"Kalau itu terjadi, aku nggak bisa balas rasa itu. Kamu tahu sendiri kan kalau buatku sahabat adalah sahabat, dan cinta adalah cinta. Dua hal yang berbeda."
"Tapi bagiku sahabat adalah cinta dan cinta adalah sahabat," batinku.
"Lagian sekarang aku lagi deketin Vivian. Dia itu sesuai tipeku. Kamu kan bukan tipeku."
"Yaiyalah, aku juga tahu. Feeling-ku juga ngerasa kalau kalian berdua itu cocok banget," kataku, sok tegar.
Lalu dia tertawa. Aku pun ikut tertawa. Menertawakan nasibku. Menertawakan keberanianku. Menertawakan perasaanku.
Senja terlihat indah. Kini taman mulai banyak pengunjung. Pohon dan daun-daun bergoyang diterpa angin sepoi-sepoi. Momen indah yang paling kusuka kini membuatku ingin menangis. Mengapa di saat indah hatiku justru mendapat luka? Sesampainya di rumah aku menangis. Perih. Sakit. Rasanya ingin mati saja.
Kamu kan bukan tipeku.
Kalimat itu berputar-putar di ingatanku. Aku tertawa. Bodoh! Ternyata aku memang benar-benar bodoh. Mana mungkin Rafiq suka pada cewek sepertiku?
Selama beberapa hari aku dalam mode galau. Selalu berteman dengan es batu untuk mengompres mata yang bengkak dan sembab. Akhirnya aku terkena flu. Sangat miris.
"Nih tisunya."
Aku menerima tisu dari Rafiq. "Hatci! H-hatci!"