Mohon tunggu...
Fatmasari
Fatmasari Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Pemimpi dari Kampung

Instagram : @fatmafama10 . Wattpad : heningrindu . NovelMe : Hening Rindu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Semesta Mulai Bercanda (Part 1)

6 Juni 2020   11:46 Diperbarui: 7 Juni 2020   13:22 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

1


Jika dalam tata surya, matahari dan bulan adalah perihal siang dan malam. Maka, pada kisah ini, aku dan kamu adalah perihal takdir yang tak sempurna.
_Aurum

Merayakan hati yang telah bebas dari kekang luka apakah perlu? Jika iya, mungkin ini adalah saat yang tepat. Ketika musim telah jatuh pada panas, ketika jiwa telah bangkit dari ingatan lama. Langit kembali berseri dan semestanya tak lagi runtuh.


"Rasanya lega, saat hujan mengucap selamat tinggal pada langit," katanya sembari mendongak menghadap langit. Entah kenapa hatinya tak pernah menyukai hujan sejak saat itu. Saat dia sadar semesta tak lagi berpihak pada kisahnya.


"Dasar cewek aneh." Celetuk itu mengusik ketenangan Aurum. Seakan-akan guntur bergema dalam dadanya. Dia sangat mengenal getar suara itu, dia tidak memiliki keberanian untuk menoleh. Tidak, jangan sampai dia bersemuka lagi dengan wajah itu. Hatinya tidak akan sanggup.


"Aurum, apa kamu tidak merindukanku?" Sekali lagi sosok itu bersuara, membuat Aurum semakin bergetar. Dia takut. Dia tidak siap bertemu dengan pemilik suara itu lagi.


"Kamu tahu, Aurum ... Aku sangat merindukanmu, seperti yang selalu kamu katakan dulu, setiap kita merindukan seseorang, orang yang sedang kita rindukan akan merasa rindu ju---"


"Saya tidak merindukan anda. Maaf, saya harus pergi." Satu-satunya cara untuk menyelamatkan hatinya memang hanya dengan menghindar. Seperti yang telah dia lakukan beberapa tahun terakhir.

Aurum semakin mempercepat langkahnya. Hatinya kembali retak. Matanya kembali sembab. Semestanya kembali porak-poranda. Tuhan, kenapa luka itu harus kembali hinggap sepersekian menit setelah dia menyatakan sembuh. Kenapa takdir selalu mempermainkannya? Apa bagi sang takdir, dia sama sekali tidak pantas untuk merasakan sebuah ketenangan? Seburuk inikah garis tangannya dilukiskan? Atau Aurum yang terlalu dungu mau diombang-ambing terus menerus tanpa mau melepas? Seperti yang telah diketahui, takdir tidak selalu baik, setidaknya bagi dirinya.


"Kamu tidak boleh lemah, Aurum. Semua telah berlalu begitu lama. Kamu tidak boleh merasa hancur seperti dulu. Jangan sakiti dirimu sendiri," rutuknya lirih di sela-sela tetesan air mata dan langkah-langkah lebarnya.


Dia tahu, sosok itu masih mengikutinya. Sosok yang tidak tahu apa-apa, tapi harus dia korbankan demi ketenangan hatinya. Yang justru semakin memperbanyak luka dan amarah pada jiwanya. Begitulah manusia, terkadang terlalu terburu-buru memutuskan sesuatu yang rumit, yang semestinya perlu pemikiran panjang dan penuh pertimbangan.


***


Tubuh gadis itu hampir memeluk aspal jika saja tidak ada yang menangkapnya. Langkah-langkah lebarnya berubah menjadi  lari-lari kecil tanpa dia sadari. Hingga tubuhnya limbung menabrak sesosok tegap yang kini dengan kokoh memeluknya.


"Aurum?" Seketika pandangan Aurum tertuju pada orang itu.


"Aska? Kamu ngapain di sini?"


"Ini tempat umum, siapa saja boleh ke sini kan? Lagi pula kamu emang bandel ya, berapa kali aku bilang ke kamu kalau jalan itu jangan nunduk. Hobi banget nabrak-nabrak."


"Iya, maaf, nggak sengaja."


Seperti biasa, Aska tidak akan bisa merasa kesal terlalu lama pada Aurum. Ekspresi polos gadis itu selalu mampu meluluhkan hatinya. Terlebih, sepertinya kaki gadis itu terkilir dan harus segera dikompres supaya tidak bengkak.


"Eh, kamu ngapain, Ka?"


"Udah diem aja, sih."


"Turunin aku, Ka. Malu dilihatin orang."


Lelaki itu tidak mengacuhkan gerutu Aurum. Dia terus berjalan dengan santai membopong gadis itu. Membawanya ke warung terdekat dan segera memesan minuman untuk mereka berdua, serta meminta es batu dan kain kepada pemilik warung untuk mengompres kaki Aurum yang terkilir.


Dengan penuh kehati-hatian, Aska mulai menempelkan es batu yang telah dibungkus dengan kain ke kaki Aurum yang mulai terlihat memar. Membuat gadis itu sedikit berjingkat.


"Sakit, ya?"


"Iya lah, pakai nanya."


"Tahan, ya. Kalau nggak dikompres malah bengkak nanti."


Dia melanjutkan mengompres kaki Aurum, sampai butir-butir es batu itu meleleh dengan sempurna. Lelaki itu segera mengembalikan kain yang dipinjamnya dan tidak lupa pula membayar minuman yang telah dipesannya tadi. Hari sudah petang, dia harus mengantar gadis itu pulang. Gadis itu kelihatannya juga sudah lelah, kasihan jika mereka terus berada di sana. Dia harus mencari taksi atau kendaraan umum lain, tapi dia tidak mungkin juga meninggalkan gadis itu sendiri di warung ini---di tengah-tengah banyak orang yang tidak dikenal oleh gadis itu.


"Ngapain jongkok?"


"Ayo cepetan naik! Mau pulang nggak?"


"Aku bisa jalan sendiri nggak perlu digendong."


"Nggak usah banyak omong, ini udah hampir malam, mau pulang nggak?"


Terlihat dengan sangat terpaksa gadis itu menurut. Merelakan dirinya menjadi pusat perhatian seluruh pasang mata di sekitarnya. Laki-laki itu benar, kakinya masih sangat sakit untuk dipaksa berjalan.


Sepanjang jalan yang telah disusuri, mereka tidak kunjung menemukan kendaraan yang bisa membawa mereka pulang. Sampai ada sebuah mobil hitam mengkilat yang berhenti tepat di samping mereka.


"Mau saya antar?" Pemilik mobil itu membuka jendela dan menawari tumpangan.


"Lintang?!" seru Aska yang merasa kenal dengan orang itu.


"Iya, ini aku. Mau bareng nggak?"


"Mau sekali, kamu datang di saat yang tepat. Aku udah cape banget gendong cewek satu ini."

Pandangan Lintang mengikuti arah mata Aska melirik. Sedangkan yang dilihat hanya diam dan menunduk. Tidak berniat menyapa atau sekadar tersenyum basa-basi. Aska merasa sedikit aneh pada diamnya gadis yang dia gendong. Tidak biasanya gadis itu diam saat digodanya---tidak peduli di depan umum ataupun tidak. Ah, mungkin dia sedang sangat lelah atau masih kesakitan kakinya.
Aska dan Aurum akhirnya diantar pulang oleh Lintang. Yang diketahui gadis itu setelah perbincangan di sepanjang jalan menuju rumah, bahwa laki-laki yang memberi mereka tumpangan adalah sahabat Aska sedari kecil.


***


Aurum tertidur dengan kepala yang disenderkan pada pundak Aska. Dia terlihat sangat lelah. Entah apa yang membuat gadis itu berlarian hingga menabrak Aska tadi. Lelaki itu belum sempat bertanya.


"Gadis ini siapa, Ka?"


"Gadisku, namanya Aurum."


Terlihat sekali dari binar mata lelaki itu, Aska sangat mencintai gadis itu---gadisnya. Menciptakan desir aneh dalam dada Lintang. Aska, temannya itu, belum pernah terlihat sejatuh cinta ini pada seorang gadis. Walaupun mereka tidak bertemu hampir tiga tahun, tetapi mereka masih saling bertukar kabar dan cerita. Dan sahabatnya itu belum pernah menyebut nama gadis ini sebelumnya. Apa hubungan mereka baru saja terjalin? Atau ...?


"Pertigaan depan belok kanan, Tang," ucap Aska mengarahkan. Membuat buyar deretan 'mungkin' dalam kepala Aska.
Mobil hitam itu berhenti dengan mulus tepat di depan rumah Aurum. Aska membopong tubuh lelap gadis itu. Dia tidak tega membangunkannya. Untung saja orang tua Aurum sedang tidak ada di rumah, jadi dia terbebas dari ocehan Tante Tari---ibunya Aurum.


Setelah membawa Aurum ke kamarnya, dia buru-buru pamit pada Awan--adik laki-laki dari Aurum. Lagipula, dia tidak ingin membuat Lintang menunggu terlalu lama di dalam mobil. Anak itu entah kenapa tidak mau diajak masuk, padahal dia bukan tipe introvert yang selalu merasa tidak nyaman bertemu orang baru.


"Tidur di rumahku aja, Tang. Begadang kita malam ini." Aska begitu terlihat bahagia bertemu lagi dengan sahabatnya.


Lintang memang sosok introvert yang berhasil diluluhkan hatinya oleh Aurum. Tidak banyak temannya, bahkan dirasa, hanya Aska yang benar-benar dia anggap sebagai teman. Tetapi dia sadar diri, tidak boleh selamanya tertutup pada sosial di sekelilingnya. Hingga dalam percobaan itulah, dia bertemu dengan Aurum. Gadis yang baru sebulan menjadi kekasihnya.


"Ka, kok nggak pernah cerita kalau udah punya cewek?"


"Aku tidak mau membagi kisahku dengannya pada siapa pun, termasuk kamu," jawab Aska dengan nada bercanda, tetapi terdengar sungguh-sungguh.


"Ya elah, ceritalah, aku penasaran, bagaimana itu cewek bisa meluluhkan hatimu yang kerasnya melebihi karang."


"Hatiku luluh dengan binar keikhlasan pada matanya, senyuman tulusnya yang begitu manis, dan segala sikapnya yang begitu baik."
Pandangan Aska lurus menatap jalanan, dia seperti tengah membayangkan gadisnya berada di depan sana dan membuatnya terpana. 

Lintang bergeming, tidak berniat melanjutkan obrolan tentang gadis itu. Aska benar, gadis itu begitu menawan, bahkan pada saat pertama kali orang melihatnya, pasti orang itu akan tertarik pada pesonanya, begitu pun dia.


***


Terlihat keadaan sekitar pantai itu masih sepi, maklum baru pukul 05.00 pagi. Siapa juga gerangan yang mau datang ke pantai sepagi ini. Udaranya saja masih sanggup membirukan kuku-kuku jari. Kecuali gadis yang bernama Aurum ini. Berada di tengah hamparan pasir pantai pada jam-jam segini sudah mengakar kuat pada dirinya. Katanya, udara di sana begitu menenangkan, sejuk, dan bersih. Dia baru akan beranjak saat ramai terdengar para pengunjung lain berdatangan, biasanya itu sekitar pukul 07.30 pagi. Seperti sekarang. Tubuhnya baru beranjak dari pasir yang menjadi panas sebab terlalu lama didudukinya. Mengucapkan selamat tinggal pada birunya air pantai yang berdebur indah, berterima kasih pada burung-burung kecil yang telah menemani paginya.


Tak sengaja pandangannya bertumbukan dengan tatapan orang yang berdiri di bibir jalan. Hatinya seketika menaruh curiga, takut jikalau lelaki itu berbuat jahat padanya. Tapi apa mau dilaku selain terus maju dan berjalan melewati lelaki itu? Karena jalan itu hanya satu-satunya yang terdekat dengan rumahnya. Dengan sangat waspada, dia berjalan menundukkan kepala dan lewat depan lelaki itu. Jalannya semakin cepat, bahkan kini dia sudah berlari dengan sedapatnya, dan lelaki yang menatapnya tadi pun ikut berlari mengejarnya, membuat gadis itu semakin bergidik.


Kabur ketakutan membuat gadis itu seperti kesetanan, lari dengan begitu cepat, hingga akhirnya berhenti dengan jeritan yang tertahan. Tubuhnya limbung, kakinya menginjak batu dan terpeleset. Dicobanya berdiri, tetapi kakinya terlalu sakit untuk menapak, sepertinya keseleo. Dan di betisnya pun ada beberapa luka goresan yang mengeluarkan darah segar.


"Kamu tidak papa?"


Usahanya untuk berlari dari kejaran lelaki itu sempurna gagal. Belum sempat dia berdiri dan melanjutkan pelariannya, lelaki itu sudah lebih dulu sampai padanya dan kini berlagak ingin menolongnya.


"Kakimu terluka, harusnya tadi Nona cantik nggak perlu berlari sampai akhirnya jatuh seperti ini."


Siapa lelaki itu? Dengan berkata seperti itu, seolah-olah dia punya hak untuk melarang gadis yang jelas-jelas tidak dikenalnya. Lagi pula, gadis itu berlari tunggang langgang sebab dirinya yang mencurigakan.


"Jangan sentuh saya! Anda ini siapa? Kenapa anda mengejar saya? Kalau Anda tadi tidak mengejar saya, saya tidak akan lari dan terluka seperti ini."


Untuk menutupi ketakutan hatinya, dia berbicara dengan keras. Meskipun dia masih belum berani menatap wajah lelaki yang kini jongkok menghadapnya.


"Maaf jika perbuatanku tadi membuatmu takut. Sekarang biarkan aku bertanggung jawab. Mari aku antarkan pulang, Nona."


"Eh, mau apa? Saya bilang jangan sentuh saya! Anda jangan macam-macam,ya!"


Gemetar tubuh gadis itu saat dia sadar bahwa dirinya telah sempurna berada di gendongan lelaki tak dikenalnya. Dia mencoba berontak, tetapi tangan lelaki itu semakin kuat memeluknya. Membuat hati gadis itu semakin ciut tak bernyali.


***


Aurum terengah-engah bagaikan habis lari  ribuan meter tanpa jeda. Keringatnya pun bercucuran membuat basah piyamanya. Matanya sendu, hatinya pilu. Mimpi itu, kenapa harus kembali? Apa takdir akan kembali memporak-porandakan hatinya? Kenapa seakan-akan semesta tidak pernah mengizinkannya merasa tentram? Tak cukupkah deritanya selama ini sebagai penebusan dosa?


"Aurum, kamu tidak papa, Nak? Kenapa ngos-ngosan gitu?" Ibunya berniat membangunkan Aurum sebab telah ditunggu Aska, namun malah menemukan anaknya dengan keadaan kuyup oleh keringat dan napas yang tersenggal-senggal.

bersambung ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun