Rafiq menunduk. Aku memperhatikan gerak-geriknya lewat ekor mata.
"Sayangnya, aku bukan tipemu. Lagian kan buatmu sahabat adalah sahabat dan cinta adalah cinta. Dua hal yang beda. Mana mungkin bisa menyatu?"
Rafiq menghela napas. "Waktu itu aku salah. Aku mikirnya sahabat akan selalu ada sampe aku nggak akan pernah kehilangan seperti cinta. Tapi pas kamu menjauh, aku mulai merasa ada yang hilang. Bahkan saat di dekat Vivian aku cuma ingat kamu. Apalagi ngeliat kamu sering duduk bareng Didi, aku beneran kesal. Awalnya aku kira karena kamu sahabatku makanya aku nggak mau kamu digangguin Didi yang sok keren itu, tapi aku salah. Kesimpulannya aku cemburu dan aku jatuh cinta sama kamu tanpa aku sadari."
Senja terlihat indah. Kini taman mulai banyak pengunjung. Pohon dan daun-daun bergoyang diterpa angin sepoi-sepoi. Momen indah yang paling kusuka kini membuatku ingin menangis. Bukan karena terluka, tapi karena bahagia. Akhirnya rasaku terbalas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H