Mohon tunggu...
Fatimatul Hasanah
Fatimatul Hasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Merupakan mahasiswa UIN Khas Jember, Prodi manajemen pendidikan Islam

I like watching culinary food content

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Konsep, Model, dan Metode Evaluasi Pembelajaran

18 Juni 2024   16:31 Diperbarui: 19 Juni 2024   10:50 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Konsep Evaluasi Pembelajaran

Pertama, kita harus tahu apa itu konsep?. Kata Latin "conceptum", yang berarti "sesuatu yang dipahami" adalah sumber istilah " konsep". Aristoteles menyatakan dalam " Teori Klasik Konsep" bahwa konsep adalah bagian penting dari pembentukan bidang pengetahuan ilmiah dan filsafat yang berkaitan dengan pemikiran manusia. Menurut Singarimbun dan Efendi (2008), "konsep" adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak peristiwa, kondisi, kelompok, atau individu yang menjadi perhatian ilmu sosial. Seseoarang dapat mengatakan dan menjelaskan suatu kejadian, kondisi, kelompok, atau indvidu kepada orang lain. Konsep ini memungkinkan seseorang untuk memahami apa yang sebenarnya disampaikan oleh penyampai pesan untuk memahami kontennya. Konsep berasal dari konten pesan ini.

Dari berapa definisi diatas, Maka Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan dalam ilmu sosial untuk menggambarkan secara abstrak, peristiwa, keadaan, kelompok, atau individu yang memungkinkan komunikasi dan pemahaman antara pengirim dan oenerima pesan. Secara umum, konsep adalah gagasan atau pengertian dalam peikiran yang penting untuk pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat. 

1. Definisi Evaluasi Pembelajaran

Wang dan Brown menyatakan dalam buku Essentials of Educational Evaluation bahwa evaluasi adalah "suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai daripada sesuatu", dan bahwa kata "evaluasi" berasal dari kata" penilaian". 

Suatu proses rutin untuk mengukur efetivitas dan keberhasilan suatu program disebut evaluasi. Pengukuran adalah komponen utama penilaian pembelajaran, metrik pembelajaran merupakan dasar yang paling penting untuk penilaian pembelajaran. Penilaian yang dapat diandalkan adalah satu-satunya sumber pengambilan keputusan tentang pembelajaran dan kebijakan. 

Selanjutnya, berikut adalah definisi evaluasi pendidikan oleh para ahli:

1) Menurut Anas Sujono (2003), evaluasi pembelajaran adalah upaya untuk mengumpulkan data dan menggunakan umpan balik untuk meningkatkan pendidikan, serta untuk menilai kemajuan pemebelajaran dibandingkan dengan tujuan yang telah ditentukan.

2) Menurut Oemar Hamalik (2002), evaluasi pembelajaran adalah bagian dari sistem pendidikan dan merupakan bagian dari pelaksanaan kurikulum. Tujuan evaluasi adalah untuk mengevaluasi elemen relevan dalam urutan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan. 

3) Evaluasi pembelajaran, menurut Ngalim Purwanto (1994), adalah analisis atau penilaian kemajuan dan perkembangan siswa dalam mencapai tujuan dan nilai-nilai kurikulum. 

4) Slameto (2001) menggambarkan evaluasi pembelajaran sebagai proses pengumpulan data menyeluruh tentang kemampuan siswa untuk mengetahui sebab akibat dan hasil proses ini memberikan panduan kepada siswa untuk meningkatkan dan mendorong kemampuan mereka sendiri.

Hasil evaluasi biasanya membantu proses pengambilan keputusan membuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan, diperbaiki, atau dihentikan. Dalam bidang manajemen sekolah, evaluasi pembelajaran merupakan tugas utama seorang evaluator. Namun, ini tidak berarti bahwa evaluator tersebut adalah calon guru, pembingbing, atau praktisi tanpa melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dalam manajemen sekolah dalam evaluasi pembelajaran di sekolah.

Evaluasi pembelajaran dapat mendorong guru untuk lebih fokus pada meningkatka pembelajaran dan meningkatkan fasilitas sekolah.

Mereka juga dapat mendorong siswa untuk menjadi lebih aktif dan efektif dalam pembelajaran mereka. Menurut L1 (2019), evaluasi pembelajaran memiliki dua makna. Pertama dan yang paling penting, evaluasi adalah sistem evaluasi terbaik karena memberikan informasi terbaik. Kedua, evaluasi memiliki banyak manfaat yang dapat dicapai, salah satunya adalah kemampuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah. Program memerlukan evaluasi untuk mengetahui persyaratan program. Kondisi ini juga terjadi di kelas. Selain perenacanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi adalah bagian dari proses pembelajaran. Penilaian seberapa baik siswa mencapai kompetensi, yang terdiri dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

Menurut Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pendidik adalah tenaga profesional yang bertnggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan proses pendidikan, melakukan instruksi dan pelatihan, melakukan penelitian, dan berkontribusi kepada masyarakat, khususnya kepada pendidik perguruan tinggi. Oleh karena itu, melakukan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh seorang pendidik maupun calon pendidik adalah evaluasi, baik selama proses pembelajran maupun untuk menilai hasil belajar.

2. Tujuan Dan Fungsi Evaluasi Pembelajaran

Salah satu tujuan dari evaluasi adalah untuk mendapatkan informasi yang akurat dan objektif tentang suatu program untuk digunakan sebagai acuan untuk mengetahui seberapa efektif dan efisisen kegiatan evaluasi program tersebut. Informasi ini dapat mencakup informasi tentang proses pelaksanaan program, hasil atau efek yang dicapai, efisiensi, dan pemanfaatan hasil evaluasi. Informasi ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, dan pelaksanaan program.

Kegiatan yang disengaja dan direncanakan yang disebut evaluasi. Guru melakukan evaluasi secara sadar untuk mengetahui apakah siswa belajar dengan sukses dan untuk memberi tahu siswa tentang apa yang dia lakukan saat mengajar. Dengan kata lain, guru melakukan evaluasi untuk mengetahui apakah siswa telah memahami materi pelajaran atau tidak. Selain itu, kegiatan pembelajaran yang digunakan memnuhi ekspektasi. Tujuan evaluasi selama proses pembelajaran, menurut Sudirman, dkk., adalah sebagai berikut:

a) Menentukan hasil belajar

b) Memahami siswa

c) Membangun atau meningkatkan program pembelajaran.

Fungsi evaluasi, menurut Nana Sudjana, adalah sebagai berikut:

1) Menentukan apakah tujuan instruksional tertentu tercapai. Fungsi ini memungkinkan untuk mengevaluasi tingkat penguasaaan siswa terhadap bahan pelajaran. Dengan kata lain, dapat dipastikan apakah siswa menunjukkan hasil belajar yang buruk atau baik.

2) Untuk memahami seberapa efektif guru menjalankan proses pembelajaran. Selain ketidakmampuan, siswa gagal belajar karena berbagai alasan. Tetapi ini mungkin karena guru yang tidak baik . Penilaian dapat membantu menentukan apakah hasil belajar siswa disebabkan oleh guru atau kemampuan siswa sendiri. Penilaian juga dapat menilai guru itu sendiri dan menggunakan hasilnya untuk membantu memperbaiki instruksi berikutnya. 

B. Model Evaluasi Pembelajaran

Kamus Bahasa Indonesia mendefinisikan "model" dengan kata-kata seperti contoh, pola acuan, ragam, macam, dan sebagainya. Para ahli evaluasi membuat model evaluasi untuk membuat evaluasi lebih mudah dipahami. Nama model biasanya diberikan berdasarkan pembuat, tahap, atau jenis evaluasi yang dilakukan. Menurut buku yang sangat baik yang dimuat dalam Sukardi (2012: 55), menyatakan model evaluasi adalah persamaan yang membantu ilmuwan memahami proses struktur ketika fenomena yang dipeljarai diungkapkan dengan cara yang berbeda. Dengan kata lain, Ketika fenomena yang dipelajari dinyatakan sebaliknya, model evaluasi membantu ilmuwan memahami proses struktur. Oleh karena itu, Pengukuran manusia dan keinginan untuk menerapkan prinsip evaluasi ke bidang yang lebih abstrak seperti seni, ilmu pendidikan, dan perilaku adalah sumber model evaluasi. Oleh karena itu, model evaluasi pembelajaran telah dapat dibuat untuk mempermudah evaluasi pembelajaran.

Menurut Said Hamid Hasan, Model studi kasus, model iluminatif, dan model responsif adalah komponen dari model evaluasi kualitatif. Di sisi lain, Banayak model yang termasuk dalam model evaluasi kuantitatif. Ini termasuk model teori Taylor dan Maquire, model countenance stake, model Tyler, model ekonomi mikro, dan model CIPP.

Beberapa jenis-jenis model evaluasi pembelajaran dikategorikan sebagai berikut:

1. Model Tyler

Menurut model evaluasi ini, tingkah laku siswa dievaluasi baik sebelum maupun sesudah belajar. Model ini disebut "model Tyler" karena subjeknya adalah Tyler. Pertama, penilaian menunjukkan seberapa paham peserta didik dengan materi yang akan diberikan. Selanjutnya, penilaian menunjukkan seberapa perhatian dan pemahaman guru tentang materi yang disampaikan.

Menurut model Tyler, atau "kotak hitam", ada dua ujian: tes awal (pre-test) dan tes akhir. Akibatnya, proses ini diabaikan, dan inilah tujua dari "kotak hitam", yang memiliki banyak teka teki belum diselesaikan. Tyler menyatakan bahwa tiga tahap penting harus diselesaika: menentukan tujuan pembelajaran yang akan dievaluasi, menentukan situasi di mana siswa dapat menunjukkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan, dan menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengevaluasi tingkah laku siswa.

Metode evaluasi model Tyler terutama terdiri dari menetapkan tujuan pendidikan dan kemudian mengevaluasi apakah tujuan tersebut telah dicapai atau tidak. Seorang evaluator bertemu dengan guru untuk menentukan tujuan umum dan perilaku yang diharapkan dari siswa. Guru berharap melihat perilaku ini dalam pembelajaran berikutnya, yang disebut "hasil siswa". Setelah itu, guru harus membuat kurikulum untuk mencapai tujuan tersebut. Hasil penilaian dibandingkan dengan hasil yang diharapkan, dan penilai membuat rekomendasi tentang cara mencapai tujuan efektivitas pembelajaran. Tyler mungkin paling terkenal karena studi evaluasinya yang disebut "Studi 8 tahun", yang menilai seberapa efektif program pendidikan nasional. Meskipun ia tidak menggunakan kelompok eksperimental dan kontrol, ia mengatakan bahwa pembentukan tujuan yang jelas dan pengukuran hasil yang ketat adalah bagian dari proses.

Oleh karena itu, Saat seorang guru berbicara dengan siswanya, model ini menunjukkan betapa pentingnya proses evaluasi yang seacra langsung didasarkan pada tujuan instruksional dan persiapan mengajar. Menurut model Tyler, program pembelajaran dianggap berhasil jika selama pembelajaran berlangsung, siswa dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Model Berorientasikan Tujuan (Goal Oriented Evaluation)

Ralph W. Tyler menciptakan model evaluasi berpusat pada tujuan pada tahun 1951. Model evaluasi ini menggunakan tujuan pembelajaran umum dan khusus sebagai ukuran keberhasilan. Proses menilai seberapa jauh tujuan pembelajaran telah dicapai dikenal sebagai evaluasi. Karena menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan yang dapat diukur, model ini dianggap lebih praktis. Tujuannya adalah untuk membantu pendidik membuat tujuan dan menjelaskan bagaimana tujuan berhubungan dengan kegiatan. Jika rumusan tujuan pembelajaran dapat diamati dan diukur, kegiatan evaluasi pembelajaran akan lebih efisien dan mudah. Pendidik dapat menggunakan model ini untuk membuat rencana kegiatan pembelajaran yang menggabungkan pencapaian tujuan. Hal ini menguntungkan karena menekankan bahwa siswa adalah bagian penting dari program pembelajaran dan bagaimana kegiatan berhubungan dengan tujuan. Kekurangannya adalah evaluasi dapat menghasilkan hasil yang tidak diantisipasi.

Negara ini sering menggunakan model ini untuk kurikulumnya, yang mencakup tujuan pembelajaran umum dan khusus. Kedua tujuan tersebut berfungsi sebagai patokan tingkat keberhasilan pembelajaran dan alat evaluasi untuk mengevaluasi kualitas instruksi dan pembelajaran di kelas. Oleh karena itu, evaluasi adalah proses mengukur pencapaian tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, Model berorientasi tujuan ini menghubungkan tiga kelompok secara logis: kegiatan, hasil, dan prosedur untuk mengukur hasil. Ini karena model ini sangat praktek karena dapat menghasilkan hasil yang diinginkan dengan menggunakan pengukuran yang telah dibuat sebelumnya. Tujuannya adalah untuk membantu guru dalam menetapkan tujuan dan menunjukkan hubungannya dengan kegiatan. Jika rumusan tujuan pembelajaran dapat diamati dan diukur, kegiatan evaluasi pembelajaran akan lebih mudah dan efektif. Guru juga dapat menggunakan model ini untuk membuat rencana pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang melibatkan pencapaian tujuan. Determinasi instrumen yang digunakan menentukan tujuan pengukuran. Hasil evaluasi akan menunjukkan tingkat keberhasilan tujuan program sesuai dengan standar program khusus.

3. Model Pengukuran (Measurement) 

Seperti namanya, model pengukuran diciptakan oleh Richard Thorndike dan Richard L. Ebel. Istilah "pengukuran" digunakan untuk menggambarkan jumlah sifat (atribut) tertentu yang dimiliki oleh sesuatu, orang, atau peristiwa dalam bentuk unit ukuran tertentu. Kemampuan, minat, dan sikap individu dan kelompok dapat diungkap dengan menggunakan model ini. Untuk keperluan bimbingan, perencanaan pendidikan, dan seleksi siwa, hasil evaluasi digunakan . Dalam model ini, tingkah laku siswa adalah objek untuk evaluasi. Ini termasuk hasil belajar (kognitif), pembawaan, sikap, minat, bakat, dan aspek kepribadian. Akibatnya, ujian tertulis adalah alat yang paling sering digunakan, yang biasanya dilakukan dengan kertas dan pensil, dalam bentuk ujian objektif yang umumnya dibakukan. Akibatnya, indeks kesulitan dan diskriminasi sangat diperhatikan saat melakukan analisis soal. Model ini menggunakan metode penilaian berdasarkan norma.

4. Model Evaluasi Sistem

Menurut model ini, ada banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan sistem pendidikan. Ini termasuk sifat siswa dan tempat mereka, tujuan sistem dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaannya dan faktor lainnya.

Berikut adalah komponen penting dari model evaluasi sistem ini:

1. Model ini mengevaluasi sistem secara keseluruhan tanpa membatasi hal yang dicapai.

2. Konsep evaluasi sistem ini mengutamakan perbandingan antara kinerja dengan kriteria, sehingga setiap dimensi sistem pendidikan harus memiliki standar yang jelas yang ditetapkan untuk setiap dimensinya.

3. Evaluasi tidak hanya memberikan gambaran tentang sistem tetapi juga memberikan gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Menurut bagian dari evaluasi sistem ini adalah membandingkan kinerja (performansi) dari berbagai dimensi bukan hanya dimensi hasil dengan berbagai kriteria, baik mutlak, internal, atau eksternal. Dengan menggabungkan berbagai model, model ini menekankan sistem secara keseluruhan. Objek evaluasi dapat diambil dari sejumlah model evaluasi, beberapa diantaranya akan dijelaskan di bawah ini:

a. Model Kesenjangan Malcolm Provus (Disrepancy) 

Model ini berpusat pada gagasan bahwa untuk mengevaluasi kelayakan program, penilai dapat membandingkan standar , atau apa yang seharusnya dan diharapkan, dengan kinerja yang sebenarnya untuk menentukan apakah ada perbedaan atau ketidaksesuaian di antara keduanya, standar yang ditetapkan dan kinerja yang sebenarnya.

Suharsimi Arikunto, dalam hal filosofi, Model kesenjangan ini terdiri dari berbagai langkah, yang berikut diuraikan:

Pertama, dalam proses penyusunan desain, hal-hal berikut dilakukan:

1. Menentukan tujuan program.

2. Menyediakan siswa, staf, dan perlengkapan lainnya.

3. Menentukan standar yang dapat diukur. Evaluator biasanya berkonsultasi dengan pengembangan program di langkah ini. 

Mencari tahu apakah suber daya yang tersedia memenuhi kebutuhan adalah tahap kedua dari proses instalasi. Beberapa tindakan saat ini termasuk meninjau kembali penetapan standar, meninjau program yang sedang berjalan, dan memeriksa perbedaan antara yang direncanakan dan yang sudah tercapai.

Ketiga, fase proses: model kesenjangan ini memungkinkan penilaian hasil tujuan. Tahap ini disebut oleh Bog dan Gall sebagai mengumpulkan informasi tentang pelaksanaan program. Tahap keempat mencakup pengukuran produk yang dituju. Saat ini, data dievaluasi dan tingkat output ditetapkan.

Pada langkah kelima, tujuan dan hasil dibandingkan. Oleh karena itu, hasil evaluasi yang dihasilkan pada tahap ini ditulis untuk dibaca oleh pengambil keputusan sebelum mereka memutuskan untuk melanjutkan program atau tidak. Program dapat dihentikan, diganti, direvisi, dilanjutkan, atau tujuan mereka dapat diubah.

Evaluator dapat mengevaluasi program pembelajaran berdasarkan kelima tahapan tersebut dengan mempertimbangkan tingkat kesenjangan kinerja siswa.

b. Model Context Input Process Product (CIPP) 

Model CIPP, yang juga dikenal sebagai evaluasi manajemen program, adalah model evaluasi berorientasi pada manajemen. Evaluasi model CIPP dapat diterapkan di banyak bidang, seperti manajemen, pendidikan, dan perusahaan, serta di berbagai tingkatan proyek, program, dan institusi.

Komite penasehat Riset Phi Delta Kappa membentuk Komite Studi Evaluasi, yang diketuai oleh Stufflebeam. Saat ia bekerja di Ohio State University dan bertanggung jawab atas tim ini. Stufflebeam dan rekannya ditugaskan untuk mengembangkan evaluasi pendidikan oleh organisasi ini.

Model Evaluasi CIPP adalah sistem yang lengkap yang membantu mengarahkan evaluasi personel, produk, program, proyek, institusi, dan sistem. Daniel Stufflebeam membuat model ini pada tahun 1966 untuk membantu memandu evaluasi yang diamanatkan proyek yang didanai pemerintah federal AS; proyek awal tidak dapat memenuhi persyaratan untuk dikendalikan, sehingga variabel-percobaan dimanipulasi. Ini digunakan sebagai standar emas untuk penialain program yang akan datang. Sejak itu, model ini telah banyak digunakan dan dierbarui. Pemerintah, pejabat yayasan, administrator sekolah, dokter, dan pemimpin.

Stufflebeam membagi sistem pendidikan menjadi empat ruang lingkup dalam bukunya Education Evaluation and Decision Making: model CIPP, atau konteks, input, proses, dan produk, seperti yang dikutip Daryanto.

a) Evaluasi konteks: evaluasi ini menemukan dan menilai kebutuhan dasar program. Tujuan utama evaluasi konteks memberikan umpan balik tentang cara memperbaiki organisasi dan menentukan apakah tujuan dan prioritas yang telah ditetapkan memenuhi kebutuhan pihak yang menjadi dasar. Tujuan utama dari penilaian konteks adalah untuk mengidentifikasi kelemahan organisasi secara keseluruhan dan untuk memberikan rekomendasi tentang cara memperbaiki organsisi.

b) Evaluasi Input: Masalah, aset, dan peluang diidentifikasi dalam evaluasi ini untuk membantu para pengambil keputusan menentukan prioritas, tujuan, dan prioritas program. Ini juga membantu kelompok pemakai dalam menilai tujuan, prioritas, dan keuntungan program. Evaluasi ini juga melihat kemungkinan konsistensi dan kemampuan untuk memenuhi persyaratan dan keinginan. Evaluasi input membantu klien memahami opsi yang sesuai dengan persyaratan dan tujuan bisnis. Dengan kata lain, mereka dapat menghindari inovasi yang tidak berguna dan tidak produktif yang membuang sumber daya.

c) Evaluasi Proses: Evaluasi proses memungkinkan evaluasi-evaluasi dan rencana organisasi untuk dievaluasi kembali, membantu karyawan program, dan menjelaskan manfaat pelaksanaan rencana. pertama-tama untuk menentukan bagian organisasi yang diperlukan untuk dipantau. Di sini, perlu diingat bahwa tujuan utama evaluasi mekanisme adalah untuk menjamin bahwa proses berfungsi dengan baik. Perbedaan dari rencana awal dibicarakan. Evaluasi proses biasanya digunakan untuk membantu karyawan perusahaan melaksanakan program memenuhi rencana atau mengubah yang tidak berhasil. Pada gilirannya, penilaian tindakan membantu memahami hasil evaluasi produk.

d) Evaluasi Produk: Tujuan evaluasi ini adalah untuk menemukan hasil jangka pendek dan jangka panjang yang direncakan dan tidak direncanakan. Lebih khusus lagi,  Evaluasi produk dilakukan untuk mengevaluasi seberapa baik program berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan. Rekomendasi informasi tentang bagaimana program atau organisasi ini berhasil dikumpulkan dari orang-orang yang terlibat secara individu atau kolektif, dinilai dari berbagai sudut pandang. Ini menunjukkan bahwa berbagai perspektif digunakan untuk menentukan keberhasilan program.

c. Model Countenance Stake

Robert E. Stake dari UI membuat model ini, yang menurut Worthen & Sanders Stake terdiri dari dua dasar kegiatan evaluasi: deskripsi dan keputusan. Mereka juga merinci adanya tiga tahap: antecedent (context), transaction/process, dan outcomes. Dua elemen menunjukkan posisi dalam deskripsi objek evaluasi, yang mencakup hasil dan tujuan program yang diharapkan. Evaluator menunjukkan bagaimana memikirkan standar.

Dalam model ini, orang yang melakukan penilaian program adalah penekanan yang umum atau penting. Menurut stake, keputusan atau evaluasi berbeda dengan deskripsi satu pihak. Dalam model ini, antecedents (masukan), transaction (proses), dan outcomes (hasil) data dibandingkan untuk memastikan apakah ada perbedaan antara tujuan dan keadaan sebenarnya dan untuk mengevaluasi manfaat program dengan standar absolut. Stake berpendapat bahwa penelitian tidak dapat diandalkan tanpa penilaian.

Anteseden, transaksi, dan hasil data yang dihasilkan oleh model ini dievaluasi dengan standar yang absolut untuk mengetahui Apakah ada perbedaan antara keadaan aktual dan tujuan. Stake berpendapat bahwa tanpa evaluasi, hasil penelitian tidak dapat diandalkan.

5. Model Alkin

Menurut Marvin Alkin, model Alkin terdiri dari beberapa jenis evaluasi, yang menurutnya terdiri dari perencanaan program dan analisis informasi. Yang pertama adalah penilaian sistem, yang menginformasikan kondisi sitem; yang kedua, perencanaan program, membantu pembuat keputusan dalam memilih program; dan yang ketiga adalah analisis informasi, yang mengumpulkan dan menganalisis informasi yang tepat untuk membuat laporan tentang pilihan alternatif.

6. Model Evaluasi Formatif dan Sumatif

Michael Scriven adalah pencipta model ini. Jumlah waktu adalah perbedaan antara ujian formatif dan sumatif yang dihabiskan untuk menyelesaikannya. Tes sumatif dilakukan setelah program selesai, sedangkan tes formatif dilakukan selama program masih berjalan. Ini karena evaluasi dapat dilakukan di tengah atau selama proses belajar-mengajar, bukan hanya di akhir program. Anda tidak perlu menunggu hingga akhir semester atau akhir tahun pelajaran untuk mendapatkan nilai Anda. Evaluasi formatif biasanya dilakukan di tengah atau selama proses pendidikan, yang terjadi setiap kali satua pelajaran atau sub pokok bahasan telah diselesaikan. Tujuan evaluasi formatif adalah untuk mengukur seberapa baik siswa "membentuk" tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Setelah kelompok kursus selesai, dilakukan evaluasi sumatif. "Sum" adalah etimologi dari kata "sumatif", yang berarti "total yang diperoleh dengan menggabungkan item, angka, atau jumlah." Dengan kata lain, evaluasi dilakukan setelah seluruh kursus selesai. Kelemahan model evaluasi formatif dan sumatif adalah bahwa mereka hanya berfokus pada objek sasaran evaluasi dan tidak melakukan langkah-langkah sistematis dalam pelaksanaan evaluasi. Kelebihan model formatif dan sumatif adalah bahwa mereka menemukan ketidakefesienan secara langsung, yang memungkinkan untuk melakukan revisi dan membuat keputusan tentang kelanjutan program.

Menurut Ramayulis, evaluasi formatif adalah penilaian yang dilakukan untuk menentukan seberapa baik siswa belajar setelah program dalam satuan bahan selesai. Setelah caturwulan, satu semester, atau akhir tahun, evaluasi sumatif dilakukan untuk menentukan jenjang pendidikan berikutnya.

Oleh karena itu, evaluasi formatif termasuk dalam proses pengajaran. Jika digunakan dalam praktik kelas, ia menginformasikan cara menyesuaikan pembelajaran dan pengajaran saat terjadi. Dengan cara ini, evaluasi formatif memungkinkan guru dan siswa untuk mengetahui seberapa memahami anak-anak tentang materi. Oleh karena itu, perubahan dapat dilakukan segera. Berbagai penyesuaian ini memastikan bahwa siswa mencapai tujuan pembelajaran berbasis standar dengan menargetkan berbagai tujuan dalam waktu yang berbeda.

7. Model Evaluasi Lepas Dari Tujuan (Goal Free Evaluation Model) 

Model evaluasi Michael Scriven tidak sama dengan model Tyler sebelumnya karena evaluator melacak tujuan sejak awal proses. Model evaluasi tanpa tujuan, atau evaluasi bebas tujuan, justru menjauh dari tujuan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan telah dicapai. Michael Scriven menyatakan bahwa orang yang melakukan evaluasi program tidak perlu memperhatikan tujuan program. Program harus melihat cara kerjanya dengan mengidentifikasi penampilan positif (yang diharapkan) dan negatif. Tujuan program tidak perlu diperhatikan karena penilai dapat melihat setiap tujuan secara rinci. Jika masing-masing tujuan khusus tercapai, itu menunjukkan bahwa semuanya tujuan telah dicapai. Penampilan ini mendukung jumlah penampilan unik yang diharapkan untuk tujuan umum.

8. Model Robert Glaser

Glaser membuat model ini untuk memberikan rincian yang lebih baik tentang penilaian yang dilakukan selama pendidikan. Menurut Glaser, evaluasi pengajaran dan pembeljaran dapat dilakukan dalam enam tahap, yaitu:

a. Menentukan hasil belajar: Glaser mengusulkan bahwa tujuan kegiatan harus dikomunikasikan dengan cara yang menunjukkan kemampuan yang harus dimiliki siswa dalam konteks ini. Sesuai dengan persyaratan kurikulum, keterampilan tersebut serta ukuran keberhasilan harus disebutkan dengan jelas.

b. Mengidentifikasi kemampuan awal: Glaser berpendapat bahwa Guru harus mengetahui kemampuan awal siswa. Keterampilan awal adalah kemampuan prasyarat yang diperlukan untuk mendapatkan keterampilan atau pengetahuan yang akan dipelajari, sedangkan itu jelas berbeda dengan kemampuan dasar atau bakat. Meskipun kemampuan dasar lebih umum, mereka lebih khusus.

c. Mengembangkan berbagai pendekatan pendidikan. Ini harus dilakukan melalui evaluasi kemampuan siswa, khususnya kecepatan belajar.

d. Memerhatikan bagaimana siswa terlihat setelah metode pengajaran diterapkan, pengawasan harus dilakukan.

e. Pikirkan tentang instruksi lain. Dalam situasi seperti ini, model pembelajaran dann pengajaran harus dievaluasi untuk mengetahui seberapa efektif mereka membantu pertumbuhan siswa. Penilaian ini menekankan dua aspek penting: penciptaan dan pelaksanaan standar.

f. Evaluasi dan pengembangan instruksi: Glaser berharap Evaluasi yang mengumpulkan informasi, juga dikenal sebagai evaluasi formatif, dapat dilakukan untuk memastikan bahwa program pembelajaran dijalankan dengan baik. Ini berdasarkan data yang dikumpulkan dari tindakan pengamat Glaser.

9. Model Iluminatif

Malcolm Palmer adalah salah satu tokoh paling signifikan dalam pengembangan model ini. Tidak seperti model pengukuran dan kesesuaian, model ini lebih menekankan evaluasi kualitatif-terbuka (terbuka) yang berfokus pada evaluasi kuantitatif terstruktur. Kegiatan evaluasi terkait dengan lingkungan belajar karena sekolah adalah tempat interaksi material dan psikososial antara guru dan murid. Tujuan evaluasi adalah untuk menentukan teknik pelaksanaan pembelajaran, elemen yang memengaruhinya, kelebihan dan kekurangan sistem, dan dampaknya terhadap pembelajaran siswa. Hasil pengukuran dan prediksi lebih mirip dengan hasil evaluasi daripada deskripsi dan interpretasi. Dalam model ini, penilaian fungsi evaluasi lebih banyak digunakan sebagai penjelasan tentang betapa pentingnya membuat keputusan mengenai perunahan dan peningkatan sistem pembelajaran yang sedang dibuat.

10. Model Responsif

Selain itu, model ilmunatif menekankan pendekatan kualitatif-naturalistik. Tujuan penilaian adalah untuk melihat setiap aspek program pembelajaran dari berbagai sudut pandang, memberikan makna atau gambaran  tentang keadaan dari sudut pandang individu yang terlibat dalam program pembelajaran, menunjukkan ketertarikan, dan berpartisipasi dalamnya. Tujuan penilaian bukanlah untuk mengukur sesuatu. Model ini kurang bergantung pada data kuantitatif, sesuai dengan pendekatan yang digunakan. Instrument yang digunakan sebagian besar bergantung pada interpretasi impresionistik data dan observasi langsung dan tak langsung.

Mengevaluasi pengetahuan awal peserta didik (pengertian awal), mengumpulkan data, melakukan observasi, dan membuat desain atau model adalah semua bagian dari kegiatan evaluasi. Dengan mempertimbangkan langkah-langkah ini, evaluator berusaha menanggapi individu yang berpastisipasi dalam hasil evaluasi secara responsif. Pengumpulan dan sintesis data sangat penting untuk model responsif. Kemampuan untuk menerima pendapat yang ambisius dan tidak terfokus serta kepekaan terhadap berbagai perspektif adalah keuntungan dari model ini. Ini memiliki beberapa kekurangan: (1) sulit bagi pembuat keputusan untuk menyederhanakan informasi atau menentukan prioritas, (2) Menampung semua perspektif dari berbagai kelompok tidak mungkin, dan (3) membutuhkan banyak waktu dan sumber daya. Seorang evaluator harus memilki kemampuan untuk mengubah lingkungannya.

C. Metode Evaluasi Pembelajaran

"Thariqah", dalam bahasa Arab berarti tindakan strategis yang direncanakan untuk menyelesaikan tugas. Tetapi Hasan Langgulung mengatakan bahwa "metode" adalah jalan atau metode yang harus diikuti untuk mencapai tujuan pendidikan, dan Abd. Al-Rahman Ghunaima menggunakan istilah "metode" untuk menggambarkan metode yang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Metode penilaian atau evaluasi pembelajaran digunakan untuk menilai dan mengukur kinerja siswa di lingkungan belajar. Oleh karena itu, proses pengumpulan data yang disebut evaluasi, juga disebut evaluasi, dilakukan dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kekuatan dan kelemahan belajar siswa.

Seringkali, skala penilaian digunakan untuk menilai guru dan murid. Meskipun demikian, pendekatan konvensional masih digunakan dalam penilaian pendidikan, tetapi juga digunakan bersama dengan pendekatan lain. Akibatnya, hasil ujian dapat digabungkan dengan hasil dari berbagai teknik untuk mencapai hasil terbaik. Seain itu, evaluasi supervisi pendidikan dapat dilakukan dengan menggunakan catatan anekdot, catatan pertumbuhan, inventaris, daftar cek, dan wawancara. Sebagian besar dari mereka dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan mental, sosial, emosional, dan fisik.

Berikut ini adalah beberapa macam-macam metode untuk menilai atau mengevaluasi pembelajaran:

1) Penilaian Formatif:

a) Metode evaluasi digunakan untuk mengevaluasi pemahaman siswa, kebutuhan pembelajaran, dan kemajuan akademik mereka selama proses belajar.

b) Penilaian Formatif dilakukan secara berkala dan berkelanjutan untuk melacak pembelajaran siswa dan memberikan umpan balik.

c) Penilaian formatif membantu guru dan sekolah memahami apa yang siswa harus pelajari.

d) Penilaian formatif juga membantu guru memahami apa yang harus dipelajari siswa.

2) Penilaian Sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir setiap kelas. Ini memungkinkan guru untuk menilai seberapa baik peserta didik memahami standar. Selain itu, mereka dapat menggunakan hasil ini untuk mengevaluasi seberapa skses strategi pengajaran mereka dan menentukan apakah perlu dilakukan perubahan saat mengajar unit berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun