“Khazanah yang tersembunyi, sudah berani diartikan lain. Di sesuaikan dengan pola pemikiran manusia yang serba terbatas dan lemah. Tahukah dia, khazanah yang tersembunyi itu apa?” Tanya saya sinis.
Mereka sama terdiam. Tak menjawab perkataan saya. Tapi menunggu. Apa lagi kiranya yang akan saya katakan.
“Bagaimanapun kita hendak memeras otak dan akal kita, kita tidak akan mengetahuinya, Dik. Untuk mengetahui khazanah yang tersembunyi itu, kita tak akan mungkin bisa. Tak akan dapat.”
“Bukankah Allah Dzat non materi, tak dapat diserap dengan penglihatan? Tak dapat dicerap dan dilihat dengan indera? Begitu pula khazanah yang tersembunyi itu, Dik. Ghaib!”
Lalu saya bawakan satu ayat untuk menguatkan argumentasi:
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS 6:103)
“Hanya Dialah yang Mengetahui yang ghaib. Manusia seperti kita, tidak bisa Dik.”
Dan kemudian saya membacakan satu ayat lagi:
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis di dalam kitab yang nyata. (Lauh Mahfuzh).” ”(QS 6:59)
“Kita di sini, terutama para pemuda yang baik-baik, sudah tidak bisa mentolerir lagi, Bu. Ini kan penghinaan. Kita sudah mengadukannya pada Pak RT, Bu. Agar segera diambil tindakan. Sebab, jika dibiarkan, bisa lebih membahayakan warga. Ketimbang dari bahaya nyamuk demam berdarah!”
“Pemuda-pemuda di sini kan, Ibu tau sendiri. Banyak yang belum mantap iman dan Islamnya. Nah kalau terus menerus didiamkan, ia akan semakin menyebarkan virus. Apa tidak membahayakan?”