Mohon tunggu...
Fatimah Azzahra
Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hallo saya seorang mahasiswa Jurusan Hukum Pidana Islam di UIN SGD Bandung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Analisis Sosiologi Hukum Islam terhadap Pernikahan di Bawah Umur

16 Desember 2024   23:58 Diperbarui: 17 Desember 2024   09:35 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Abstrak

Pernikahan di bawah umur merupakan isu yang kompleks dan sering kali menimbulkan kontroversi, terutama dalam konteks hukum Islam dan sosiologi. Artikel ini menganalisis faktor-faktor penyebab pernikahan di bawah umur, dampak sosialnya, serta tinjauan hukum Islam terkait praktik tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa pernikahan dini dapat mengakibatkan berbagai masalah, termasuk konflik dalam rumah tangga, risiko kesehatan bagi ibu dan anak, serta pengurangan kesempatan pendidikan. Dalam perspektif hukum Islam, pernikahan seharusnya dilakukan ketika individu telah mencapai kedewasaan dan kesiapan mental. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama dari pemerintah dan masyarakat untuk mencegah pernikahan di bawah umur melalui pendidikan dan penyuluhan yang efektif.

Kata Kunci : Pernikahan di Bawah Umur, Hukum Islam, Sosiologi.

 

Abstrak

Child marriage is a complex issue that often raises controversy, particularly in the context of Islamic law and sociology. This article analyzes the factors contributing to child marriage, its social impacts, and the legal perspective of Islamic law regarding this practice. The research indicates that early marriage can lead to various problems, including conflicts within households, health risks for mothers and children, and reduced educational opportunities. From the perspective of Islamic law, marriage should occur when individuals have reached maturity and mental readiness. Therefore, a collaborative effort from the government and society is needed to prevent child marriage through effective education and outreach.

Keyword: Child Marriage, Islamic Law, Sociology.

PENDAHULUAN

            Pernikahan di bawah umur merupakan isu yang sangat kompleks dan memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan. Di Indonesia, meskipun terdapat upaya hukum untuk menurunkan angka pernikahan anak, praktik ini masih berlangsung dengan frekuensi yang mengkhawatirkan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2021, sekitar 9,23% perempuan menikah sebelum mencapai usia 18 tahun, dan angka ini menunjukkan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, meskipun ada penurunan, Indonesia tetap menghadapi tantangan besar dalam mengatasi pernikahan di bawah umur, yang sering kali dikaitkan dengan faktor sosial dan ekonomi.

            Faktor-faktor yang mendorong pernikahan di bawah umur sangat beragam. Dalam banyak kasus, pernikahan dini dipicu oleh kondisi ekonomi keluarga yang sulit. Ketika orang tua merasa tertekan secara finansial, mereka sering kali melihat pernikahan sebagai solusi untuk mengurangi beban ekonomi dengan "menyerahkan" anak perempuan mereka kepada keluarga lain. Hal ini menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputuskan, di mana anak-anak perempuan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan masa depan yang lebih cerah.

            Dari perspektif sosiologi hukum Islam, pernikahan seharusnya dilakukan ketika individu telah mencapai kedewasaan dan kesiapan mental. Hukum Islam menekankan pentingnya persetujuan dan kesiapan kedua belah pihak dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Namun, dalam praktiknya, banyak anak perempuan yang terpaksa menikah sebelum mencapai usia dewasa karena tekanan sosial dan budaya. Ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara nilai-nilai hukum Islam dan praktik sosial yang terjadi di masyarakat.

            Dampak dari pernikahan di bawah umur sangat signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang menikah di usia dini menghadapi risiko kesehatan yang lebih tinggi, termasuk komplikasi saat melahirkan dan masalah kesehatan mental. Selain itu, mereka juga cenderung mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan kurang memiliki akses terhadap pendidikan serta peluang kerja yang layak. Hal ini tidak hanya merugikan individu tersebut tetapi juga berdampak negatif pada pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.

            Dalam konteks hukum, meskipun Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 telah menetapkan batas usia minimal untuk menikah menjadi 19 tahun bagi pria dan wanita, angka dispensasi untuk pernikahan anak masih tinggi. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2020 terdapat lonjakan signifikan dalam permohonan dispensasi pernikahan anak hingga 173% dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada regulasi, implementasinya masih lemah dan membutuhkan perhatian lebih lanjut.

            Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam mengatasi masalah pernikahan di bawah umur. Upaya pendidikan dan penyuluhan tentang dampak negatif dari pernikahan dini harus ditingkatkan, serta perlunya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap praktik ini. Dengan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, diharapkan angka pernikahan anak dapat terus menurun dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

METODE PENELITIAN

            Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan, yang merupakan jenis penelitian yang mengumpulkan data dengan mengumpulkan data dari berbagai literatur. Tidak hanya buku, literatur juga dapat berupa dokumentasi, majalah, jurnal, dan surat kabar. Penekanan penelitian kepustakaan adalah untuk mempresentasikan berbagai teori hukum, dalil, prinsip, pendapat, gagasan, dan lain-lain yang dapat digunakan untuk menganalisis dan memecahkan masalah yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pernikahan di Bawah Umur

            Pernikahan di bawah umur, atau yang sering disebut sebagai pernikahan dini, merujuk pada praktik pernikahan yang dilakukan oleh individu yang belum mencapai batas usia minimal yang ditetapkan oleh hukum. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 mengatur bahwa batas usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Pernikahan di bawah umur terjadi ketika salah satu atau kedua pasangan masih berusia di bawah batas tersebut, sehingga mereka dianggap belum siap secara fisik maupun mental untuk menjalani kehidupan berumah tangga.

            Definisi pernikahan dini dapat dijelaskan lebih lanjut dengan merujuk pada pengertian yang diberikan oleh berbagai sumber. Menurut UNICEF, pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan sebelum usia 18 tahun, baik secara resmi maupun tidak resmi. Dalam konteks hukum Islam, pernikahan di bawah umur juga dipandang sebagai praktik yang tidak ideal, karena individu yang menikah di usia muda sering kali belum mencapai kedewasaan emosional dan psikologis yang diperlukan untuk menjalani pernikahan.

            Praktik pernikahan di bawah umur sering kali dipicu oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi. Di banyak komunitas, tekanan sosial untuk menikah muda dapat berasal dari norma budaya yang menganggap pernikahan sebagai solusi untuk masalah sosial seperti kehamilan di luar nikah atau untuk menjaga kehormatan keluarga. Selain itu, faktor ekonomi juga berperan penting; banyak orang tua merasa terpaksa menikahkan anak mereka sebagai cara untuk mengurangi beban finansial keluarga.

            Dampak dari pernikahan di bawah umur sangat signifikan dan dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental para remaja. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang menikah di usia muda cenderung mengalami komplikasi kesehatan saat melahirkan serta masalah kesehatan mental akibat stres dan tekanan dari kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, penting untuk memahami dan menangani isu ini dengan pendekatan yang komprehensif, termasuk pendidikan dan penyuluhan mengenai dampak negatif dari pernikahan dini.

            Secara keseluruhan, pernikahan di bawah umur adalah isu yang kompleks dan memerlukan perhatian dari berbagai pihak untuk mencegah praktik ini serta melindungi hak-hak anak. Upaya kolaboratif antara pemerintah, endidikan, dan endidi endidikan sangat penting dalam mengatasi masalah ini dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Faktor Ekonomi

            Faktor ekonomi merupakan salah satu pendorong utama pernikahan di bawah umur di Indonesia. Banyak orang tua merasa tertekan secara finansial dan melihat pernikahan anak sebagai solusi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Dalam wawancara, seorang ibu dari Nusa Tenggara Barat mengungkapkan, "Kami tidak mampu membiayai pendidikan anak perempuan kami lebih lama, jadi menikahkan mereka adalah jalan keluar." Hal ini mencerminkan pandangan bahwa pernikahan dini sering kali dipandang sebagai strategi untuk bertahan hidup dalam situasi ekonomi yang sulit.

            Kondisi ekonomi yang sulit sering kali memaksa keluarga untuk membuat keputusan yang tidak ideal, termasuk menikahkan anak perempuan mereka pada usia muda. Dalam banyak kasus, orang tua merasa bahwa dengan menikahkan anak mereka, mereka dapat mengalihkan tanggung jawab finansial kepada keluarga suami. Ini menciptakan siklus kemiskinan di mana anak-anak perempuan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan masa depan yang lebih cerah.[1]

 

            Selain itu, ketidakstabilan ekonomi di masyarakat juga berkontribusi pada meningkatnya angka pernikahan dini. Keluarga yang berada dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu sering kali merasa terpaksa untuk mengambil keputusan cepat tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang bagi anak-anak mereka. Dengan demikian, faktor ekonomi menjadi salah satu isu utama yang perlu ditangani dalam upaya mengurangi pernikahan di bawah umur.

 

Tekanan Sosial dan Budaya

 

            Tekanan sosial dan budaya juga berkontribusi signifikan terhadap praktik pernikahan di bawah umur. Di banyak komunitas, terdapat norma yang kuat yang menganggap pernikahan dini sebagai hal yang wajar dan bahkan diharapkan. Banyak responden mengindikasikan bahwa ada tekanan dari masyarakat untuk menikahkan anak perempuan sebelum mencapai usia dewasa. Seorang pemuka agama menekankan, "Di desa kami, jika seorang gadis hamil sebelum menikah, itu akan membawa malu bagi keluarga." Stigma sosial ini menciptakan situasi di mana keluarga merasa terpaksa untuk menikahkan anak perempuan mereka lebih awal agar terhindar dari aib sosial.

 

            Norma-norma budaya ini sering kali mengakar dalam tradisi dan kepercayaan masyarakat setempat, sehingga sulit untuk diubah. Dalam beberapa kasus, keluarga yang tidak mengikuti norma tersebut dapat menghadapi pengucilan atau kritik dari lingkungan sosial mereka. Hal ini menciptakan tekanan tambahan bagi orang tua untuk segera menikahkan anak perempuan mereka, meskipun mereka mungkin menyadari bahwa anak-anak mereka belum siap secara emosional atau fisik.

 

            Akibatnya, praktik pernikahan dini menjadi siklus yang sulit diputuskan. Ketika generasi sebelumnya menikah muda dan mengalami berbagai tantangan, hal ini dapat mempengaruhi pandangan generasi berikutnya mengenai pernikahan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pendekatan yang sensitif terhadap budaya sambil memberikan edukasi tentang dampak negatif dari pernikahan dini.

 

Kurangnya Pendidikan dan Kesadaran

 

            Kurangnya pendidikan dan kesadaran mengenai dampak pernikahan dini juga menjadi faktor penting dalam fenomena ini. Banyak remaja tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang hak-hak mereka atau konsekuensi dari pernikahan di usia muda. Mereka sering kali merasa terpaksa untuk menikah karena kurangnya informasi mengenai pilihan lain yang tersedia bagi mereka. Salah satu remaja mengungkapkan, "Saya tidak tahu banyak tentang pernikahan. Saya hanya mengikuti apa kata orang tua." Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan yang memadai dapat membantu remaja memahami risiko dan dampak jangka panjang dari pernikahan dini.

 

            Pendidikan yang kurang memadai juga berdampak pada kemampuan remaja untuk membuat keputusan yang informasional mengenai masa depan mereka. Tanpa pengetahuan tentang hak-hak reproduksi dan kesehatan seksual, banyak remaja tidak menyadari konsekuensi dari tindakan mereka. Ini menciptakan situasi di mana mereka tidak dapat mempertimbangkan semua opsi sebelum mengambil keputusan besar seperti menikah.[2]

 

            Oleh karena itu, penting bagi program-program pendidikan untuk memasukkan materi tentang hak-hak remaja dan dampak dari pernikahan dini dalam kurikulumnya. Dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan di kalangan remaja dan orang tua, diharapkan dapat membantu mengurangi angka pernikahan dini serta memberikan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan yang lebih baik mengenai masa depan.[3]

 

Dampak Kesehatan dan Pendidikan

 

            Dampak dari pernikahan dini sangat signifikan bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang menikah di usia muda cenderung mengalami masalah kesehatan fisik dan mental yang lebih tinggi. Mereka berisiko mengalami komplikasi saat melahirkan serta masalah kesehatan mental akibat tekanan emosional dari kehidupan rumah tangga yang prematur. Dampak ini tidak hanya dirasakan oleh individu tetapi juga dapat mempengaruhi kualitas hidup keluarga secara keseluruhan.

 

            Selain masalah kesehatan, banyak remaja perempuan yang menikah muda kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan mereka. Ketidakmampuan untuk mendapatkan pendidikan yang baik membatasi peluang kerja mereka di masa depan dan memperburuk kondisi ekonomi keluarga. Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan adalah salah satu faktor kunci dalam memberdayakan perempuan dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan demikian, hilangnya kesempatan pendidikan akibat pernikahan dini menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputuskan.

 

            Dampak jangka panjang dari pernikahan dini juga dapat terlihat dalam perkembangan sosial masyarakat secara keseluruhan. Ketika banyak remaja perempuan terpaksa menikah muda dan menghadapi berbagai tantangan kesehatan serta pendidikan, hal ini akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia di masa depan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan intervensi yang tidak hanya fokus pada pencegahan pernikahan dini tetapi juga memberikan dukungan kesehatan bagi mereka yang sudah terlanjur menikah.

 

Rekomendasi untuk Solusi

 

            Pentingnya pendidikan dan penyuluhan menjadi sangat jelas dalam konteks ini. Upaya untuk meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif dari pernikahan dini harus ditingkatkan melalui program-program pendidikan berbasis komunitas. Program-program ini harus dirancang untuk memberikan informasi kepada remaja dan orang tua mengenai risiko serta konsekuensi dari pernikahan dini, serta alternatif lain seperti melanjutkan pendidikan.

 

            Selain itu, regulasi hukum terkait batas usia minimal untuk menikah perlu ditegakkan dengan lebih ketat untuk mencegah praktik pernikahan di bawah umur. Penegakan hukum harus disertai dengan pendekatan sensitif terhadap budaya lokal agar masyarakat memahami pentingnya melindungi hak-hak anak-anak mereka tanpa merasa tertekan oleh norma sosial yang ada.

 

            Kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sangat diperlukan dalam menangani isu ini secara efektif. Dengan pendekatan holistik yang melibatkan semua pihak terkait, diharapkan angka pernikahan anak dapat terus menurun dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Melalui upaya kolaboratif ini, kita dapat menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan positif bagi semua anak-anak di Indonesia.

 

PENUTUP

 

            Pernikahan di bawah umur merupakan isu yang kompleks dan multifaset yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor ekonomi, tekanan sosial dan budaya, serta kurangnya pendidikan dan kesadaran menjadi pendorong utama praktik pernikahan dini di Indonesia. Banyak orang tua, dalam kondisi ekonomi yang sulit, merasa terpaksa untuk menikahkan anak perempuan mereka sebagai solusi untuk mengurangi beban finansial. Selain itu, norma-norma sosial yang menganggap pernikahan dini sebagai hal yang wajar menciptakan stigma yang membuat keluarga merasa tertekan untuk segera menikahkan anak mereka.

 

            Dampak dari pernikahan di bawah umur sangat signifikan, tidak hanya bagi individu yang terlibat tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Perempuan yang menikah muda berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan fisik dan mental, serta kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan. Hal ini berkontribusi pada siklus kemiskinan yang sulit diputuskan dan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di masa depan.

            Oleh karena itu, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat untuk mengatasi masalah pernikahan di bawah umur. Program pendidikan dan penyuluhan yang efektif harus ditingkatkan untuk memberikan informasi tentang dampak negatif dari pernikahan dini serta hak-hak remaja. Selain itu, penegakan regulasi hukum mengenai batas usia minimal untuk menikah perlu dilakukan dengan lebih ketat. Dengan pendekatan holistik dan terintegrasi, diharapkan angka pernikahan anak dapat terus menurun dan memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun