam. "Engh ...."

"Btw hubunganmu sama Vivian gimana?" potongku.

"Nggak berjalan lancar. Dia udah punya pacar dan aku cuma jadi orang ketiga."

Aku cukup kaget. Pasti sakit. Siapa suruh menolakku secara tidak langsung waktu itu. Istilahnya sih, menolak aku yang pasti mencintai dia dan memilih orang lain yang belum tentu memberinya cinta sebesar yang aku punya.

Terhitung sudah beberapa pekan ini aku menjauhi Rafiq. Untungnya kami beda kelas sehingga sulit untuk bertemu.

Dia berusaha sekeras mungkin untuk bertemu denganku. Pun aku juga berusaha keras menjauhinya. Ingin tahu apakah perkataan Didi tempo hari yang katanya seseorang akan menyadari perasaannya saat merasa kehilangan itu benar atau tidak.

Akhirnya aku pun memutuskan bertemu dengan Rafiq di danau seperti biasa, itu karena dia berhasil mencegatku waktu istirahat saat melewati kelasnya. Kami berdiri bersisian di danau dan termangu menatap keheningan di depan kami.

"Aku suka kamu."

Kalimat itu keluar dari mulut Rafiq. Memecah keheningan yang beberapa menit lalu telah tercipta.

"Pfftt ...." Aku langsung tertawa. Lucu. Mana mungkin hal itu bisa terjadi dalam waktu sesingkat ini?

"Aku serius."

Kembali aku menatapnya. Tak bisa menebak apa yang ada dalam hatinya sebenarnya.

"Setelah ini kamu bakal bilang 'ini prank!'. Udahlah Fiq, aku tahu isi otakmu. Kamu selalu aja ngerjain aku." Mengulang kembali kalimat yang dia ucapkan tempo hari.

"Kali ini serius. Jadi gimana tanggapanmu?"

Kejadian ini persis seperti aku mengungkapkan perasaanku. Bedanya hari ini aku tidak berharap apa pun. Supaya sepulang dari sini aku tidak perlu menangis lagi.

"Kalau saja aku tipemu, mungkin aku bakal senang sih."

Rafiq menunduk. Aku memperhatikan gerak-geriknya lewat ekor mata.

"Sayangnya, aku bukan tipemu. Lagian kan buatmu sahabat adalah sahabat dan cinta adalah cinta. Dua hal yang beda. Mana mungkin bisa menyatu?"

Rafiq menghela napas. "Waktu itu aku salah. Aku mikirnya sahabat akan selalu ada sampe aku nggak akan pernah kehilangan seperti cinta. Tapi pas kamu menjauh, aku mulai merasa ada yang hilang. Bahkan saat di dekat Vivian aku cuma ingat kamu. Apalagi ngeliat kamu sering duduk bareng Didi, aku beneran kesal. Awalnya aku kira karena kamu sahabatku makanya aku nggak mau kamu digangguin Didi yang sok keren itu, tapi aku salah. Kesimpulannya aku cemburu dan aku jatuh cinta sama kamu tanpa aku sadari."

Senja terlihat indah. Kini taman mulai banyak pengunjung. Pohon dan daun-daun bergoyang diterpa angin sepoi-sepoi. Momen indah yang paling kusuka kini membuatku ingin menangis. Bukan karena terluka, tapi karena bahagia. Akhirnya rasaku terbalas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun