2. Â Sedangkan faktor eksternal penyebab terjadinya korupsi yang berasal dari luar individu pada umumnya adalah faktor politik, hukum, dan ekonomi, sebagaimana diuraikan dalam buku "Peran Parlemen dalam Pemberantasan Korupsi" (ICW: 2000), yaitu sebagai berikut:
- Pendidikan, Menurut Habib Sulton Asnawi (2013 : 350) Korupsi adalah kejahatan yang dilakukan oleh para intelektual. Pejabat rata-rata yang terjebak dalam kasus korupsi adalah mereka yang berpendidikan tinggi, memang pada kenyataannya para pelaku tindak pidana korupsi adalah para intelektual yang sebelum melakukan tindakannya telah melakukan persiapan dan perhitungan yang cermat sehingga mereka dapat memanipulasi hukum sehingga kejahatan tersebut tidak terdeteksi. Pendidikan, meskipun dalam konteks universal, bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, rendahnya pemahaman terhadap pendidikan sebagai langkah memanusiakan manusia justru melahirkan kurcaci yang berpikiran sempit dan sibuk dengan kepentingannya sendiri serta mengabaikan kepentingan bangsa. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan pendidikan moral sejak dini.
- Politik, faktor politik mempengaruhi terjadinya korupsi karena politik itu sendiri pada dasarnya berkaitan dengan kekuasaan. Artinya setiap orang pasti akan menggunakan cara yang berbeda-beda bahkan korupsi untuk mendapatkan kekuasaan. Faktor politik dapat dibagi menjadi dua kategori: kekuasaan dan stabilitas politik. Keadaan sangat bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan. Ketika angka kemiskinan kian membesar, pelanggaran hukum dilakukan tanpa sungkan oleh elit politik, dan realitas korupsi terjadi di setiap ruang serta penyalahgunaan kekuasaan terus terjadi. Pada kenyataan yang demikian maka ruang politik merupakan salah satu sarana melakukan korupsi. Hal ini dapat dilihat ketika terjadi instabilitas politik atau ketika politisi mempunya hasrat untuk mempertahankan kekuasaan. Menurut Daniel S. Lev, politik tidak berjalan sesuai dengan aturan hukum, tetapi terjadi sesuai dengan pengaruh uang, keluarga, status sosial, dan kekuatan militer. Pendapat ini menunjukkan korelasi antara faktor-faktor yang tidak berfungsi dari aturan hukum, permainan politik, dan tekanan dari kelompok korupsi yang dominan. Penyalahgunaan kekuasaan publik juga tidak selalu untuk keuntungan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan kelas, etnis, teman, dan sebagainya. Bahkan, di banyak negara beberapa hasil korupsi digunakan untuk membiayai kegiatan partai politik.
- Hukum, faktor hukum dapat dilihat dari dua aspek. Di satu sisi dari aspek hukum, dan di sisi lain penegakan hukumnya lemah. Hukum yang buruk dapat dengan mudah terlihat pada peraturan yang diskriminatif dan tidak adil. Karena rumusannya tidak jelas dan tidak tegas maka timbul multitafsir. Tidak sesuai dan menduplikasi peraturan lainnya (baik yang setara maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak termasuk dalam tindakan yang dilarang, tidak tepat sasaran, dan dianggap terlalu ringan atau terlalu berat. Menggunakan konsep berbeda untuk hal yang sama. Â Semua itu menjadikan regulasi tidak sesuai dengan realitas yang ada, sehingga regulasi tidak berfungsi dan kontraproduktif, namun justru merespons resistensi. Dalam konteks penegakan hukum, Seokanto (1986 : 16) menyebutkan lima unsur yang mempengaruhi proses penegakan hukum, yakni: Faktor hukum itu sendiri, Faktor aparat penegak hukum, Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum tersebut, Faktor masyarakat, dan Faktor budaya.
- Ekonomi. Hal ini diindikasikan ketika tingkat pendapatan atau gaji tidak cukup untuk  memenuhi kebutuhan seseorang, dalam hal ini seseorang dapat melakukan tindakan korupsi untuk memenuhi segala kebutuhannya. Secara teoritis, Karl Marx menjelaskan secara rinci betapa besar pengaruh kekuatan ekonomi terhadap kehidupan manusia. Lebih lanjut beliau mengatakan: Mereka yang menguasai perekonomian juga akan menguasai rakyat. Seluruh perilaku manusia dikendalikan oleh motif ekonomi. Dalam masyarakat, perekonomian adalah substruktur, dan ia memberi bentuk dan gaya pada segala sesuatu yang ada di suprastruktur. Sebab di antaranya institusi politik, pola budaya, bahkan struktur masyarakat sebenarnya hanyalah cerminan dari sistem ekonomi yang ada di belakangnya. Tidak ada satu pun peristiwa sejarah di dunia yang tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan kategori kepentingan ekonomi. Perang, revolusi, pemberontakan, bahkan penjajahan selalu mempunyai motif ekonomi. Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sering mengalami bagaimana perekonomian mempunyai dampak yang sangat besar terhadap kehidupan dan sikap masyarakat. Ketidakstabilan politik dan rendahnya pertumbuhan ekonomi berarti hancurnya hak-hak demokrasi. Pendapat ini tidak mutlak benar karena dalam teori kebutuhan Maslow, sebagaimana dikutip oleh Sulistyantoro, korupsi seharusnya hanya dilakukan oleh orang untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah dan logika lurusnya hanya dilakukan oleh komunitas masyarakat yang pas-pasan yang bertahan hidup. Namum saat ini korupsi dilakukan oleh orang kaya dan berpendidikan tinggi.
- Aspek Sosial menurut Ridwan Arifin Oemara Sharif dan Devanda Prasutiyo (2018 : 8) Â Permasalahan korupsi biasanya bersumber dari keluarga. Biasanya hal ini terjadi karena tuntutan istri atau keinginan pribadi yang berlebihan. Hal ini memposisikan dirinya sebagai bidang untuk memenuhi kepentingan pribadi keluarganya. Keluarga seharusnya menjadi tameng untuk mencegah terjadinya korupsi, namun terkadang sumber korupsi justru terletak pada keluarga. Dengan demikian keluarga sebenarnya bertanggung jawab atas tindakan korupsi yang dilakukan suaminya atau kepala rumah tangga. Jadi keluarga sebenarnya ada di dua sisi: sisi negatif dan sisi positif. Jika keluarga merupakan penggerak terjadinya korupsi, maka keluarga berada pada sisi negatif, sedangkan jika keluarga merupakan benteng dari praktik korupsi, maka keluarga berada pada sisi positif yang merupakan faktor yang sangat penting dalam terjadinya korupsi atau menghalangi.
- Organisasi, menurut Tri Karyati dkk (2019 : 24) faktor organisasi memiliki beberapa aspek yang menyebabkan korupsi, diantaranya yaitu: kultur atau budaya, pimpinan, akuntabilitas, dan manajemen atau sistem. Aspek-aspek penyebab korupsi dalam sudut pandang organisasi meliputi: Kurang adanya sikap keteladanan pemimpin, Tidak adanya kultur atau budaya organisasi yang benar, Kurang memadainya sistem akuntabilitas, dan Kelemahan sistem pengendalian manajemen.
HOW?
Bagaimana penggunaan cincin gyges?
Dalam cerita Cincin Gyges, kekuatan cincin membuat Gyges tak terlihat, memungkinkannya untuk bertindak tanpa diketahui. Hal ini menggambarkan bagaimana seseorang dapat menggunakan kekuasaan secara rahasia untuk mencapai kepentingan pribadi, seperti Gyges yang masuk ke istana, membunuh raja, dan mengambil alih takhta tanpa pertanggungjawaban. Dengan kata lain, cincin menjadi alat untuk tindakan tidak terlihat yang melayani keinginan pribadi tanpa memikirkan konsekuensi moral atau etika. Gyges setelah memperoleh kemampuan baru untuk menjadi tidak terlihat, Gyges mengatur sebuah rencana licik. Gyges berusaha masuk ke dalam istana raja. Ketika sudah berada di dalam istana itu, dengan kekuatan cincin itu ia menggoda dan merayu ratu, tanpa dilihat oleh siapa pun juga. Gyges berhasil melakukan siasat dengan sang ratu untuk membunuh raja dan merebut tampuk kekuasaan. Perbuatan Gyges itu tidak ada yang mengetahui, ia terlindungi dan terbebas dari akibat dari perbuatannya tersebut. Glaucon menggunakan kisah Gyges  sebagai  alegori dalam diskusinya dengan Socrates tentang keadilan bersama Saudara laki-laki Plato, Glaucon dan Adeimantus,  mencari kesimpulan mengenai masalah apakah orang yang adil sebenarnya lebih baik daripada orang yang tidak adil.Â
Seluruh pertanyaan tentang keadilan. Sementara Socrates sedang berbicara dengan Cephalus, Polemarchus dan Thrasymachus membahas tentang keadilan. Percakapan ini terjadi di rumah Polemarch ketika Socrates dan Glaucon mengunjungi Piraeus untuk menghadiri festival dewi Bendis oleh orang Thracia di Piraeus. Cephalus menjelaskan bahwa keadilan mengatakan kebenaran atau jujur dan mengembalikan harta pinjaman seseorang. Socrates membantah pernyataan Cephalus dengan memberikan contoh "Jika seseorang meminjam pedang dari temannya dan mengamuk menjadi gila, apakah adil jika mengembalikannya begitu saja." Bagi Polemarchus, putra Cephalus, keadilan sekarang diibaratkan membantu teman-temannya dan bertindak kasar maupun keras terhadap musuh-musuhnya. Socrates membantah juga pernyataan Polemarchus ini dengan alasan:
- Apakah ini seperti pilihan antara makanan dan obat-obatan. Jadi, pertama-tama tentukan dulu apa konteksnya
- Orang yang adil tetap baik hati meskipun melakukan perbuatan mubazir dan zalim
- Tampaknya tidak adil jika memperlakukan seseorang dengan buruk, meskipun mereka adalah musuh Anda.
Thrasymachus, sebaliknya, keberatan dengan hasil percakapan antara Socrates dan Polemarchus. Baginya, keadilan adalah sesuatu yang berguna dan menguntungkan bagi penguasa. Apa yang adil selalu berbeda-beda, bergantung pada undang-undang yang berlaku di bawah penguasa politik yang berbeda. Hukum ada untuk melayani keinginan dan kepentingan penguasa. Keadilan juga berarti mematuhi hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Selain itu, orang yang adil membutuhkan kecerdasan dan karakter yang kuat, sedangkan orang yang tidak adil tidak memiliki kedua hal tersebut. Oleh karena itu, orang yang bertakwa dikaruniai kecerdasan dan akhlak yang kuat, sehingga perbuatannya berdampak dan bermanfaat. Ia lebih bijaksana karena ia mengenal prinsip batasan. Orang yang tidak adil menunjukkan kebodohan, kebodohan dan keburukan. Karakter dan kecerdasannya lemah. Bagi mereka, rasa percaya diri yang tiada batas bukanlah sumber kekuatan, melainkan sumber kontroversi. Thrasymachus mengatakan bahwa para penguasa di sini benar-benar sempurna dalam mengejar keuntungan dan kepentingan. Socrates menjawab bahwa seni (keahlian) atau keterampilan adalah kegiatan yang bermanfaat bagi orang lain, bukan bagi pelakunya. Namun, Thrasymachus membantahnya, menyatakan bahwa beberapa keterampilan, seperti menggembala, juga berguna bagi praktisi. Dalam beberapa hal, orang yang tidak adil lebih baik daripada orang yang adil, dan orang yang tidak adil yang tidak ketahuan berbuat curang lebih bahagia daripada orang yang adil. Penguasa adalah orang yang bahagia karena dapat memuaskan segala keinginannya, meskipun secara tidak adil, tentu saja ini untuk membela diri. Karena Thrasymachus sebenarnya mengajarkan para penguasa Athena masa depan yang berjuang untuk kesuksesan dan kekuasaan. Socrates, sebaliknya, mengatakan bahwa seorang gembala memelihara domba-dombanya, tetapi hal ini terpisah dari minatnya untuk menghasilkan uang, yang berada di luar kemampuannya, dan di mana ia tidak memiliki kekuatan atau kesanggupan untuk menguntungkannya menjelaskan bahwa tidak ada hal seperti itu. Socrates menyudutkan Thrasymachus dengan mengakui bahwa ada penguasa yang baik yang menolak untuk memerintah tetapi melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang penguasa. Penguasa yang bijaksana ini tidak mempunyai niat untuk mengambil keuntungan dari kekuasaannya. Karena masyarakat tidak ingin diperintah oleh penguasa yang lebih rendah. Socrates menolak penjelasan Thrasymachus, menggambarkan dia sebagai seorang dokter yang belajar dan praktek untuk kepentingan pasiennya bukan untuk keuntungannya sendiri. Demikian pula, pemerintah yang melakukan hal-hal terbaik bagi rakyatnya adalah hal yang terbaik yang dilakukannya. Socrates melanjutkan dengan mengatakan bahwa orang adil tidak bisa egois dan mementingkan sendiri. Bahkan penguasa pun masih mempunyai keinginan untuk membantu pihak yang lemah jika ingin tetap berkuasa. Hal ini karena bawahan yang miskin dan marah dapat memberontak dan menggulingkan atasannya. Namun Thrasymachus menambahkan alasan untuk  mempertahankan pandangannya tentang keadilan dan yang tidak adil. Pada titik ini, Thrasymachus dianggap telah mengungkapkan sifat manusia: orang benar adalah orang kuat yang berkuasa atas orang lemah. Jika keadilan itu baik bagi orang lain, maka tidak ada keadilan karena tidak sesuai dengan kepentingan diri sendiri.
Glaucon tidak ikut nimbrung dengan percakapan itu. Glaucon pertama kali menjelaskan bahwa ada tiga macam kebaikan, yaitu:
- Kebaikan mengandung nilai  dalam dirinya. Misalnya saja kebahagiaan
- Kebaikan pada instrumental terdapat pada apa yang ditimbulkannya terutama pada kegiatan seperti kedokteran, misalnya obat
- Kebaikan memiliki nilai dalam dirinya sendiri dan apa yang dihasilkannya
Menurutnya, orang yang berbuat keadilan pada hakikatnya dan secara mendasar adalah baik dalam keadaan apa pun. Glaucon kemudian mencoba membela orang yang tidak adil, yaitu dengan membuat pernyataan:
- Keadilan timbul dari kompromi antara orang-orang lemah yang takut  menderita ketidakadilan, yang lebih buruk daripada melakukannya
- Orang bertindak adil karena hal itu perlu dan tidak dapat dihindari, dan orang yang adil adalah baik karena tindakannya
- Orang yang tidak adil yang mempunyai reputasi sebagai orang yang adil  lebih bahagia daripada orang yang adil yang memiliki reputasi sebagai orang yang tidak adil.
Bagi Glaucon, sifat manusia memang egois dan tidak adil, sehingga bagi dirinya bertindak tidak memihak tidak baik bagi manusia. Suatu tindakan yang adil  hanya bernilai jika memberikan manfaat bagi pelakunya. Perlakuan yang adil selalu menguntungkan kepentingan pribadi pelaku. Orang ad itu diciptakan, bukan alamiah. Itu adalah hasil kesepakatan yang pada dasarnya orang yang egois dibatasi oleh aturan dan hukum yang ditetapkan. Banyak orang yang lemah berkuasa atas mereka yang secara alami lebih kuat tetapi jumlahnya lebih sedikit demi keuntungan mereka sendiri. Kecenderungan alamiah manusia adalah selalu berlaku tidak adil, namun hukum memaksanya untuk melakukan keadilan. Keadilan didasarkan pada ketaatan terhadap hukum. Masyarakat menghargai keadilan justru karena mereka tidak bisa melakukan ketidakadilan. Perbuatan tidak adil jauh lebih berharga daripada keadilan karena keadilan dipaksakan dan dilakukan demi kepentingan orang lain.
Socrates dipanggil untuk membela orang yang adil demi dirinya sendiri, dan bukan demi reputasi yang dihasilkannya. Socrates memulai dengan membahas asal usul kehidupan sosial dan terciptanya negara yang adil melalui pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Socrates berpendapat bahwa manusia memasuki kehidupan sosial karena alam tidak dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan manusia. Setiap orang memiliki kemampuan unik dan melakukan tugas-tugas yang hanya dapat dilakukan oleh alam dan merupakan cara  paling efisien untuk memenuhi kebutuhan dasar seluruh anggota masyarakat. Socrates memperkenalkan prinsip dasar masyarakat: spesialisasi. Prinsip dasar ini menyatakan bahwa setiap orang memainkan peran yang paling sesuai dengan dirinya secara alamiah dan tidak mengganggu pekerjaan orang lain. Di balik prinsip ini terdapat pemahaman bahwa manusia mempunyai kecenderungan alamiah yang harus dipenuhi. Spesialisasi tidak hanya memerlukan pembagian kerja, tetapi yang terpenting adalah pembagian kerja yang selaras dan sesuai. Glaucon kemudian menjelaskan sejarah perkembangan masyarakat di mana penting bagi orang adil untuk menjadi pelindung bagi yang lemah. Pada tahap primordial atau jaman dahulu, masyarakat tidak memiliki hukum atau pemerintahan, dan masyarakat bebas melakukan apapun yang mereka inginkan. Sehingga orang yang kuat bisa menikmati hidup daripada mengalami penderitaan orang yang lemah. Sementara itu, kelompok lemah semakin menderita karena ketidakadilan. Kemudian mereka membuat perjanjian, menetapkan hukum dan pemerintahan berdasarkan kesepakatan bersama, dan mulai mendidik keadilan. Adeimantus mendukung pernyataan Glaucon, tapi tidak seperti Glaucon yang lebih fokus pada individu. Adeimantus berfokus pada komunitas, pendidikan, dan dampak yang lebih luas. Seperti Glaucon, Adeimantus percaya bahwa mereka yang memuji orang berbuat adil tidak benar-benar menghargai orang adil itu sendiri. Mereka  memuji dan mengucap syukur atas kebaikan yang dilakukan orang yang berbuat adil. Adeimantus mengatakan, manusia bersikap adil karena takut akan hukuman setelah kematian. Orang-orang yang tidak bertindak adil tentu menganggap bersikap adil itu baik, namun mereka juga percaya bahwa Tuhan akan memberikan pahala kepada mereka karena bersikap adil. Berbuat adil hanya kepentingan pribadi diri sendiri saja. Orang-orang yang tidak benar dan orang-orang yang tidak adil sama-sama meringkuk dalam lumpur. Adeimantus mengarah pada pemahaman bahwa keadilan adalah salah satu bentuk ketidakadilan. Hal ini karena manusia mengamalkan keadilan hanya karena keadilan akan membawa nama baik atau pahala dari Tuhan setelah kematian. Kalaupun seseorang bertakwa, tidak akan mendatangkan manfaat apa pun, melainkan hanya masalah dan kerugian. Sebaliknya, jika orang yang tidak adil mendapatkan reputasi yang baik dari orang yang benar, dia akan menjalani kehidupan yang indah. Ketika orang melakukan perbuatan benar karena rasa takut, hal ini menunjukkan bahwa keadilan sebenarnya wujud dari ketidakadilan yang tercipta, sehingga bukan keadilan yang sesungguhnya. Pameran ini tampaknya sedikit lebih rumit dari yang dibayangkan sebelumnya. Yang dimaksud Socrates dengan "di sini" adalah tentang kesatuan dan ketertiban. Sebab sesungguhnya permasalahan besar muncul dari konflik-konflik internal kecil dan gangguan-gangguan eksternal. Keadilan erat kaitannya dengan citra diri individu, yaitu suatu proses pengorganisasian diri dan pemahaman terhadap apa yang perlu dilakukan. Karena keadilan adalah ketertiban dan harmoni, Socrates sampai pada kesimpulan bahwa bertindak adil  membuat orang lebih bahagia. Sekalipun orang kaya, mereka tetap menderita. Sebab jika orang adil tidak merencanakan hidupnya maka ia akan selalu kebingungan, meragukan diri sendiri dan orang lain, hidup dalam ketakutan. Bagi Socrates, keadilan adalah sesuatu yang alamiah pada manusia. Memahami hakikat orang adil memerlukan pemahaman diri dan pemahaman intelektual terhadap orang yang adil. Melalui pencarian hikmah, ditemukan sesuatu di dalam diri yang membuat jiwa damai dan selaras dengan alam semesta. Sebaliknya mencari keadilan secara diluar diri sama saja dengan menebar benih perpecahan, perselisihan dan kecemburuan yang berujung pada rusaknya kesatuan kodrat dan keharmonisan hidup bermasyarakat. Keadilan ialah suatu yang utama yang terkait dengan pengetahuan dan tindakan yang berkeadilan. Keadilan berarti jiwa yang damai, yang didapatkan melalui pengetahuan intelektual tentang hakikat keadilan, yang membuat orang damai dalam dirinya sehingga ini membuka peluang untuk dapat menolong orang yang lainnya.