Dengan penuh kehati-hatian, Aska mulai menempelkan es batu yang telah dibungkus dengan kain ke kaki Aurum yang mulai terlihat memar. Membuat gadis itu sedikit berjingkat.
"Sakit, ya?"
"Iya lah, pakai nanya."
"Tahan, ya. Kalau nggak dikompres malah bengkak nanti."
Dia melanjutkan mengompres kaki Aurum, sampai butir-butir es batu itu meleleh dengan sempurna. Lelaki itu segera mengembalikan kain yang dipinjamnya dan tidak lupa pula membayar minuman yang telah dipesannya tadi. Hari sudah petang, dia harus mengantar gadis itu pulang. Gadis itu kelihatannya juga sudah lelah, kasihan jika mereka terus berada di sana. Dia harus mencari taksi atau kendaraan umum lain, tapi dia tidak mungkin juga meninggalkan gadis itu sendiri di warung ini---di tengah-tengah banyak orang yang tidak dikenal oleh gadis itu.
"Ngapain jongkok?"
"Ayo cepetan naik! Mau pulang nggak?"
"Aku bisa jalan sendiri nggak perlu digendong."
"Nggak usah banyak omong, ini udah hampir malam, mau pulang nggak?"
Terlihat dengan sangat terpaksa gadis itu menurut. Merelakan dirinya menjadi pusat perhatian seluruh pasang mata di sekitarnya. Laki-laki itu benar, kakinya masih sangat sakit untuk dipaksa berjalan.
Sepanjang jalan yang telah disusuri, mereka tidak kunjung menemukan kendaraan yang bisa membawa mereka pulang. Sampai ada sebuah mobil hitam mengkilat yang berhenti tepat di samping mereka.